Pada suatu hari, si kancil tak bisa bergerak lagi. Singa terisak, dan berkata, "Mungkin ini saatnya kita berpisah, aku akan hidup demi kita. Terimakasih sudah menjagaku selama ini." Lalu singa itu melenggang pergi.
Tinggalah kancil tergeletak di tanah, terlalu lemah untuk bergerak. Pada akhirnya ia merasa lebih sendirian. Lebih terluka. Singa itu meninggalkannya dalam keadaan terluka parah. Diantara hidup dan mati. Ia meneteskan air matanya. Si kancil tau, setidaknya dalam hati kecilnya, bahwa ini akan jadi akhir kisahnya. Selama ini ia menutup dirinya dan berusaha melihat sisi yang terbaik dari si singa. Ia berkorban mati-matian untuk hidup singa, membuang nyawanya sendiri.Â
Ibunya benar. Si kijang itu benar. Singa selamanya adalah singa, sebaik apapun ia, seberapa seringpun si singa meminta maaf. Singa itu tetap memakannya perlahan. Singa itu tetap menyakitinya. Singa itu sedang berusaha bertahan untuk hidup, jadi mungkin itu bukan salahnya. Tapi si kancilah yang salah, ia memberikan hidupnya pada si singa. Ia tidak memperjuangakan hidupnya.Â
Beberapa saat kemudian, hujan turun. Lalu, mata si kancil mulai tertutup. dan akhirnya ia istirahat untuk selamanya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI