Oleh: Nadelin Amelia Putri
Politik uang telah menjadi ancaman bagi demokrasi di banyak negara, termasuk Indonesia. Praktik ini sering muncul dalam setiap pemilu, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tidak hanya prinsip demokrasi yang adil dan bersih dirusak oleh politik uang, tetapi juga menimbulkan banyak konsekuensi negatif yang berlangsung lama. Sebagai agen perubahan dan intelektual muda, mahasiswa memiliki perspektif yang penting dan kritis tentang fenomena ini.
Dalam kontestasi demokrasi, politik uang sudah menjadi kebiasaan. Meskipun berbagai kampanye dan sosialisasi terus dilakukan untuk menghilangkan praktik curang dari proses pemilihan pemimpin, fenomena ini dianggap masih sulit untuk dihilangkan. Praktik ini semakin diperkuat oleh penelitian dari Praxis, sebuah agensi public relations (PR). Survei yang dilakukan pada 1.001 siswa berusia 16-25 tahun di 34 provinsi pada tanggal 1-8 Januari 2024 dan dipublikasikan pada Senin (22/1/23) menunjukkan bahwa ada sikap yang toleran terhadap praktik politik uang.
Menurut survei tersebut, 53,95 persen mahasiswa tidak akan memilih kandidat yang bermain politik uang karena metode tersebut dikatakan semakin tidak efektif dalam memengaruhi pilihan siswa. Namun, mahasiswa yang kurang mampu tetap memilih kandidat dengan politik uang.
Hanya 10,99 persen responden yang menolak dengan tegas. Selain itu, mereka menerimanya dengan sejumlah catatan. Slogan "ambil uangnya, jangan pilih orangnya" atau "menerima tapi tidak memilih" adalah contoh sikap pragmatis.
Politik uang, yakni memberikan uang atau barang kepada pemilih atau kelompok pemilih dengan tujuan mendapatkan dukungan suara dalam pemilihan, merupakan bentuk korupsi yang jelas di mana integritas proses pemilihan dikorbankan untuk keuntungan politik jangka pendek. Mayoritas mahasiswa Indonesia melihat politik uang sebagai ancaman besar terhadap demokrasi.
Menurut banyak seminar, diskusi, dan penelitian akademik, politik uang dianggap sebagai bentuk kecurangan yang melanggar etika politik dan mengganggu proses pemilihan. Mereka berpendapat bahwa demokrasi dirusak oleh politik uang.
Pemilihan seharusnya menjadi kompetisi ide, di mana kandidat bersaing untuk visi, misi, dan program kerja pemilih. Namun, dengan politik uang, pemilu berubah menjadi ajang transaksi, di mana suara pemilih dibeli dengan uang atau barang. Hal ini menyebabkan pemilih hanya memikirkan keuntungan jangka pendek daripada kualitas dan integritas kandidat.
Politik uang menghambat perubahan sosial yang harus dilakukan oleh pemimpin yang baik. Pemimpin yang dipilih melalui politik uang cenderung tidak memiliki tujuan yang jelas dan lebih berkonsentrasi pada pengembalian modal yang dikeluarkan selama kampanye.
Akibatnya, program pembangunan yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat sering diabaikan. Mahasiswa percaya bahwa pemimpin yang dipilih melalui proses yang bersih dan adil lebih mampu mengubah masyarakat dengan cara yang baik. Ketika politik uang menjadi biasa dalam pemilihan, siklus korupsi menjadi sulit dihentikan.
Pemimpin yang dipilih melalui politik uang cenderung melakukan tindakan korup selama masa jabatannya untuk mengembalikan biaya kampanye dan mempersiapkan diri untuk pemilihan berikutnya. Selama siklus ini, upaya pemberantasan korupsi semakin sulit dan reputasi politik menjadi lebih buruk bagi masyarakat.
Mahasiswa menekankan bahwa kepercayaan publik terhadap demokrasi dan institusi politik dirusak oleh politik uang. Pemilih kehilangan kepercayaan pada sistem pemilihan dan pemimpin yang mereka pilih. Stabilitas politik dan sosial dirusak oleh kurangnya kepercayaan publik terhadap institusi politik.
Ini juga mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Politik uang yang telah dianggap sebagai hal yang lumrah dilakukan ketika sedang diadakan pemilihan pemimpin terkadang membuat suatu perkumpulan dengan alasan ingin bersilaturahmi dengan masyarakat agar saling mengenal, padahal di samping itu ada tujuan dan maksud lain seperti pemberian barang, sembako, dan juga uang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan politik uang tidak hanya larangan membagikan uang ke masyarakat, tetapi memberikan barang dengan maksud tertentu juga tidak boleh. Tujuannya adalah untuk menarik simpati masyarakat, agar mereka memberikan suaranya untuk partai atau caleg yang bersangkutan.
Director of Public Affairs Praxis PR Sofyan Herbowo, mengatakan, penggunaan politik uang oleh peserta pemilu tidak lagi berpengaruh terhadap pilihan mahasiswa. Pilihan mereka lebih terpengaruh lewat kegiatan kampanye informatif dan sumber informasi terpercaya. ”Fakta membuktikan bahwa praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka (mahasiswa). Walaupun begitu, masyarakat juga mulai menormalisasi politik uang,” ujar Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) itu.
Nadelin Amelia Putri, mahasiswa UIN Jambi, mengatakan bahwa menggunakan politik uang tidak akan mengubah pemikiran mahasiswa untuk memilih kandidat yang memberikan uang tersebut, karena pilihan itu berasal dari pandangan terhadap kandidatnya, bukan dari uangnya.
Mahasiswa Jambi lebih menghargai visi, misi, dan program kerja kandidat dibandingkan dengan iming-iming materi.
Politik uang sering dianggap sebagai strategi untuk mendapatkan suara di pemilihan lokal dan nasional. Namun, mahasiswa Jambi lebih menyadari pentingnya kejujuran dan integritas dalam proses demokrasi, sehingga pandangan ini tidak berlaku.
Di tengah berbagai kesulitan dan keinginan, mahasiswa Jambi menunjukkan bahwa politik uang tidak lagi penting dan tidak memengaruhi keputusan mereka. Mahasiswa memiliki kesadaran yang tinggi tentang bahaya dan efek negatif korupsi, yang merupakan salah satu faktor yang mendukung sikap anti-politik uang ini.
Mereka menyadari bahwa pemimpin yang dipilih melalui politik uang biasanya tidak jujur dan lebih fokus pada kepentingan pribadi. Selain itu, mahasiswa Jambi menyadari bahwa menerima politik uang merupakan cara untuk mendukung praktik korupsi yang merusak demokrasi dan menghambat pembangunan.
Meski tak mempan, kemampuan ekonomi dari pemilih muda itu masih mempengaruhi keberpihakannya kepada politik uang. Namun Sebagian kalangan kelas bawah mengaku akan menerima uang dan memilih kandidat pemberinya. ”Berkaca pada hal itu, mungkin, sebesar atau sekecil apa pun yang diberikan peserta pemilu dominan masih memengaruhi kalangan tidak mampu,” tambahnya.
Organisasi kemahasiswaan di Jambi secara aktif menekankan pentingnya menjalankan proses pemilihan dengan jujur. Untuk memberi mahasiswa pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya mempertahankan etika politik, seminar, diskusi, dan workshop tentang anti-korupsi dan etika kepemimpinan sering diadakan.
Kampanye ini berhasil membuat mahasiswa percaya bahwa politik uang adalah musuh bersama dan harus dihindari. Kesadaran dan keberanian ini tidak hanya mencegah kecurangan dalam pemilihan, tetapi juga menghukum mereka yang melakukan politik uang. Kepercayaan mahasiswa terhadap sistem demokrasi meningkat berkat laporan yang ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan, menjelaskan, hasil survei ini mematahkan asumsi bahwa pemilih muda mudah terpengaruh politik uang. Sikap itu juga diikuti pesimistis terhadap pemberantasan politik uang. Namun, mereka juga kian toleran terhadap hal tersebut. "Di tengah asumsi bahwa anak muda akan cenderung menerima uang dan memilih kandidat yang memberikan uang, hasil survei justru menunjukkan tentang anak muda yang masih rasional dalam menentukan pilihannya," tuturnya.
Mahasiswa melihat praktik politik uang dengan berpikir kritis. Mereka menyadari bahwa jumlah uang, misalnya Rp 200.000 untuk lima tahun ke depan, tidak sebanding dengan sifat dan program kerja kandidat. Sebagian mahasiswa ikut serta dalam acara kampanye kandidat bukan karena mendukung kandidat tersebut tetapi hanya untuk mengambil uang yang diberikan oleh tim sukses dari kandidat tersebut.
Mereka tidak akan memilih hanya karena uang tetapi mereka akan memilih kandidat yang dirasa dapat dipercaya untuk memimpin. Mereka juga mencari informasi, bukan hanya asal memilih karena banyak orang yang memilih kandidat tersebut.
Politik uang menjelang pemilu membutuhkan waktu yang lama untuk dihilangkan karena merupakan masalah budaya, sehingga yang harus dibenahi adalah budaya hukum masyarakat. Karena desa memiliki pemerintahan yang berdaulat dan masyarakat memiliki otoritas sendiri, mengubah budaya ini harus dimulai di tingkat desa.
Selain itu, penting bagi mahasiswa untuk belajar tentang bahaya politik uang bagi kelangsungan demokrasi. Yang paling penting, masyarakat harus memiliki keberanian dan kemampuan untuk menolak politik uang. "Terima uangnya, pilih yang lain" tidak boleh digunakan lagi. Tagline ini berbahaya karena mereka akan mengajarkan budaya yang hipokrit atau munafik.
*Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UIN Sutha Jambi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H