Pemerintah sedang berfokus pada upaya pengembangan dan pengelolaan wilayah perbatasan dan ini merupakan pekerjaan rutin tanpa harus melibatkan Papua New Guinea. Informasi tentang ini banyak bertebaran di berbagai sumber publik.
Memahami Penetapan Batas Wilayah
Masih banyak lagi contoh lain. Mungkin Saudara Muchtar tidak paham dengan kompleksitas masalah perbatasan sehingga bisa saja keliru menyajikan datanya. Artikel ini tidak akan mengungkap lebih lanjut kekeliruan demi kekeliruan data Saudara Muchtar, namun mencoba meluruskannya sehingga pembaca lain yang sempat 'terkesima' dengan retorika Saudara Muchtar dapat memperoleh data yang akurat perihal anatomi penetapan batas wilayah Indonesia.
Dalam sejarah Republik Indonesia, penetapan batas wilayah pertama kali disepakati dengan Malaysia pada tahun 1969. Proses negosiasi tersebut berlangsung cukup singkat. Ada kepentingan nasional yang diusung oleh Indonesia ketika menegosiasikan perjanjian tersebut, yakni pengakuan Malaysia akan konsep Negara Kepulauan yang diproklamasikan melalui Deklarasi Djuanda pada tahun 1957.
Meskipun kepentingan nasional adalah prioritas dalam menentukan perbatasan dengan Negara tetangga, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa penetapan garis batas merupakan kesepakatan dari dua Negara yang berdaulat sebagaimana disampaikan oleh Damos Dumoli Agusman dalam artikel "Penyelesaian Batas Maritim Indonesia: Kenapa Sulit" yang dipublikasikan pada tahun 2016. Setiap Negara, dalam perundingan, juga harus memperhatikan kepentingan dari Negara lain.
Secara hukum internasional, garis batas Negara yang sudah disepakati harus berlaku sepanjang masa. Oleh sebab itu, perundingan penetapannya baik oleh Indonesia maupun negara tetangga harus dilakukan secara hati-hati. Itulah sebabnya merundingkan garis batas memakan waktu yang cukup lama.Â
Sebagai contoh, perundingan Landas Kontinen Indonesia dan Vietnam memakan waktu 30 tahun, sementara perundingan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina baru selesai setelah kurang lebih 20 tahun.
Dengan memperhatikan hal--hal tersebut, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perundingan perbatasan tidak dapat serta merta diartikan sebagai tolok ukur suatu kegagalan. Perundingan perbatasan adalah suatu proses yang berkelanjutan. Tidak ada Presiden yang tidak ingin menyelesaikan proses perundingan dalam waktu sesingkat-singkatnya.Â
Namun patut juga diingat, dan disini Saudara Muchtar kelihatannya gagal paham, bahwa perjanjian perbatasan itu bukan urusan sepihak alias "bertepuk sebelah tangan" namun urusan 'saling sepakat' dengan negara tetangga yang berdaulat mengatakan setuju atau tidak setuju. Sekuat apa pun suatu rezim pemerintahan di Indonesia, tetap tidak bisa mendikte negara tetangga yang berdaulat.
Di saat yang sama, pemerintah Indonesia, siapa pun Presidennya, memahami risiko apabila perundingan dilakukan secara tergesa--gesa. Apakah Pemerintah Orde Lama dianggap gagal hanya karena pada masanya tidak menyelesaikan satupun perjanjian perbatasan dengan Negara tetangga?Â
Apakah kemudian Pemerintah Orde Baru dapat dianggap gagal hanya karena tidak berhasil menuntaskan perjanjian Landas Kontinen dengan Vietnam dalam kurun masa jabatannya?Â