Proses kedatangannya menjadi lebih rumit karena adanya keterlambatan dari agen yang seharusnya mengatur segala hal terkait kepindahannya. Rasa kecewa dan frustasi mulai muncul saat Lusi dan teman-temannya harus menunggu di luar bandara pada tengah malam, merasa ditelantarkan tanpa adanya kejelasan. Jauh dari rasa semangat dan antusiasme yang semula ia rasakan, Lusi justru merasa lelah.
Lusi juga menghadapi berbagai tantangan besar saat pertama kali tiba di Turki, mulai dari bahasa, budaya, hingga lingkungan sekitarnya.
Bahasa Turki, yang merupakan bahasa aglutinatif, membuat Lusi kesulitan memahami percakapan sehari-hari. Struktur kalimat yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia membuatnya kebingungan, terutama ketika berusaha berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar.
Meskipun mayoritas penduduk Turki beragama Islam, gaya hidup di sana terasa berbeda dari apa yang biasa ia temui di Indonesia. Penjualan alkohol yang bebas dan beberapa kebiasaan lainnya cukup mengejutkan baginya. Selain perbedaan budaya, tinggal di asrama dengan teman-teman dari berbagai negara juga menghadirkan tantangan tersendiri. Beradaptasi dengan lingkungan yang beragam, di mana sikap dan kebiasaan masing-masing individu berbeda, membutuhkan waktu dan usaha.
Sebagai orang tua, mendengar tantangan yang dihadapi Lusi di Turki, seperti kendala bahasa dan budaya, tentu membuat hati sang ibu cemas. Kekhawatiran utama adalah pergaulan yang sangat berbeda dengan apa yang mereka kenal di Indonesia. Sang ibu merasa khawatir jika Lusi terpengaruh oleh lingkungan di sekitar, terutama mengingat budaya dan kebiasaan yang lebih bebas di luar negeri.
Ketakutan akan pergaulan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut di Indonesia menjadi beban pikiran, meskipun mereka menyadari bahwa Lusi adalah pribadi yang kuat dan mandiri. Mereka berharap Lusi dapat tetap menjaga prinsip dan moralitas yang diajarkan, meski berada di tengah lingkungan yang sangat berbeda.
Kekhawatiran tersebut semakin diperburuk dengan kenyataan bahwa meskipun ada banyak teman sebangsa Indonesia di sana, mereka pun tidak luput dari pengaruh budaya asing yang bisa membentuk cara pandang dan sikap mereka. Namun, mereka mencoba untuk tetap memberikan dukungan penuh kepada Lusi, meski terpisah jarak jauh. Sang ibu menyampaikan bahwa mereka berusaha menguatkan Lusi dengan nasihat dan kata-kata penyemangat agar Lusi tetap tegar dan terus berusaha menghadapi tantangan yang ada. Mereka tidak bisa berada di sana secara fisik, tetapi selalu berusaha memberikan motivasi dan dukungan emosional agar Lusi merasa lebih semangat dan mampu bertahan di tengah segala rintangan.
Sang ibu juga menjelaskan bahwa mereka selalu menjaga komunikasi dengan Lusi setiap hari, baik itu melalui pesan singkat atau panggilan video. Tidak peduli seberapa sibuknya Lusi, mereka selalu berusaha meluangkan waktu untuk mengobrol, tukar kabar, dan saling bertukar cerita. Dengan cara ini, meski berada di tempat yang jauh, sang ibu merasa lebih tenang dan yakin bahwa Lusi baik-baik saja.
Secarik Pengalaman Kerja di Turki
Bekerja di sebuah hotel keluarga selama musim panas menjadi salah satu momen berkesan dalam perjalanan hidupnya. Meskipun awalnya ia hanya berniat untuk mencari pekerjaan sementara, kondisi yang mendesak di hotel membuat Lusi akhirnya bekerja lebih dari sekadar paruh waktu, karena hotel yang ia pilih membutuhkan banyak pekerja akibat meningkatnya jumlah turis selama musim liburan. Untuk mendapatkan pekerjaan ini, Lusi bergabung dengan sebuah grup perkumpulan orang Indonesia dan ia mencari peluang kerja di sana. Segera setelah tawaran datang, Lusi tanpa ragu langsung memulai pekerjaan tersebut.
Namun, bekerja di hotel yang dikelola oleh keluarga lokal ternyata membawa tantangan tersendiri. Lingkungan kerja yang sangat dekat, membuat Lusi merasa seperti bagian dari keluarga tersebut. Makan bersama, berbagi cerita, bahkan ikut serta dalam kegiatan keluarga, membuat Lusi sulit untuk menemukan waktu istirahat pribadi.