Mohon tunggu...
ranny m
ranny m Mohon Tunggu... Administrasi - maroon lover

Manusia dg keberagaman minat dan harap. Menjadi penulis adalah salah satunya. Salah duanya bikin film. Salah tiganya siaran lagi. Salah empatnya? Waduh abis dong nilainya kalo salahnya banyak hehe..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia Kembali

7 Maret 2016   16:41 Diperbarui: 7 Maret 2016   19:07 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bukan seperti aku yang dulu. Bukan lagi siswi SMP lugu yang tiap pulang sekolah berdiri barang satu jam menunggunya di halte itu hanya untuk sekedar melihatnya atau jika beruntung aku bisa menyapanya. Sosok itu. Sosok siswa SMP tetangga sekolahku. Kami beda sekolah, tapi halte tempat menunggu angkutan umum itu sama, jadi aku sering melihatnya. Dia favorit di sekolahnya. Setidaknya itu yang menjadikanku mewajarkan bahwa aku menyukainya. Tapi bagiku dia tidak terlalu tampan. Sekali lagi bagiku. Tapi menurut teman-temanku ya dia cakep. Dia juga nggak pinter-pinter amat. Tak bisa dipungkiri bahwa aku sekolah di SMP nomor 1 di kotaku, sementara SMP tetangga itu hanya urutan 5 atau 6. Lalu apa yang membuatku menyukainya? Dia ramah. Setidaknya dia rajin tersenyum atau kadang lebih dulu menyapa ketika melihatku. Meski menurut teman-temanku dia itu cool sekali, apalagi di hadapan siswi-siswi sekolahnya. Oh ya, meski beda sekolah, tapi aku memang mengenalnya. Kami dulu satu SD. Satu kelas juga waktu kelas 6.

Tapi itu sudah jauh berlalu. Bahkan 15 tahun yang lalu. Jelas saja aku sudah berubah. Aku sudah berjilbab sekarang. Aku ikut pengajian. Dan dia? Dia ada. Dia masih hidup. Dan belum menikah. Sama sepertiku. Bahkan sekarang kami sama-sama tinggal di kota yang sama. Menjadi perantauan di ibukota. Kami tidak pernah bertemu. Hanya sesekali bbm jika memang ada yang penting. Bahkan dia sudah punya pacar. Aku? Jelas aku jomblo. Toh aku mau seperti orang-orang yang bilang jomblo sampai sah. Sah jadi istri haha..

Aku menikmati hidupku di usia 28 ini. Tua? Mungkin. Sudah warning? Mungkin. Bahkan sebagian besar temanku sudah memiliki 1 atau 2 anak. Tapi aku menikmati hidupku. Bukan tidak berpikir untuk menikah, tapi rasanya sudah lelah. Sudah jemu dengan langkah berliku. 3 tahun lalu, ada seorang lelaki yang aku suka. Kami satu kantor. Tapi 2 tahun lalu dia menikah. Atau lelaki satu kampusku yang ketika kuliah aku sukai. Ah tahun lalu dia menikah. Dan minggu lalu? Lelaki yang aku sukai menikah. Dia teman satu organisasi waktu kuliah dulu. Jadi sekarang? Aku benar-benar lelah menyukai orang.

Ada. Ada 1 laki-laki di kantor baruku yang menarik perhatianku. Katanya dia rajin sholatnya. Demikian kata temannya. Tapi berhubung aku memang tidak ingin pacaran, jadi buat apa pedekate atau apalah-apalah. Rasanya ingin langsung saja kukirim whatsapp ke dia "Mas, mau nikah sama aku nggak?". Haha! Dan aku bahkan tak berani membayangkan bagaimana reaksinya. Bisa-bisa pesan itu di screenshot  dan disebarkan di aplikasi internet kantor. Paling tidak itu yang bisa kubayangkan. Artinya? Yah memalukan!

Tapi lelaki itu kembali.

"Sas, tahun ini katanya ada bukaan PNS."

Sederet huruf itu rapi kubaca di bbm hapeku.

"Lo ngasih tau apa nanya, Ko?"

"Ngasih tau. Lo mau ikutan nggak?"

"Lah gue kan udah PNS."

"Oh iya ya. Gue bosen kerja sama asing gini, nggak jelas masa depannya."

"Ya mungkin lo butuh piknik Ko hehe.."

"Gue kalo weekend tidur aja di kosan, Sas. Susah pisah sama guling sama kasur."

"Tumben nggak pacaran?"

"Udah tobat gue. Nggak mau pacaran lagi. Ngabisin duit aja."

"Baguslah."

"Yah kalo mau liat cewek cakep ya di youtube aja, Sas."

"Yaelah masih aja. Btw, lo kalo nggak ada agenda hari Minggu ke istiqlal aja, ada ceramah gitu."

"Wah bagus tuh."

"Iya nanti gue kabarin lagi."

"Ya oke Sas."

Bermula dari situ. Hari Minggunya aku ke masjid Istiqlal. Ada ceramah salah satu Ustadz dari Bandung di sana. Selepas sholat dzuhur kami bertemu di pelataran masjid.

"Lo sama sapa Sas?"

"Sendiri. Lo?"

"Sendiri. Mau makan?"

"Lo mau nraktir?"

"Boleh."

"Tumben lo baek."

"Kan udah gue bilang kalo gue udah tobat."

Kami duduk di tengah foodcourt salah satu mall di ibukota. Aku memilih tempat itu karena sejalur dengan jalan pulang ke kosan.

"Enak jadi PNS, Sas?"

"Ya dinikmati aja. Lo gimana?"

"Nggak mau lama-lama sih jadi karyawan perusahaan asing."

Aku mengangguk-angguk.

"Gue mau nanya sama lo. Jujur tapi ya."

"Iyalah gue jujur. Malu sama jilbab kalo boong."

"Haha ya ya bisa jadi."

"Apaan?"

"Lo pernah suka sama gue ya waktu SMP?"

"HAH?" Mungkin saat itu wajahku memerah. Karena aku tak memegang cermin maka aku tak tahu persis seperti apa. Yang jelas tanganku mendadak dingin.

"Haha jawab! Malu sama jilbab kalo boong" Dia menambahi.

"Ya. Eh, ya anggaplah iya. Kenapa gitu?"

"Kenapa?"

"Kenapa apanya? Eh tapi dulu ya! Waktu SMP. Sekarang udah nggak sama sekali."

"Iya. Kenapa?"

"Kenapa apanya sih?" Aku memang bingung apa sudah kelewat berumur.

"Kenapa suka sama gue dulu? Kenapa sekarang nggak lagi."

"Ehm karena dulu lo baek...."

"Sekarang gue nggak baek?" Ia memotong ucapanku.

"Bukan. Tunggu dulu dong. Jangan dipotong."

Dia tersenyum mengangguk-angguk. Dan senyumnya itu mengantarkanku pada belasan tahun silam itu. Senyum yang sama. Lalu ia menggerakkan tangannya mempersilahkanku berbicara dan sedetik berikutnya ia menangkupkan tanggannya ke mulutnya tanda ia tak akan memotong ucapanku lagi. Dan ia menutupnya dengan senyumnya.

"Ya lo dulu baek. Sekarang juga baek sih. Lo dulu ramah..." Kulihat mulutnya mulai bergerak ingin memotong ucapanku. Tapi urung karena aku sedikit memelototinya. "Lo sering negor gue. Katanya sih lo cool tapi kita bisa temanan baek. Itu yang membuat gue dulu suka sama lo. Mungkin gitu." Aku diam menunggu reaksinya. Ia hanya mengangguk-angguk memperhatikan jawabanku. "Heh!" Tegurku.

"Oh gue udah boleh ngomong nih? Hehe. Bukan karena gue ganteng ya? Kata anak-anak gue ganteng."

"Humhhhhh..."

"Terus sekarang kenapa nggak suka lagi sama gue?"

"Karena lo nggak se-cool  yang dulu. Lo bawel sekarang. Banyak ceweknya lagi."

"Oh lo jealous?"

"Idih nggak! Mana mau gue sama cowok kayak lo. Gue maunya yang rajin sholat, yang kalem, yang suka baca buku. Yahhh nggak kayak lo sih yang jelas."

"Yah tapi paling nggak lo pernah suka sama gue. Kalo gue sih emang nggak pernah suka sama lo."

"Okay." Kupasang wajah sedikit kesal.

Dia tertawa melihat ekspresiku.

"Jadi kapan lo nikah sama cowok yang rajin sholat kalem itu?"

"Haha belum nemu!"

"Dan bakal lo tunggu sampe ketemu yang kayak gitu?"

"Ya nggak juga sih. Gue mah mudah suka sama orang, Ko. Karena bagi gue cinta itu tumbuh bukan jatuh."

"Hah?"

"Iya. Kalo jatuh berarti lo nggak bisa milih. Seketemunya aja. Yang bahkan kadang you have no reason for falling in love. Tapi kalo tumbuh, lo punya alasan kenapa lo sayang sama dia. Kayak orangtua. Lo punya kan alasan untuk sayang sama orangtua lo? Ketika pertama lo ketemu meraka, emangnya lo langsung cinta? Nggak kan? Maka cinta lo tumbuh. Karena mereka begitu besar pengorbanannya buat lo. Cinta itu dari Tuhan, bukan kita yang mutusin untuk cinta sama sipa tapi Tuhan yang menganugerahkan rasa kasih sayang di antara kita."

"Kita?"

"Ah lo mah gagal fokus. Gue panjang lebar, eh lo cuma denger belakangnya aja."

"Haha. Iya gue paham."

Aku menyeruput minumku. Lelah juga menjelaskan panjang lebar begitu.

"Sas, gue mau rajin sholat."

"Humh bagus." Aku mengangguk-angguk.

"Tapi gue yang kayak gini, Sas. Lo taulah gue nggak sekalem itu."

"Maksudnya?"

"Eh. Ehm. Ya lo tau gue tu apa adanya di depan lo. Lo kan temen gue dari SD. Lo paham gue lah. Kenapa gue dikira  cool ya karena gue nggak suka ngobrol sama orang-orang itu. Kalo gue akrab kan gue ya begini."

"Ya gue paham."

"Jadi Sas, ada lagi?"

"Apanya?"

"Kriteria lo."

"Nggak ada. Gue nggak ada kriteria. Udah capek nggak dapet-dapet haha.."

"Haha. Lo kapan mudik?"

"Kapan ya? Humh bulan depan mungkin."

"Bareng kalo gitu."

"Tumben. Biasanya diajakin bareng pasti nggak mau."

"Iya gue mau ke rumah lo. Ketemu Bokap lo."

"Mau ngapain?"

"Minta restu sama Bokap lo. Biar Tuhan yang menumbuhkan kasih sayang diantara kita."

 

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun