Mohon tunggu...
Nabila Virgizia
Nabila Virgizia Mohon Tunggu... -

Lulus dari Fakultas Hukum UGM pada tahun 2015 dan saat ini merupakan calon diplomat (Sekdilu 40) Kementerian Luar Negeri

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kegagalan Memahami Dinamika Perbatasan Negara

5 Oktober 2018   17:31 Diperbarui: 5 Oktober 2018   18:10 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opini Indonesia 1 Oktober 2018 memuat artikel "peneliti" Muchtar Effendi Harahap, Ketua Tim Studi NSEAS, berjudul "Kegagalan Jokowi di Bidang Politik Luar Negeri dan Penanganan Wilayah Perbatasan" yang dapat diakses dari link berikut ini. 

Judulnya memang bombastis, namun setelah menyimak isinya, jangankan analisisnya, penyajian datanya pun sudah problematik. Saudara Muchtar gagal menyajikan data yang aktual sehingga analisisnya menjadi jauh dari akurat. 

Mengingat Opini Indonesia adalah media yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, maka Penulis membuat artikel ini dalam rangka menghindari pembaca mendapatkan informasi yang menyesatkan.

Saudara Muchtar mencoba menjelaskan satu persatu anatomi status perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, namun tidak satu pun akurat. Contoh, dengan Singapura dikatakan tidak ada tindak lanjut meskipun kedua Negara telah menjadi Negara Pihak Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS). 

Faktanya, perjanjian Indonesia-Singapura sudah hampir tuntas dan merupakan salah satu batas yang terlengkap setelah disepakatinya perjanjian batas laut Indonesia dengan Singapura pada tahun 1973, di segmen Barat Selat Singapura tahun 2009,  dan segmen Timur pada tahun 2014. 

Yang tersisa hanya segmen Pedra Branca, dan tidak mungkin dirundingkan oleh Indonesia saat ini karena perairan ini masih menjadi sengketa antara Singapura dan Malaysia. Lantas, apa yang mau ditindaklanjuti?

Kemudian, Saudara Muchtar juga menyatakan bahwa tidak ada perjanjian baru antara Indonesia dengan Filipina setelah ditandatanganinya Deklarasi Bersama mengenai penetapan batas laut pada tahun 2011.

Terlihat kembali bahwa Saudara Muchtar tidak melakukan riset yang mendalam dan tidak mengaktualisasi diri dengan perkembangan terkini. Pada tahun 2014, Indonesia dan Filipina telah menandatangani Persetujuan Batas Zona Ekonomi Eksklusif. Indonesia juga telah mengesahkan Persetujuan ini melalui UU Nomor 4 Tahun 2017.  

Bukti lain kekeliruan Saudara Muchtar adalah pernyataannya bahwa pertemuan terakhir mengenai penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan Vietnam dilakukan pada bulan Juli 2011. 

Kenyataannya, beberapa hari setelah Kunjungan Kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Vietnam pada 11 September 2018, Indonesia dan Vietnam melakukan perundingan putaran ke-11 pada 14 September 2018. Data ini tidak sulit untuk diketahui, sebab informasi ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri melalui akun Twitter resminya pada tanggal 13 September 2018.

Data yang lebih fatal lagi adalah Saudara Muchtar menyatakan bahwa isu perbatasan dengan Papua New Guinea tidak ada perkembangan sama sekali. Klaim ini sangat aneh karena antara Indonesia dan Papua New Guinea sudah tidak ada lagi isu penetapan perbatasan, semua garis batas baik darat maupun laut sudah lama selesai dirundingkan dan disepakati. 

Pemerintah sedang berfokus pada upaya pengembangan dan pengelolaan wilayah perbatasan dan ini merupakan pekerjaan rutin tanpa harus melibatkan Papua New Guinea. Informasi tentang ini banyak bertebaran di berbagai sumber publik.

Memahami Penetapan Batas Wilayah

Masih banyak lagi contoh lain. Mungkin Saudara Muchtar tidak paham dengan kompleksitas masalah perbatasan sehingga bisa saja keliru menyajikan datanya. Artikel ini tidak akan mengungkap lebih lanjut kekeliruan demi kekeliruan data Saudara Muchtar, namun mencoba meluruskannya sehingga pembaca lain yang sempat 'terkesima' dengan retorika Saudara Muchtar dapat memperoleh data yang akurat perihal anatomi penetapan batas wilayah Indonesia.

Dalam sejarah Republik Indonesia, penetapan batas wilayah pertama kali disepakati dengan Malaysia pada tahun 1969. Proses negosiasi tersebut berlangsung cukup singkat. Ada kepentingan nasional yang diusung oleh Indonesia ketika menegosiasikan perjanjian tersebut, yakni pengakuan Malaysia akan konsep Negara Kepulauan yang diproklamasikan melalui Deklarasi Djuanda pada tahun 1957.

Meskipun kepentingan nasional adalah prioritas dalam menentukan perbatasan dengan Negara tetangga, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa penetapan garis batas merupakan kesepakatan dari dua Negara yang berdaulat sebagaimana disampaikan oleh Damos Dumoli Agusman dalam artikel "Penyelesaian Batas Maritim Indonesia: Kenapa Sulit" yang dipublikasikan pada tahun 2016. Setiap Negara, dalam perundingan, juga harus memperhatikan kepentingan dari Negara lain.

Secara hukum internasional, garis batas Negara yang sudah disepakati harus berlaku sepanjang masa. Oleh sebab itu, perundingan penetapannya baik oleh Indonesia maupun negara tetangga harus dilakukan secara hati-hati. Itulah sebabnya merundingkan garis batas memakan waktu yang cukup lama. 

Sebagai contoh, perundingan Landas Kontinen Indonesia dan Vietnam memakan waktu 30 tahun, sementara perundingan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina baru selesai setelah kurang lebih 20 tahun.

Dengan memperhatikan hal--hal tersebut, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perundingan perbatasan tidak dapat serta merta diartikan sebagai tolok ukur suatu kegagalan. Perundingan perbatasan adalah suatu proses yang berkelanjutan. Tidak ada Presiden yang tidak ingin menyelesaikan proses perundingan dalam waktu sesingkat-singkatnya. 

Namun patut juga diingat, dan disini Saudara Muchtar kelihatannya gagal paham, bahwa perjanjian perbatasan itu bukan urusan sepihak alias "bertepuk sebelah tangan" namun urusan 'saling sepakat' dengan negara tetangga yang berdaulat mengatakan setuju atau tidak setuju. Sekuat apa pun suatu rezim pemerintahan di Indonesia, tetap tidak bisa mendikte negara tetangga yang berdaulat.

Di saat yang sama, pemerintah Indonesia, siapa pun Presidennya, memahami risiko apabila perundingan dilakukan secara tergesa--gesa. Apakah Pemerintah Orde Lama dianggap gagal hanya karena pada masanya tidak menyelesaikan satupun perjanjian perbatasan dengan Negara tetangga? 

Apakah kemudian Pemerintah Orde Baru dapat dianggap gagal hanya karena tidak berhasil menuntaskan perjanjian Landas Kontinen dengan Vietnam dalam kurun masa jabatannya? 

Apakah Presiden Yudhoyono adalah seorang presiden gagal hanya karena tidak mampu menyelesaikan perbatasan di Blok Ambalat? Tentu tidak. Tapi yang pasti adalah semua Presiden berhasil melindungi kepentingan nasionalnya, dengan atau tanpa harus menghasilkan suatu perjanjian perbatasan.

Perundingan perbatasan Indonesia dengan Negara tetangga dilakukan dengan prinsip kehati--hatian dengan mengedepankan kepentingan nasional dan akuntabilitas kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. 

Oleh sebab itu, setiap titik dan garis yang dirundingkan oleh Pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Rakyat. Perunding tidak hanya diharuskan memahami aspek yuridis, teknis dan politis, namun juga mumpuni berdiplomasi. Ini tugas yang sangat kompleks.

Saudara Muchtar akan lebih paham jika bersedia melakukan studi banding ke negara-negara tetangga (comparative outlook). Perhatikan di negara ASEAN saja, maka akan ditemukan bahwa Indonesia adalah negara yang paling produktif melahirkan perjanjian perbatasan, dan bahkan saat ini semua perundingan perbatasan sedang berjalan secara pararel. Di lain pihak Negara-negara tetangga masih baru memulai perundingan. 

Paramater ini justru lebih objektif untuk mengukur apakah suatu negara berhasil atau gagal dalam isu perbatasan. Sayangnya, Saudara Muchtar mengukur kegagalan Indonesia tanpa alat ukur.

Sangat disayangkan artikel seperti yang ditulis oleh Muchtar Effendi ini sangat cekak dengan pemahaman ini. Sebagai lulusan sebuah universitas yang dikenal sebagai kampus yang merakyat, Penulis sangat menyayangkan ketika seseorang yang membawa titel sebagai alumnus Universitas Gadjah Mada dalam mempublikasikan karya tulisnya justru sama sekali tidak mampu untuk menghasilkan suatu karya tulis yang berbasis data yang aktual dan akurat di suatu laman ('Opini Indonesia') yang justru bermaksud mencerdaskan para pembacanya. Tapi sudahlah, mungkin Artikel Saudara Muchtar bukan dimaksudkan untuk pencerdasan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun