Mohon tunggu...
Nabilah Permata
Nabilah Permata Mohon Tunggu... -

falling in love with rain

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Legenda Gunung Bromo

15 Februari 2016   21:07 Diperbarui: 16 Februari 2016   20:17 1840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gunung Bromo sebagai lokasi terbaik di Indonesia untuk melihat matahari terbit yang sangat indah dan menawan mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Gunung aktif yang berada di Indonesia, tepatnya di Jawa Timur yang meliputi 4 kabupaten yaitu Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang ini,mempunyai banyak  objek wisata yang menarik perhatian pengunjung. Tidak hanya kawahnya saja, bukit teletubies, pasir berbisik, dan kebun strawberry juga ampuh mendatangkan wisatawan internasional. Dibalik keidahannya yang terkenal tak hanya di dalam negeri saja, ternyata masih banyak rakyat Indonesia sendiri yang masih belum tahu sejarah dari Gunung Bromo sendiri. Sebagai warga Indonesia yang bangga akan wisata alamnya, lebih baik kita menggali lebih dalam tentang sejarah Gunung Bromo. Beginilah ceritanya..

 

Legenda Gunung Bromo

 

Dikisahkan pada zaman dulu, hiduplah sepasang muda suami istri di suatu dusun terpencil. Setelah beberapa tahun menikah, sang istri akhirnya hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Anehnya, bayi perempuan ini sewaktu dilahirkan tidak menangis, maka dari itu kedua orang tuanya memberinya nama ‘Rara Anteng’ yang artinya perempuan tenang atau diam. 

Seiring waktu berjalan, garis kecantikan nampak semakin jelas di wajah Roro Anteng. Keelokannya begitu terkenal di kalangan para jejaka saat itu, termasuk seorang bajak jahat yang sakti mandraguna. Berbekal kesaktiannya, sang bajak pun melamar Rara Anteng.

Rara Anteng yang terkenal halus perasaannya, tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Kemudian, ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah – tengah gunung. Dengan syarat yang aneh itu, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan mau memenuhi permintaannya. Ditambah lagi, lautan yang dimintanya harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam dan batas akhirnya ketika matahari terbit. Tak disangka – sangka, permintaan Rara Anteng tersebut disanggupi oleh sang bajak. 

Pelamar sakti itu memulai mengerjakan lautan dengan tempurung (batok kelapa) hingga pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan ini, Rara Anteng mulai gelisah. Dia memikirkan bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu. Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup dengan suami yang tidak ia cintai. Kemudian setelah mencoba untuk tenang dan memikirkan ide, tiba – tiba timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu.

Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan, terdengar suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah - olah fajar telah tiba, tetapi penduduk masih belum memulai kegiatan pagi.

Bajak mendengar ayam - ayam berkokok, padahal benang putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Setelah itu dia merenungi nasib sialnya. Rasa kesal dan marah bercampur emosi, dilampiaskan dengan melemparkan tempurung (batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir, yang kemudian tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang sampai sekarang dinamakan Gunung Batok.

Kegagalan bajak itu membuat lautan di tengah - tengah Gunung Bromo mampu membuat Rara Anteng bersuka cita. Kemudian ia melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Beberapa hari kemudian, Rara Anteng dan Joko Seger menikah dan menjadi pasangan suami istri bahagia karena keduanya saling menyayangi dan mencintai.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.

Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup damai dan sejahtera, akan tetapi sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumah tangga, mereka belum juga dikaruniai keturunan. Akhirnya diputuskanlah keduanya naik ke puncak Gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar di karuniai keturunan.

Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat, bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, lalu pasangan ini menyanggupinya begitu saja. Kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun sebagai orang tua, mereka tetaplah tidak tega bila kehilangan anaknya. Karena mereka ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita sehingga kawah Gunung Bromo menyemburkan api.

Kusuma, anak bungsunya pun lenyap dari pandangan dan terjilat api, kemudian masuk ke kawah Bromo. Bersamaan dengan hilangnya Kusuma, terdengarlah suara gaib, ”Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Syah Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Syah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji yang berupa hasil bumi kemudian dipersembahkan kepada Hyang Widi asa di kawah Gunung Bromo."

Sampai sekarang kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo. Begitulah Legenda Gunung Bromo. Semoga cerita ini menjadi budaya yang tak terlupakan, karena sampai sekarang, Gunung Bromo menjadi tempat yang begitu indah dan menjadi lokasi wisata Bromo meski di selimuti banyak misteri.

 

 

Nilai Moral

Dalam kasus lamaran Roro Anteng, kita bisa memetik hikmahnya, bahwa kita memang tidak boleh menolak permintaan orang dengan kasar, namun kita juga harus memikirkan konsekuensinya jika kita menerima permintaan tersebut. Apabila kita tidak bisa menyanggupinya, sebaiknya kita tolak permintaan tersebut dengan baik.

Kemudian dalam kasus pengorbanan si bungsu, itu mencerminkan bahwa saat kita menginginkan sesuatu dan kemudian dapat tercapai, kita tidak boleh lupa dengan syarat yang harus kita penuhi demi menggapai keinginan tersebut.

Nilai Budaya

Dengan diadakannya upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo tiap tahunnya jelas menunjukkan bahwa nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat ini begitu kental pengaruhnya terhadap masyarakat zaman sekarang. Tradisi memberikan sesaji yang berupa hasil bumi kemudian di persembahkan kepada Hyang Widi asa di kawah Gunung Bromo ini sampai sekarang diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger tiap pertengahan bulan Kasada.

Nilai Agama

Berawal dari pembentukan suku Tengger sendiri sebagai suku asli yang mendiami kawasan Gunung Bromo, dapat kita simpulkan bahwa pengaruh agama yang dianut mereka memberikan peran yang cukup besar dalam pelaksanann tradisi upacara Kasada. Suku yang sejak awal telah menganut kepercayaan agama Hindu ini sampai sekarang menyembah dan memberikan persembahan berupa sesaji kepada tuhannya, yaitu Syah Hyang Widi.

 

 

 

 

http://wisatabromo.com/sejarah-gunung-bromo/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun