Mohon tunggu...
Nabila Azalia Zahrani
Nabila Azalia Zahrani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

suka berbisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Meningkatkan Peran Perempuan untuk Berpartisipasi pada DPR dan Kabinet

4 Juni 2024   01:01 Diperbarui: 4 Juni 2024   05:21 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Permasalahan Patriarki masih melekat pada masyarakat Indonesia hingga saat ini. Kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif sangat terbatas karena budaya yang masih diyakini masyarakat Indonesia adalah bahwa perempuan hanya bisa mengurus rumah tangga, padahal UUD 1945 pasal 28 H ayat (2) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan". 

Budaya ini masih sering ditemukan dalam aspek-aspek dan ruang lingkup seperti pada pendidikan, ekonomi, hukum dan politik sekalipun. Dilihat bahwa Indonesia adalah negara hukum, kenyataan yang terjadi adalah bahwa hukum di Indonesia masih belum mampu untuk menopang masalah patriarki yang utamanya terjadi pada kaum perempuan.

Partisipasi kaum perempuan dalam dinamika perpolitikan di Indonesia dikatakan masih sangat minim, meskipun telah ada peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Hal ini dikarenakan adanya sifat atau budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat. 

Budaya patriarki dalam politik merujuk pada dominasi laki-laki dalam arena politik, di mana mereka memiliki kendali yang signifikan atas kebijakan, keputusan, dan kekuasaan politik. 

Ciri-ciri dari budaya ini dalam perpolitikan Indonesia adalah, perempuan sering kali kurang diwakili dalam lembaga-lembaga politik seperti parlemen, kabinet, dan posisi kepemimpinan politik lainnya. 

Stereotip mengenai gender yang menganggap perempuan kurang mampu dalam politik atau bahwa karakteristik feminin dianggap sebagai kelemahan, juga mempengaruhi menjamurnya budaya patriarki tersebut. 

Pada akhirnya, berdampak pada munculnya kebijakan dan keputusan politik yang seringkali tidak memperhitungkan pandangan dan kebutuhan perempuan dengan baik.

Penyebab utama mengapa Indonesia masih melekat dengan budaya Patriarki dan minimnya kesetaraan gender terdiri dari beberapa faktor, yang hadir dan diadopsi langsung melalui kehidupan sehari-hari masyarakat sendiri, misalnya diskriminasi dan stereotip gender. 

Diskriminasi gender dan stereotip yang ada dalam masyarakat dan media dapat meredam partisipasi perempuan dalam politik dan berbagai aspek kehidupan. Di beberapa tempat, perempuan mungkin menghadapi diskriminasi dalam hal akses ke pendidikan yang setara dengan laki-laki. Stereotip ini dapat membatasi pilihan pendidikan dan pelatihan perempuan. 

Pada lingkungan pekerjaan diskriminasi muncul mencakup isu-isu seperti perbedaan gaji, kurangnya promosi, dan stereotip bahwa perempuan kurang kompeten dalam pekerjaan tertentu. Diskriminasi juga dapat mengambil bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. 

Stereotip gender sering kali menghambat perempuan untuk mengejar peran sosial dan ekonomi yang lebih luas, mengidentikkan mereka dengan peran-peran rumah tangga. Sedangkan dalam dunia politik stereotip ini berwujud keterwakilan yang rendah dan stereotip bahwa perempuan tidak cocok untuk posisi politik.

Sedangkan menurut Halik (2019) dalam Jurnal Sains Riset, mengenai Tanggapan Masyarakat Terhadap Kaum Perempuan dalam Politik, menyebutkan bahwa hambatan yang  menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam politik adalah perkawinan, kurangnya izin suami, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya dukungan keluarga atau lingkungan, kurangnya kesempatan, dan pandangan negatif terhadap simpati masyarakat terhadap perempuan yang berpartisipasi dalam dunia politik dan inferioritas perempuan. 

Pentingnya keterlibatan laki-laki didalam kehidupan bermasyarakat  menentukan tiap keputusan yang diambil, bahkan jika menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan perempuan pada posisi yang semakin dirugikan, terutama ketika berpartisipasi dalam politik, hanya karena mereka ialah perempuan, hal Ini disebut seksisme.

Budaya patriarki sering kali diperpetuasi oleh tradisi dan norma sosial yang kuat di masyarakat. Nilai-nilai yang menempatkan laki-laki di posisi yang dominan dan perempuan di posisi yang lebih rendah dalam hierarki sosial berperan dalam mempertahankan budaya patriarki. Meskipun ada sejumlah kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di Indonesia, implementasinya masih belum merata dan efektif di seluruh wilayah. Respon masyarakat dengan perempuan yang menjadi politisi bisa bervariasi tergantung pada budaya, nilai-nilai, dan pandangan politik masing-masing individu. 

Beberapa masyarakat memberikan dukungan dan penghargaan terhadap perempuan politisi, sementara yang lain mungkin memiliki pandangan skeptis atau bahkan meragukan kemampuan mereka. 

Masyarakat yang mendukung menilai bahwa kemampuan tidak dapat diukur hanya sekedar dengan indikator gender, kemampuan untuk memegang posisi dalam politik berhak ditempati oleh seluruh masyarakat tidak terkecuali perempuan. Kekuatan dan daya tahan tubuh perempuan juga tidak boleh diremehkan begitu saja.

Semestinya tindakan patriarki ini dikurangi bahkan bisa dihilangkan. Hal yang bisa saya simpulkan pada topik yang saya bahas bahwa perempuan juga bisa berperan untuk memberikan kontribusinya di dunia politik dan bisa memperjuangkan kesetaraan gender yang masih sangat minim di Indonesia. 

Budaya Patriarki yang lebih mengutamakan laki-laki membuat perempuan merasa didiskriminasi dan sudah seharusnya masyarakat Indonesia sadar untuk bersatu menghilangkan budaya Patriarki dan hukum di Indonesia bisa dengan tegas membantu menghilangkan budaya Patriarki yang masih melekat.

Meningkatkan peran perempuan dalam partisipasi politik, termasuk di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Kabinet, adalah langkah penting untuk mencapai representasi yang lebih merata.

 Mengatasi budaya patriarki dalam politik adalah tugas penting untuk mencapai kesetaraan gender dan mendukung partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan politik. 

Langkah-langkah termasuk menggencarkan kesadaran tentang isu-isu ini, mengimplementasikan kebijakan kuota gender, dan menciptakan lingkungan politik yang mendukung keterlibatan perempuan secara lebih merata.                                                                                                 

Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peran perempuan dalam partisipasi politik, termasuk di DPR dan Kabinet. Upaya yang pertama bisa dilakukan dengan pembuatan kebijakan yang inklusif. Mendorong pembuatan kebijakan yang mewajibkan representasi gender yang seimbang di lembaga-lembaga politik, seperti kuota perempuan dalam daftar calon legislatif dan dalam komposisi kabinet, penambahan kursi untuk kuota perempuan perlu ditingkatkan. 

Menurut Juniar dalam "Representasi Perempuan di Parlemen Hasil Pemilu 2019", Partai politik telah melakukan pemenuhan  kuota sekitar 30% jumlah calon legislatif dari gender perempuan yang dipastikan dapat mengikuti komposisi pada penyelenggaraan pemilu, namun tetap tidak dapat melakukan pemenuhan kuota dalam parlemen. 

Dari sebanyak 575 anggota legislatif pada pemilu untuk periode 2019-2024 hanyalah sejumlah 20,5% perempuan yang dapat lolos menempati kursi parlemen, dan sebagian besarnya terdiri dari mereka yang memang berada dalam dinasti politik, jarang dari kalangan masyarakat biasa.

Selain itu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan dan pendidikan politik kepada perempuan agar mereka dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan. 

Lalu, perlu diadakannya kampanye kesadaran untuk memotivasi perempuan untuk terlibat dalam politik dan memecah stereotip gender yang dapat menghambat partisipasi mereka. Serta, mendesak partai politik untuk mendukung kandidat perempuan dan menyusun daftar calon yang inklusif. 

Setelah itu, perlu adanya dukungan untuk membangun jaringan dan dukungan bagi perempuan yang tertarik dalam politik, termasuk mentorship dan bimbingan. Terakhir adalah, memastikan bahwa isu-isu gender dipertimbangkan dalam pembahasan kebijakan di DPR dan Kabinet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun