Cempala berfungsi sebagai pemukul kotak isyarat dalang untuk tanda dimulainya pertunjukan wayang kulit dan juga tanda-tanda setiap adegan, dialog, dan sebagainnya. Gamelan, Wirapradangga, dan Pesinden melambangkan sebagai kebutuhan manusia yaitu (Sandang, Pangan, dan Papan).
Perkembangan wayang kulit dibagi menjadi 3 periode zaman antara lain dimulai ketika zaman pra Hindu-Budha. Keberadaan pertunjukan wayang di Nusantara pada saat itu  erat dengan energi-energi tak kasat mata (keyakinan animisme dan dinamisme) yang berpengaruh kepada kehidupan manusia.
Khususnya para leluhur yang telah tiada dan menyatu dengan kekuatan rohaniah tersebut dan menjadi daya penggerak bagi manusia untuk melintasi kehidupan serta mengatasi rintangan-rintangan yang dialaminya. Barulah ketika agama Hindu masuk ke Nusantara dan kerajaan-kerajaan berdiri, cerita-cerita epos India dimasukkan dalam pergelaran wayang dan kemudian justru menjadi repertoar utamanya, menggeser cerita-cerita tentang nenek moyang yang jejak-jejaknya dapat kita lihat sekarang, misalnya dalam lakon Dewi Sri atau Makukuhan.
Setidaknya ada dua metode penyebaran epos India ke Nusantara, antara lain melalui para brahmana yang menggawangi jalur literasi dan menginspirasi para penguasa untuk menggubah berbagai karya sastra India ke dalam "rasa Jawa", sementara para pedagang membawa cerita-cerita lisan yang dikenalnya melalui chayanataka atau permainan bayangan (yakni wayang kulit) dan kemudian "disuntikkan" ke dalam pertunjukan wayang kulit Jawa yang prinsipnya nyaris serupa.
Jalur masuk kedua tradisi ini pun konon berbeda, sementara para brahmana membawa masuk melalui tradisi pernaskahan Sanskerta yang berkembang luas di India Utara, disisi lain para pedagang dari India Selatan membawa cerita-cerita lisan Tamil atau versi-versi lokal Mahabharata dan Ramayana, yang kemudian menjadi "cerita wayang" dimana terkadang tidak selalu sejalan dengan "versi resmi"nya, sehingga timbullah apa yang sekarang dianggap orang sebagai lakon carangan atau "lakon cabang".
Ketika masa peralihan pra hindhu-budha ke masa Islam, terdapat cerita yang diyakini turun-temurun hingga generasi jawa saat ini. Dikisahkan, para Wali bermaksud untuk mendirikan masjid besar di Demak sebagai pusat syiar agama Islam. Para Wali pun berpencar ke berbagai penjuru untuk mencari bahan-bahan bangunan masjid, terutama kayu jati sebagai bahan saka guru atau tiang utamanya.
Sunan Kalijaga pergi ke hutan (dalam Babad Selahardi disebut: hutan Wanapringga) dan bertemu dengan seorang tua yang mengaku bernama Puntadewa atau Darmakusuma, raja Ngamarta, sulung dari lima Pandawa bersaudara.
Prabu Puntadewa tidak dapat mati sebelum ada yang dapat membaca Jimat Kalimasada yang dibawanya, dan ternyata hanya Sunan Kalijaga-lah yang mampu. Setelah diterangkan bahwa jimat Kalimasada berisi kalimah syahadat, persaksian tentang Allah dan Muhammad sebagai kredo keimanan utama dalam Islam, Puntadewa kemudian masuk Islam dan diberi nama Syekh Jambukarang.
Tidak lama kemudian, ia pun wafat. Sunan Kalijaga memakamkannya di Wanapringga. Karena terkesan dengan perjumpaannya menemui sulung Pandawa itu, Sunan Kalijaga lantas mengenangnya dalam bentuk pementasan wayang kulit dalam rangka pembukaan masjid Demak, sekaligus sebagai syiar agama Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu sangat menggemari dan mengkeramatkan wayang. Namun, dikemudian hari semakin majunya perkembangan ilmu pengetahuan kita harus menelisik lebih dalam kebenaran akan berbagai cerita yang belum ada bukti pastinya seperti ini.
Beberapa waktu lalu, setelah Perpustakaan Universitas Leiden merilis beberapa hasil pindai digital naskah Kalimasada atau Kalimahosada dari Bali untuk konsumsi publik, yang ternyata membuktikan bahwa naskah ini merupakan lontar pengobatan yang bersifat magi "putih" (white magic) berlatar agama Hindu yang memuja Siwa dan juga Durga, yang menjadi anti thesis masyarakat jawa islam alih-alih memuat Kalimah Syahadat di dalamnya sebagaimana pemahaman masyarakat Jawa Islam pada umumnya sampai saat ini. Keberadaan Darmakusuma sebagai Puntadewa, sulung Pandawa juga dibantah dalam naskah Srat Kaki Walaka yang disimpan oleh keluarga besar keturunan Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. Dalam naskah tersebut (yang diterjemahkan oleh alm.
Astuti Hendrato-Darmosoegito), dijelaskan bahwa sosok Sudarmakusuma yang ditemui oleh Sunan Kalijaga bukanlah Darmakusuma Puntadewa, melainkan penguasa Hindu dari selatan Jawa (sekitar Klaten, Jawa Tengah, sekarang), yang setelah masuk Islam diberi nama Ki Agng Jantikoripan.