Mohon tunggu...
nabilah mutiara
nabilah mutiara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasisiwi Universitas Islam Negeri Malang Maulana Malik Ibrahim Malang

Hobi menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Memandang dari Kacamata Islam: Economic Growth

5 Juni 2024   00:43 Diperbarui: 5 Juni 2024   06:35 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat asas tersebut di atas merupakan pijakan utama yang mempunyai nilai etika bagi manusia dalam melakukan pembangunan di muka bumi, karena keempat asas tersebut sudah mencakup seluruh aspek kebutuhan manusia baik materi atau spritualitas sebagai ciri khusus ekonomi yang berlandaskan ketentuan syari'ah. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan dalam perspektif ekonomi Islam bukan saja bertujuan untuk mewujudkan dimensi kemanusiaan (insani) namun juga diarahkan memiliki dimensi Ilahi.

Melihat sejarah, banyak aksioma dasar perekonomian Barat, termasuk kapitalisme dan sosialisme, yang terinspirasi oleh landasan ekonomi Islam. Bedanya, ekonomi Islam menganalisis perilaku individu lebih berdasarkan etika, nilai, dan moral. Oleh karena itu, orang Islam yang rasional harus memperhatikan tidak hanya kepuasan materiil saja, namun juga kepuasan spiritual. Lebih lanjut, ilmu ekonomi Islam harus mampu menjawab pertanyaan apakah yang menjadi prioritas pertumbuhan ekonomi adalah pemerataan (growth with equity) atau pertumbuhan itu sendiri (growth itu sendiri). Jawaban atas pertanyaan ini adalah Islam mensyaratkan kedua aspek tersebut.

Pertumbuhan dan keadilan diperlukan pada saat yang bersamaan. Islam tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan merupakan kebutuhan nyata. Islam, sebaliknya, terus menekankan kesetaraan. Sebab, pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kesejahteraan secara keseluruhan, apalagi jika pendapatan dan faktor produksi terkonsentrasi pada segelintir orang.

Oleh karena itu, teknik dan pendekatan baru yang harus diterapkan dalam pembangunan menurut perspektif ekonomi Islam adalah penggunaan model pertumbuhan agregat yang menekankan pada maksimalisasi laju pertumbuhan sebagai satu-satunya indikator perencanaan pembangunan harus ditinggalkan.

Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang tinggi19 bukanlah tujuan utama. Karena apa yang dimaksud dengan hasil per kapita yang tinggi sangat berbeda dengan kenyataan, dimana kemiskinan masih tersebar luas dan kesenjangan masih tinggi. Menurut M. Umer Chapra, setidaknya ada lima elemen kunci yang harus diterapkan untuk mencapai kesetaraan. Pertama, untuk mencapai lapangan kerja penuh, kami akan memberikan pelatihan dan tawaran kerja kepada pencari kerja. Kedua, memberikan pekerja sistem pengupahan yang layak. Ketiga, menyiapkan asuransi wajib untuk mengurangi pengangguran, santunan pekerja, tunjangan hari tua, dan lain-lain. Tujuan keempat adalah mendukung penyandang disabilitas fisik dan mental agar dapat menjalani kehidupan yang bermartabat. Kelima, menghimpun dan memanfaatkan zakat, infak, dan sedaka melalui pajak dan peraturan perundang-undangan lainnya. Al-Qur'an dengan tegas menyatakan dalam surat Al-Hasir ayat 7: "Harta tidak boleh terus-terusan beredar hanya di kalangan orang-orang kaya saja".

Dari sini kita bisa mengetahui perbedaan paham Islam dan Paham Kapitalisme dalam konsep pertumbuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, bahwa pertumbuhan dalam Islam mencakup tiga aspek penting yaitu pembangunan fisik, mental dan spiritual. Sedagkan menurut Heidar Naqvi, pertumbuhan dalam kerangka Islam meliputi aspek moral-spiritual dan material kehidupan manusia. Jika pertumbuhan menurut sistem kapitalis Barat dimana riba masih dijadikan sistem, baik dalam bank dan perdagangan adalah sesuatu yang bertentangan dengan konsep ekonomi Islam. Dalam QS al-Baqarah: 275 dan 278 disebutkan: "Orang yang memakan riba tidak boleh berdiri (pada hari kiamat ) melainkan seperti berdirinya orang yang dirasuki setan." Dan "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin."

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa Islam memberikan konsep keseimbangan antara tujuan sekuler dan spiritual. Konsep keseimbangan ini juga menjadi landasan ajaran Islam tentang optimalisasi pertumbuhan. Karena pertumbuhan yang diberikan oleh perekonomian tradisional pada akhirnya menantang inefisiensi dalam distribusi pendapatan dan merangsang pertumbuhan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan.

Faktor-faktor yang dapat merangsang pertumbuhan antara lain pemenuhan kebutuhan melalui lapangan kerja penuh. Syariah mendorong setiap orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka untuk kebahagiaan hidup. Meskipun penggunaan sumber daya manusia diperlukan untuk kesejahteraan manusia dan merupakan salah satu tujuan syariah, seperti halnya penggunaan sumber daya alam sebagai bahan untuk mencapai hasil yang lebih besar, Islam juga melarang pengeluaran yang boros. Selain dorongan spiritual dan nilai-nilai multidimensi dalam ajaran Islam, juga mencakup nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam sikap Takaful dan Tadamun (saling menjaga keamanan). Sikap tersebut dapat dipraktikkan melalui Zakat, pinjaman amal, filantropi, dan hal-hal lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jika langkah ini didasarkan pada tingkat kesadaran yang tinggi, terutama bagi masyarakat kaya, maka konsumsi dan distribusi per kapita akan terdorong, dan pendapatan per kapita negara pasti akan meningkat.

Kesimpulannya adalah Pertumbuhan dalam ekonomi Islam berasaskan empat hal yaitu tauhid (hubungan sesama manusia dengan Allah). rububiyyah, Khalifah (manusia sebagai utusan Allah di muka bumi ini), Tazkiyah (mekanisme utama bagi mewujudkan pertumbuhan termasuk sumber daya manusia). Pertumbuhan ekonomi dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep ekonomi kapitalis (neo-klasik). Konsep dasar kapitalis memiliki utama untuk memenuhi kebutuhan tanpa batas, sehingga muncullah sikap pemenuhan terhadap barang-barang dan jasa tanpa batas pula dan tidak jarang tanpa memikirkan lingkuan sekitar dan orang lain yang menyebabkan ke dzaliman terhadap mahluk sosial lainnya . Sedangkan ekonomi Islam, menggabungkann kepentingan materi secara lahiriah, dengan unsur moral-spritual dan tidak meletakkan materi sebagai tujuan utama, karena dalam ajaran Islam manusia tidak hanya akan menjalani hidup di dunia saja akan tetapi manusia akan memiliki kehidupan selanjutnya setelah kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun