Hari berganti hari, kancil dan singa itu kini berjalan berdampingan, mencoba bertahan hidup di musim kemarau panjang ini. Kancil memakan tumbuhan yang ia bisa temukan, dan singa, memakan sedikit demi sedikit daging si kancil.Â
Suatu hari mereka beristirahat di tepi sungai yang kering. "Singa, aku ingin mencari air dulu, kamu tunggalah disini"
Si kancil sangat menyayangi singa itu. Baginya, singa itu merupakan teman yang setia berada disampingnya.Â
Setelah lama mencari, akhirnya kancil menemukan sungai yang sudah hampir kering. Disungai tersebut kancil melihat seekor kijang yang sedang minum. Si kijang menoleh dan melihat kancil.Â
"Hai, kenapa pundakmu?" tanya si kijang. Kancil mulai menjelaskan padanya.
"Bagaimana kamu bisa bilang itu kepedulian? yang ia lakukan hanya mengambil untung darimu, ia mulai mengigitmu semakin banyak, apa yang kau harapkan selanjutnya? bahwa ia akan berhenti menyakitimu?"
"Singa tak menyakitiku, bukankah kamu paham? Akulah yang memintanya", si kancil membela singa.
"Maka kamu bodoh, menetapkan dirimu sendiri dalam bahaya."
"Apa maksudmu?" tanya si kancil pada kijang.
"Bagaimanapun singa adalah singa, kancil adalah kancil, kalian dari dua dunia yang berbeda. Dimana yang satu pemangsa dan yang satu adalah mangsa. Kamu boleh percaya bahwa ia adalah singa yang berbeda, tapi insting mereka tetaplah sama. Lihatlah dengan jernih, hubungan ini menghancurkanmu, membuatmu merasa sakit. Apapun yang singa itu pernah lakukan dimasa lalu, tinggalkanlah." Kata si kijang menggebu-gebu.
Si kancil merasa tersinggung dengan kata-kata kijang.