Mahasiswa menekankan bahwa kepercayaan publik terhadap demokrasi dan institusi politik dirusak oleh politik uang. Pemilih kehilangan kepercayaan pada sistem pemilihan dan pemimpin yang mereka pilih. Stabilitas politik dan sosial dirusak oleh kurangnya kepercayaan publik terhadap institusi politik.
Ini juga mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Politik uang yang telah dianggap sebagai hal yang lumrah dilakukan ketika sedang diadakan pemilihan pemimpin terkadang membuat suatu perkumpulan dengan alasan ingin bersilaturahmi dengan masyarakat agar saling mengenal, padahal di samping itu ada tujuan dan maksud lain seperti pemberian barang, sembako, dan juga uang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan politik uang tidak hanya larangan membagikan uang ke masyarakat, tetapi memberikan barang dengan maksud tertentu juga tidak boleh. Tujuannya adalah untuk menarik simpati masyarakat, agar mereka memberikan suaranya untuk partai atau caleg yang bersangkutan.
Director of Public Affairs Praxis PR Sofyan Herbowo, mengatakan, penggunaan politik uang oleh peserta pemilu tidak lagi berpengaruh terhadap pilihan mahasiswa. Pilihan mereka lebih terpengaruh lewat kegiatan kampanye informatif dan sumber informasi terpercaya. ”Fakta membuktikan bahwa praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka (mahasiswa). Walaupun begitu, masyarakat juga mulai menormalisasi politik uang,” ujar Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) itu.
Nadelin Amelia Putri, mahasiswa UIN Jambi, mengatakan bahwa menggunakan politik uang tidak akan mengubah pemikiran mahasiswa untuk memilih kandidat yang memberikan uang tersebut, karena pilihan itu berasal dari pandangan terhadap kandidatnya, bukan dari uangnya.
Mahasiswa Jambi lebih menghargai visi, misi, dan program kerja kandidat dibandingkan dengan iming-iming materi.
Politik uang sering dianggap sebagai strategi untuk mendapatkan suara di pemilihan lokal dan nasional. Namun, mahasiswa Jambi lebih menyadari pentingnya kejujuran dan integritas dalam proses demokrasi, sehingga pandangan ini tidak berlaku.
Di tengah berbagai kesulitan dan keinginan, mahasiswa Jambi menunjukkan bahwa politik uang tidak lagi penting dan tidak memengaruhi keputusan mereka. Mahasiswa memiliki kesadaran yang tinggi tentang bahaya dan efek negatif korupsi, yang merupakan salah satu faktor yang mendukung sikap anti-politik uang ini.
Mereka menyadari bahwa pemimpin yang dipilih melalui politik uang biasanya tidak jujur dan lebih fokus pada kepentingan pribadi. Selain itu, mahasiswa Jambi menyadari bahwa menerima politik uang merupakan cara untuk mendukung praktik korupsi yang merusak demokrasi dan menghambat pembangunan.
Meski tak mempan, kemampuan ekonomi dari pemilih muda itu masih mempengaruhi keberpihakannya kepada politik uang. Namun Sebagian kalangan kelas bawah mengaku akan menerima uang dan memilih kandidat pemberinya. ”Berkaca pada hal itu, mungkin, sebesar atau sekecil apa pun yang diberikan peserta pemilu dominan masih memengaruhi kalangan tidak mampu,” tambahnya.
Organisasi kemahasiswaan di Jambi secara aktif menekankan pentingnya menjalankan proses pemilihan dengan jujur. Untuk memberi mahasiswa pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya mempertahankan etika politik, seminar, diskusi, dan workshop tentang anti-korupsi dan etika kepemimpinan sering diadakan.
Kampanye ini berhasil membuat mahasiswa percaya bahwa politik uang adalah musuh bersama dan harus dihindari. Kesadaran dan keberanian ini tidak hanya mencegah kecurangan dalam pemilihan, tetapi juga menghukum mereka yang melakukan politik uang. Kepercayaan mahasiswa terhadap sistem demokrasi meningkat berkat laporan yang ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.