Kabar mengejutkan datang dari ibu kota, di mana lebih dari seratus guru honorer di
Jakarta diberhentikan secara sepihak oleh pemerintah daerah melalui program cleansing.
Berita ini menimbulkan kegeraman di kalangan publik, tidak terkecuali Ketua DPR RI
Puan Maharani, yang turut menyampaikan kritik keras terhadap keputusan ini. Pemecatan
ratusan guru honorer ini tidak hanya merugikan mereka secara pribadi tetapi juga
mencerminkan masalah struktural dalam sistem pendidikan Indonesia, terutama terkait
dengan nasib tenaga honorer yang seringkali berada di bawah bayang-bayang
ketidakpastian pekerjaan. Dalam opini ini saya akan mengulas masalah ini lebih dalam
serta menawarkan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan di masa depan.
Polemik pemecatan guru honorer di Jakarta ini merupakan dampak dari program
yang disebut cleansing, dimana ratusan guru diberhentikan dengan alasan bahwa mereka
diangkat tanpa melalui prosedur yang benar, yakni tanpa rekomendasi dari Dinas
Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta. Sebagai tindak lanjut dari hasil Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), pemerintah daerah merasa perlu melakukan pemutusan kerja sama
tersebut. "Namun, tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar: 'bagaimana bisa sekolah-
sekolah di DKI Jakarta mengangkat guru honorer tanpa rekomendasi dari Disdik? Apakah
kebutuhan akan tenaga pengajar yang mendesak telah mengesampingkan prosedur
formal?' "
Keputusan ini sangat mengejutkan dan tidak sesuai dengan semangat perbaikan nasib
guru honorer yang selama ini menjadi salah satu fokus pemerintah. Kita tidak bisa
menutup mata bahwa para guru honorer ini telah memberikan kontribusi nyata bagi
pendidikan di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan
tenaga pengajar. Pemutusan kerja sama ini tidak hanya berdampak pada nasib ratusan
guru, tetapi juga berpotensi mengganggu proses belajar mengajar di sekolah-sekolah yang
terdampak.
Guru honorer sering kali disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, memiliki
peran penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Mereka mengisi kekosongan yang
ditinggalkan oleh kurangnya tenaga pengajar tetap di berbagai sekolah, terutama di
daerah-daerah yang terpencil dan minim akses pendidikan. Namun, kesejahteraan mereka sering kali tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan. Dengan status yang tidak
tetap, gaji yang jauh di bawah standar guru PNS, dan ketidakpastian masa depan karir,
guru honorer kerap kali berada di posisi yang rentan.
Pemecatan secara sepihak ini menunjukkan bahwa pemerintah masih belum
sepenuhnya menghargai peran guru honorer dalam mendukung sistem pendidikan di
Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berkomitmen untuk memperbaiki nasib tenaga
honorer, termasuk melalui rencana penataan tenaga non-ASN. Di sisi lain tindakan seperti
pemecatan ini menunjukkan adanya kontradiksi dalam implementasi kebijakan.
Pemutusan kerja sama dengan ratusan guru honorer ini berpotensi memberikan
dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas pendidikan di DKI Jakarta. Pada awal
tahun ajaran baru, dimana sekolah-sekolah seharusnya memfokuskan perhatian pada
proses belajar mengajar, pemecatan ini bisa menyebabkan kekurangan tenaga pengajar.
Dalam jangka pendek sekolah-sekolah yang terdampak harus mencari pengganti guru
honorer yang diberhentikan, yang mungkin tidak mudah dilakukan dalam waktu singkat.
Ini dapat menghambat proses belajar mengajar dan merugikan para siswa yang
membutuhkan bimbingan dari guru-guru tersebut.
Selain itu pemutusan kerja ini juga berdampak pada motivasi guru-guru lainnya, baik
honorer maupun PNS, yang mungkin merasa khawatir terhadap ketidakpastian pekerjaan
mereka di masa depan. Jika kesejahteraan dan status guru terus diabaikan, bukan tidak
mungkin kita akan menghadapi krisis tenaga pengajar di masa mendatang.
Dalam situasi ini, peran pemerintah sebagai fasilitator sangatlah krusial [1].
Sebagaimana disampaikan oleh Puan Maharani, dialog antara pemerintah, sekolah, dan
para guru harus dilakukan untuk menemukan solusi terbaik. Kebijakan pemecatan secara
sepihak ini harus dievaluasi ulang, dengan mempertimbangkan kebutuhan tenaga
pengajar serta prosedur yang berlaku. Pemerintah pusat dapat menjadi mediator untuk
memastikan bahwa hak-hak para guru honorer terlindungi, sekaligus memastikan bahwa
proses belajar mengajar tidak terganggu.
Perlunya pemerintah untuk memperkuat regulasi dan prosedur pengangkatan guru
honorer agar kasus seperti ini tidak terulang di masa mendatang [2]. Jika memang ada
kesalahan administratif yang dilakukan oleh pihak sekolah, hal tersebut harus
diselesaikan melalui jalur yang adil dan transparan, tanpa harus mengorbankan nasib para
guru yang telah bekerja keras.
Untuk mengatasi masalah ini dan mencegah terulangnya kejadian serupa, ada
beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah:
Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus
memfasilitasi dialog terbuka antara pihak sekolah, Disdik, dan para guru honorer
untuk mencari solusi yang adil. Audiensi ini harus dilakukan dengan transparansi
penuh, agar semua pihak dapat memahami posisi masing-masing dan mencapai
kesepakatan yang saling menguntungkan.
Pemerintah harus memperbaiki sistem pengangkatan guru honorer, termasuk dengan
menetapkan prosedur yang jelas dan mudah dipahami oleh sekolah-sekolah. Hal ini
penting untuk mencegah terjadinya kesalahan administratif di masa mendatang [3].
Selain penataan administrasi, pemerintah juga perlu memperbaiki kesejahteraan guru
honorer, baik dari segi gaji maupun status pekerjaan. Ini dapat dilakukan dengan memberikan akses yang lebih mudah bagi para guru honorer untuk menjadi ASN,
serta menjamin hak-hak mereka sebagai tenaga pendidik.
Program cleansing yang dilakukan pemerintah daerah harus dievaluasi ulang [4].
Jika memang bertujuan untuk membersihkan sistem dari ketidaksesuaian prosedural,
langkah tersebut harus dilakukan secara bijak, tanpa harus mengorbankan tenaga
kerja yang telah berkontribusi terhadap pendidikan.
Pemecatan ratusan guru honorer di DKI Jakarta merupakan masalah serius yang
mencerminkan adanya ketidakselarasan antara kebijakan pemerintah pusat dan
pelaksanaannya di daerah. Dalam situasi ini, peran pemerintah sebagai fasilitator sangat
diperlukan untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak. Selain itu, pemerintah perlu
segera memperbaiki sistem pengangkatan guru honorer, memperbaiki kesejahteraan
mereka, dan memastikan bahwa tindakan seperti pemecatan sepihak ini tidak akan
terulang di masa mendatang. Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa, dan para
guru---termasuk guru honorer---memainkan peran vital dalam membangun fondasi
tersebut. Mari kita jaga martabat mereka, demi masa depan generasi penerus yang lebih
baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H