Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan, menjelaskan, hasil survei ini mematahkan asumsi bahwa pemilih muda mudah terpengaruh politik uang. Sikap itu juga diikuti pesimistis terhadap pemberantasan politik uang. Namun, mereka juga kian toleran terhadap hal tersebut. "Di tengah asumsi bahwa anak muda akan cenderung menerima uang dan memilih kandidat yang memberikan uang, hasil survei justru menunjukkan tentang anak muda yang masih rasional dalam menentukan pilihannya," tuturnya.
Mahasiswa melihat praktik politik uang dengan berpikir kritis. Mereka menyadari bahwa jumlah uang, misalnya Rp 200.000 untuk lima tahun ke depan, tidak sebanding dengan sifat dan program kerja kandidat. Sebagian mahasiswa ikut serta dalam acara kampanye kandidat bukan karena mendukung kandidat tersebut tetapi hanya untuk mengambil uang yang diberikan oleh tim sukses dari kandidat tersebut.Â
Mereka tidak akan memilih hanya karena uang tetapi mereka akan memilih kandidat yang dirasa dapat dipercaya untuk memimpin. Mereka juga mencari informasi, bukan hanya asal memilih karena banyak orang yang memilih kandidat tersebut.
Politik uang menjelang pemilu membutuhkan waktu yang lama untuk dihilangkan karena merupakan masalah budaya, sehingga yang harus dibenahi adalah budaya hukum masyarakat. Karena desa memiliki pemerintahan yang berdaulat dan masyarakat memiliki otoritas sendiri, mengubah budaya ini harus dimulai di tingkat desa.Â
Selain itu, penting bagi mahasiswa untuk belajar tentang bahaya politik uang bagi kelangsungan demokrasi. Yang paling penting, masyarakat harus memiliki keberanian dan kemampuan untuk menolak politik uang. "Terima uangnya, pilih yang lain" tidak boleh digunakan lagi. Tagline ini berbahaya karena mereka akan mengajarkan budaya yang hipokrit atau munafik.
*Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UIN Sutha Jambi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H