Mohon tunggu...
Nabila Destriyanti
Nabila Destriyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Takut Menjadi Pusat Perhatian? Ini Dia Penjelasannya

2 November 2023   11:00 Diperbarui: 2 November 2023   11:06 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Syamsu Yusuf L.N, M.Pd.

Ibu Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd.

 

Menjadi pusat perhatian merupakan suatu kondisi dimana terdapat individu yang lebih mencolok dari orang lain. Pada sebagian individu, menjadi pusat perhatian bukanlah hal yang buruk, terutama jika individu menjadi pusat perhatian dalam hal positif, seperti memenangkan sebuah perlombaan, menjadi siswa atau mahasiswa berprestasi, memberikan sambutan dalam sebuah acara, mengikuti ajang perlombaan yang mengharuskan berbicara di depan umum, dan lain sebagainya yang membuat seluruh perhatian orang lain hanya berfokus pada dirinya, hal itu merupakan suatu kebanggaan bagi sebagian individu. 

Akan tetapi, bagi sebagian individu lainnya, hal itu dapat membuat hilangnya kepercayaan diri. Individu akan merasa takut atau cemas apabila diperhatikan oleh banyak orang atau dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk berbicara di depan umum.

Apabila hal ini terjadi secara berulang dan terus menerus, maka individu dapat dikatakan mengalami Social Anxiety Disorder atau bisa disebut dengan gangguan kecemasan sosial yang dimana adanya perasaan takut atau cemas pada diri individu ketika tampil di depan umum atau ketika situasi sosial lainnya (Hapsari & Hasanat, 2010). Ketika dihadapkan dengan banyak orang atau mengharuskan dirinya untuk berbicara di hadapan semua orang, individu yang mengalami ganggguan kecemasan sosial akan merasakan ketegangan fisik dan khawatir terhadap penilaian orang lain yang belum tentu terjadi.

Pada umumnya, seseorang akan merasa sangat terganggu jika mengalami kasus seperi ini. Pernyataan ini juga dijelaskan oleh Sieber (dalam Sugiantoro, 2018) bahwa gangguan kecemasan sosial ini dapat menghambat dan mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif individu, seperti sulit berkonsentrasi, kesulitan dalam mengingat, dan kesulitan dalam memecahkan permasalahan. Individu selalu merasa tidak nyaman jika pandangan orang lain hanya tertuju pada dirinya. Azka, Firdaus, dan Kurniadewi (dalam Almizri & Karneli, 2021) juga menjelaskan mengenai hal ini yang dimana adanya perasaan tidak nyaman akan kehadiran seseorang disertai perasaan malu yang ditandai dengan ketakutan atau hambatan dan cenderung menghindari interaksi dengan orang lain.

Selain itu, Kusuma (2018) juga menjelaskan mengenai ciri-ciri kognitif individu yang mengalami gangguan kecemasan sosial, yaitu:

  • Sangat berhati-hati dengan perkataan dan tindakan yang akan dilakukan;
  • Selalu berpikir tentang kesalahan yang akan dilakukan;
  • Selalu berpikir tentang kesalahan yang akan dikatakan;
  • Pikiran menjadi kosong atau menjadi bingung untuk mengatakan sesuatu.

Ketika individu sedang menjadi pusat perhatian orang lain, individu yang mengalami gangguan kecemasan sosial akan merasakan hal-hal tersebut. Gangguan pada fisik pun akan dirasakan individu ketika sedang menjadi pusat perhatian, seperti perasaan tidak tenang, sakit kepala, tangan gemetar, dan jantung berdebar-debar (Oktapiani & Putri P, 2018). 

Setelah menjadi pusat perhatian dan banyak berbicara dengan orang-orang, individu biasanya akan mengalami kelelahan, sehingga mengharuskan dirinya untuk recharge energi yang dilakukan dengan cara menyendiri di dalam kamar atau tertidur hingga dirinya kembali bersemangat.

Social Anxiety Disorder atau gangguan kecemasan sosial yang membuat individu takut menjadi pusat perhatian dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal (Sugiantoro, 2018).

Faktor internal, antara lain:

  • Ketidakmampuan menyesuaikan diri di lingkungan baru

Individu akan menunjukkan dengan kekhawatiran, kecemasan, dan kurang bergairah dalam menjalani kehidupan (Lelyemin, 2019).

  • Memiliki pemikian-pemikiran negatif atau negative thinking

Individu terlalu banyak memikirkan pendapat orang lain yang buruk tentang dirinya, seperti orang lain akan menghina dirinya, melukai dirinya, dan lain sebagainya yang belum pasti terjadi.

Faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu, antara lain:

  • Tekanan lingkungan

Mendapat lingkungan yang membuat dirinya tidak nyaman dan merasa gugup, seperti berhadapan dengan kepala sekolah, rektor, atau pejabat tinggi lainnya.

  • Memiliki permasalahan dengan keluarga

Dalam hal ini biasanya berhubungan dengan pola asuh orang tua yang terlalu mengontrol atau mengekang anaknya, sehingga sang anak tidak memiliki kepercayaan diri yang besar. Pernyataan ini didukung oleh Edwards, Rapee, dan Kennedy (dalam Sitompul, dkk., 2021) yang menjelaskan bahwa pola asuh orang tua dengan mengontrol anak secara berlebihan, proteksi berlebihan, dan mencontohkan perilaku cemas, akan menjadi penyebab utama dari gangguan kecemasan.

  • Memiliki pengalaman buruk yang membuat trauma

Perundungan yang terjadi di masa lalu dapat menjadi faktor individu mengalami gangguan kecemasan sosial. Individu yang pernah dipermalukan semasa kecilnya akan berdampak hingga dewasa, dimana rasa percaya diri di dalam diri individu telah hilang dan digantikan dengan perasaan malu.

  • Memiliki phobia

Phobia pada gangguan kecemasan sosial salah satunya yaitu phobia sosial. Saat menjadi perhatian banyak orang atau sedang berhadapan dengan banyak orang, phobia sosial ini membuat individu mengalami jantung yang berdebar-debar, selalu menghindari kontak mata dengan orang lain, melakukan gerakan-gerakan yang tidak ada kaitannya dengan topik pembicaraan, hingga lebih memilih untuk menghindar (Azzahra & Purnamasari, 2023). Selain itu, phobia yang sering dikaitkan dengan phobia sosial adalah scopophobia. Scopophobia merupakan kondisi dimana individu ketakutan untuk diamati atau ditatap, terutama oleh orang yang tidak dikenal (Alencar, 2023).

  • Pendidikan yang salah.

Kurang adanya pendidikan atau pelatihan dalam mempersiapkan mental sejak dini dengan diajarkan public speaking, tampil di hadapan banyak orang, dan lain sebagainya.

          Takut menjadi pusat perhatian merupakan hal yang sangat mengganggu bagi setiap individu. Kasus ini memiliki dampak negatif yang cukup besar pada diri individu. Individu akan sulit merasakan kebebasan saat berinteraksi dengan orang lain, selain itu terdapat beberapa dampak negatif yang dirasakan oleh individu, antara lain:

  • Kurangnya rasa percaya diri

Individu yang takut menjadi pusat perhatian akan kehilangan kepercayaan dirinya dan selalu merasa khawatir apabila berinteraksi dengan orang lain (Rizkiyah, 2023).

  • Keterbatasan dalam bersosialisasi

Takut menjadi pusat perhatian dapat membuat individu menghindari berinteraksi dengan orang lain dan kurang bersosialisasi dengan baik (Rahmadiani, 2020).

  • Ketergantungan pada orang lain

Individu akan lebih bergantung pada orang lain, karena merasa tidak percaya diri (Rahmadiani, 2020).

  • Stres yang berlebihan

Kondisi ini dapat terjadi pada individu yang takut menjadi pusat perhatian, karena orang yang terus-menerus diperhatikan oleh orang lain cenderung merasa tertekan dan kesulitan untuk rileks.

  • Mudah emosi

Individu yang takut menjadi pusat perhatian cenderung lebih sensitif dan mudah tersulut emosi ketika mendapat kritik atau komentar negatif dari orang lain.

          Terganggunya individu dengan kondisi ini, jangan membuat individu semakin tertekan hingga menimbulkan dampak yang semakin besar, karena hal ini dapat dicegah dengan berbagai macam cara, salah satunya yaitu terapi kognitif perilaku (Asrori & Hasanat, 2015). Butler (dalam Asrori & Hasanat, 2015) mengemukakan empat metode utama dalam menerapkan terapi kognitif perilaku, yaitu:

  • Mengubah pola pikir dengan selalu berpikir positif terhadap segala hal
  • Melakukan sesuatu yang berbeda
  • Mereduksi self consciouness (kesadaran diri)
  • Membangun rasa percaya diri

Apabila individu mengalami kasus seperti ini secara berkepanjangan, sangat mengganggu, dan merasakan dampak yang sangat sangat besar hingga sulit dikendalikan, lebih baik individu berkonsultasi ke psikolog atau psikiater yang lebih ahli.

          Dari penjelasan mengenai rasa takut ketika menjadi pusat perhatian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut ketika menjadi pusat perhatian termasuk pada Social Anxiety Disorder atau bisa disebut dengan gangguan kecemasan sosial. Gangguan kecemasan sosial ini terjadi ketika dihadapkan dengan banyak orang atau sedang berbicara di hadapan semua orang. Individu akan merasakan ketegangan fisik, gemetar, keringat dingin, jantung berdebar-debar, dan khawatir terhadap penilaian orang lain yang belum tentu terjadi. Setelah menjadi pusat perhatian dan banyak berbicara dengan orang-orang, individu biasanya akan mengalami kelelahan, sehingga mengharuskan dirinya untuk recharge energi yang dilakukan dengan cara menyendiri di dalam kamar atau tertidur hingga dirinya kembali bersemangat.

 

Referensi:

 

Alencar, M. S., Kubrusly, M., & de Oliveira, C. M. C. et al. (2023). Association of Scopophobia With Online Learning Fatigue Among Medical Students in Brazil. BMC Medical Education, 23(221), 1–11. doi:  https://doi.org/10.1186/s12909-023-04199-z

Almizri, W., & Karneli, Y. (2018). Teknik Desensitisasi Sistematik Untuk Mereduksi Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxiety Disorder) Pasca Pandemi Covid-19. Educouns Journal: Jurnal Pendidikan Dan Bimbingan Konseling, 2(1), 75–79. doi: https://doi.org/10.53682/educons.v2i1.2130

Asrori, A., & Hasanat, N. U. (2015). Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial. JIPT: Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 3(1), 89–107. doi: https://doi.org/10.22219/jipt.v3i1.2128

Azzahra, L. F., & Purnamasari, A. (2023). Cognitive Behavior Therapy pada Individu yang Mengalami Phobia Sosial. Psyche 165 Journal, 16(1), 1–7. doi: https://doi.org/10.35134/jpsy165.v16i1.210

Hapsari, M. I., & Hasanat, N. U. (2010). Efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial dengan Gangguan Kecemasan Sosial. Psycho Idea, 8(1), 18–37. doi: https://doi.org/10.30595/psychoidea.v8i1.195

Kusuma, H. D. (2018). Analisis Self Efficacy Siswa Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxiety Disorder) di Sekolah Dasar Negeri UPK Baturaden. (Tesis), Universitas Muhammadiyah, Purwokerto.

Lelyemin, R. P. (2019). Pelaksanaan Konseling Logoterapi dalam Menangani Kasus Ketidakmampuan Penyesuaian Diri Pada Dua Siswa yang Mengalami Perceraian Orang Tua di SMK “SMJ.” Jurnal Psiko-Edukasi, 17(1), 80–98.

Oktapiani, N., & Putri P, A. (2018). Gangguan Kecemasan Sosial dengan Menggunakan Pendekatan Rasional Emotif Terapi. FOKUS, 1(6), 227–232. doi: https://doi.org/10.22460/fokus.v1i6.3024

Rahmadiani, N. D. (2020). Cognitive Behavior Therapy Untuk Mengurangi Kecemasan Sosial Pada Remaja. Procedia: Studi Kasus Dan Intervensi Psikologi, 8(1), 10–18. doi: https://doi.org/10.22219/procedia.v4i1.11961

Rizkiyah, N. A. (2023). Respons Al-Qur’an Pada Insecure (Analisis Kata Khauf, Tahinu, Huzn, Al-Ya’su, dan Halu’a Perspektif Tafsir Al-Munir). (Tesis), IAIN, Kudus.

Sitompul, L. K., Stevani, L. D., Fauziah, R., & Putri, V. T. (2021). Implementasi Teknik Bimbingan Konseling Dalam Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial Anak Usia Dini. Jurnal Golden Age, 5(1), 501–512. doi: https://doi.org/10.29408/jga.v5i02.4146

Sugiantoro, B. (2018). Teknik Desensitisasi Sistematis (Systematic Desensitization) dalam Mereduksi Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxiety Disorder) yang Dialami Konseli. Jurnal Nusantara of Research, 5(2), 72–82. doi: https://doi.org/10.29407/nor.v5i2.13078

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun