Dengan sejarah serta keunikan tersebut, pada akhirnya Wayang khususnya wayang kulit diajukan Indonesia sebagai "Warisan Budaya Benda" Masterpiece Of Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO sejak 7 November 2003. Maka dari itu setiap tanggal 7 November maka dilaksanakan peringatan Hari Wayang Nasional berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No.30 Tahun 2018, tertanggal 17 Desember 2018 dengan menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang Nasional.
Pagelaran wayang kulit kita bisa menyaksikan dalam berbagai hal acara, seperti Hajatan Pernikahan, Bersih Desa/Dusun, Hari Jadi Kab/Kota, Hari Jadi Provinsi, Syukuran Khitanan, dan masih banyak lagi. Tentunya masih melekat di hati masyarakat mengenai seni tradisional ini. Mengapa demikian?
Karena wayang kulit juga merupakan identitas dari masyarakat jawa itu sendiri secara spiritual maupun non spiritual, keragaman wayang kulit sangat berpengaruh pada manusia yang terus dijaga dan dilestarikan sehingga bisa berpusat pada era globalisasi sekarang.
Dalang kondang yang sudah mendunia dari Indonesia Almarhum Ki Manteb Sudarsono telah memberikan banyak sekali kajian serta aksi yang memiliki nilai estetika unggul dalam dunia pewayangan, memainkan banyak lakon/judul yang membuat kagum semua orang. Kalimat "Manungsa Kudu Tansah Eling lan Waspada", filosofi penting bagi manusia, karena di zaman yang sekarang sangat berdampak besar sebagai simbol pengingat bagi mereka.
Membicarakan mengenai Pagelaran Wayang Kulit tentu tidak asing dengan istilahi "Ruwatan Murwakala" yang masih termasuk dalam bagian ritus peralihan menurut kajian antropologi, dimana maksud dari hal tersebut adalah upacara adat yang dilakukan untuk membebaskan diri (wong sukerto) dari gangguan BatharaKala (hal-hal keburukan), dimana Ruwatan ini masih dilakukan dan dipercaya masyarakat Khususnya di Kabupaten Ponorogo.
Secara bahasa, Â arti kata "Ruwat" dalam bahasa jawa sama dengan "Luwar" yang artinya lepas atau terlepas. Menurut masyarakat setempat Ruwatan Murwakala Wayang Kulit ini dipercayai sebagai ritual untuk membebaskan atau melepaskan kutukan sang dewa yang berbahaya, malapetaka, atau keadaan yang menyedihkan dan menetralisir kekuatan gaib yang mengganggu masyarakat yang punya hajat ruwatan.
Ruwatan membangkitkan karakteristik budaya (cultural characteristics) sebagai pedoman dari lokal genius, yang diperluas pengertiannya dari yang bersifat fenomenologis menjadi bersifat kognitif adalah orientasi yang menunjukkan padangan hidup serta sistem nilai masyarakat, persepsi yang menggambarkan tanggapan masyarakat Jawa terhadap dunia luar, pola dan sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkahlaku masyarakat sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai pri kehidupan masyarakat Jawa dalam pelaksanaan tradisi ruwatan. Tradisi ruwatan juga mengandung multikultutralisme dan makna peradaban universal. Multikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan perbedaan dalam kebersamaan, terutama dalam keyakinan. Berbagai unsur yang ada dalam masyarakat dipandang dan ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar dan setara. Dengan demikian, tercipta keadilan diantara berbagai unsur /budaya yang berbeda itu, dalam tradisi ruwatan dapat menjembatani semua keyakinan kepada Tuhan yang dipuja oleh umat manusia dan tidak menjadi masalah, karena pada hakekatnya semua masyarakat Jawa pelaksana ruwatan menganggap pemujaan terhadap nama Tuhan yang berbeda mempunyai tujuan yang sama.
Dalam upacara adat ruwatan, biasanya bisa berdiri menjadi satu pagelaran upacara ritual tunggal sebagai fungsi utamanya dan juga bisa bergabung dengan pagelaran wayang kulit konvensional (biasa) dimana selain sebagai pagelaran untuk hiburan masyarakat, juga berfungsi sebagai upacara ritual adat ruwatan atau bersih desa / ruwat desa. Biasanya bila ruwatan ini bergabung dengan pagelaran wayang kulit biasa, letaknya bisa di awal acara (sore hari) atau di akhir acara selesainya hiburan pagelaran wayang kulit (pagi hari). Ruwatan memang masih sering dipergelarkan khususnya di daerah penulis yaitu di Kabupaten Ponorogo. Ruwatan biasanya disajikan oleh seorang dalang yang dianggap cakap secara lahir dan spiritualitas, bijak, mumpuni dalam seni pedalangan, sudah mampu dalam pengalaman/yang lebih tua untuk sarana dihormati. Syarat spiritual mencakup banyak hal. Mulai dari harus jalan dan berdoa keliling 7 pasar, Puasa 40 hari 40 malam, menahan hawa nafsu, ngebleng (meditasi dan berdoa kepada Tuhan YME), mandi (kungkum) di 7 kali tempur (Pertemuan antara 2 cabang sungai atau lebih). Lakon pewayangan yang dibawakan Ki Dalang tersebut biasanya dengan lakon wayang kulit yang secara khusus memang diperuntukkan untuk ritual ruwatan, antara lain lakon Sudamala atau Murwakala. Kedua lakon ini memiliki makna yang sama. salah satu dalang yang sudah mumpuni dalam bidang Ruwatan Wayang Kulit ini di Ponorogo adalah Ki Gondo Bikan. Makna secara simbolis, Ki Dalang disini sebagai ayah angkat para sukerta (yang punya hajat untuk dilepaskan hal-hal buruk) , untuk itu sukerta dan keluarga diharapkan mampu menghayati mendalam dan paham makna kidung dan mantra suci dari Ki Dalang. Sebelum pagelaran wayang kulit, para sukerta dimohon untuk meminta doa restu kepada orang tuanya, selanjutnya selama pagelaran wayang kulit ini berlangsung dilanjutkan dengan ritual pemotongan rambut dan mandi suci, para sukerta diharuskan memakai pakaian putih (yang menandakan kesucian), dan air mandi suci tersebut berasal dari 7 sumber air yang berbeda.
Dilanjut nanti ketika sudah selesai pagelaran wayang dilanjut Ruwatan Murwakala dengan Properti Cerita Wayang Kulit dan Sesajen. Sisi menarik dari Ruwatan ini adalah dimana sesajenm atau alat yang digunakan mengandung berbagai filosofi, baik filosofi secara spiritual maupun non spiritual. Dimana, orang yang diruwat ini dibagi menjadi 2 menurut kepercayaan masyarakat. Yang pertama dari aspek kelahiran "Anak tunggal, anak yang lahir kembar, 3 anak yang kembar, anak laki laki 5/anak perempuan" kemudian yang kedua aspek kegiatan "tanam linggis, orang yang memecahkan kendi/kendil".Nilai Filosofis dan estetika yang terkandung dalam Ruwatan Murwakala Wayang Kulit ini dilihat dari tahapan/proses dan alat yang digunakan, dimana ritual seni tradisional ini berbeda dengan yang lainnya, antara lain Proses siraman kepada sukerta yang mengandung nilai pembersih badan dengan bunga mawar, bunga melati, dan bunga kenanga. Menggunakan sesajen (mati) yang terdiri atas buceng, ingkung, gedhang raja setangkep, jenang 7 rupa, cok bakal kemudian sajen hidup menggunakan ternak yang dimiliki seperti lele, bebek, ayam jago. Selain sesajen ada juga perabotan pendukung yang juga sebagai bagian dari sesaji yaitu sapu, cikrak, payung, dandang, tikar, kain kafan (mori), kaca cermin, air 7 sumber, bunga setaman, bunga telon, anglo dan menyan, dupa, dan kinangan). Kemudian salah satu tembang macapat Asmarandana yang biasannya tertuang dalam mantra/tembang saat ruwatan wayang ini yaitu "Aja turu sore kaki, Ana dewa ngangklang Jagad, Nyangking Bokor Kencanane, Isine donga tetulak, Sandhang Kalawan Pangan, Yaiku bageyanipun, Wong melek sabar narima". Dengan filosofis  bahwa  agar manusia bersikap prihatin dalam hidup. Tidur malam yang terlalu sore hanya akan menumpuk mimpi saja, sebaiknya manusia Jawa justru tidur lebih malam, waktunya diisi dengan penenangan batin, sebab waktu malam adalah waktu yang hening cocok untuk melakukan yoga semadi. Pada saat itu ada "Dewa" yang mengelilingi dunia yang akan menaburkan keberuntungan.
       Pada intinya sesajen dan perlengkapan ini bukanlah sarana yang digunakan untuk pemujaan untuk mahkluk gaib, akan tetapi digunakan untuk menghormati para leluhur dan sarana bersedekah tuan rumah yang memiliki hajat kepada masyarakat lingkungan sekitar sebagai perwujudan rasa syukur terimakasih akan nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan YME dan memohon keselamatan kepadaNYA. Kemudian ada prosesi tebusan (penyerahan) pihak sukerta kepada dalang ruwat sebagai pertanda kesepakatan telah berlangsungnya prosesi ruwatan.  Dilanjutkan prosesi potong rambut para sukerta yang memiliki filosofis bahwa segala sesuatu yang kotor harus dipotong dan dibuang. Sedangkan adanya tirakatan (doa bersama disertai laku tertentu seperti puasa / ngrowot) sebelum pagelaran wayang kulit digunakan sebagai simbol rasa syukur dan ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan serta anugerahnya.  Wujud bentuk pagelaran wayang kulit didalamnya membawa filosofis kehidupan manusia yang menginginkan kebaikan, yang pelaksanaan ruwatan ini sangat berkaitan kesucian jiwa dan raga masyarakat khususnya jawa.