Pertanyaan-pertanyaan tadi rasanya cukup menyebalkan jika saya memiliki penyakit tersebut karena, saya akan mengingat kembali rasa sakitnya, dan menyadari saya ini sakit.Â
Apalagi jika sakitnya yang cukup parah, pertanyaan tadi bisa mengingatkan bahwa pasien dekat dengan ajalnya. Mereka sadar bahwa sakit yang mereka derita ini bisa merambah ke suatu hal yang membahayakan untuk diri mereka.
Diluar dari pelayanan kesehatan saya pernah dicurhati perihal ini. Kenalan saya menderita sakit keras. Dirinya sempat beberapa kali masuk rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Motivasi mereka bukan sembuh tapi bertahan.Â
Hal itu menyadarkan saya bahwa menjadi pasien itu rumit.Â
Nakes harus menjadi teman
Dengan kerumitan yang ada memang perihal ngobrol dan membagikan informasi diri ini sejatinya butuh kerelaan. Nah komunikasi akan lancar jika dari pertemuan itu muncul rasa aman, dan nyaman.Â
Saya yakin dari  banyak pasien tidak nyaman jika berhadapan dengan para nakes seperti dokter, perawat, apalagi saya yang apoteker. Aura kami bak awan hitam yang selalu mengingatkan mereka akan penyakit mereka yang derita.Â
Pasien akan menganggap apoteker akan memberikan obat yang paling mahal, dan menguras uang mereka.Â
Padahal kami bertujuan untuk membantu untuk mengatasi apa yang mereka derita. Tidak ada rumus resmi yang diajarkan kami sewaktu kuliah kesehatan. Ya memang kami diajarkan komunikasi pada pasien tapi, realita lapangan sungguh jauh bung.Â
Sering terjadi saya miskomunikasi dengan pasien karena, perbedaan istilah penyebutan nama obat contohnya, atau istilah penyakit. Ya mau gimana lagi mana mungkin saya paksakan mereka untuk mengikuti istilah ilmiah yang ada. Hal itu bukan kewajiban mereka untuk mengingatnya.Â
Hanya saja saya masih berharap para pasien mau dan mencoba untuk memberikan informasi di mereka terkait apa yang mereka rasakan. Dan untuk nakes kami akan mencoba untuk menjawab kepercayaan tersebut dengan suka cita.Â