Mohon tunggu...
Muhammad Zuhair Yahya
Muhammad Zuhair Yahya Mohon Tunggu... -

Belajar Bercerita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wanita dan Bungkusannya

22 Juli 2015   22:58 Diperbarui: 22 Juli 2015   22:58 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tuhan menjawab doa kami yang tengah cemas menunggu pengumuman masuk perguruan tinggi negeri waktu itu. Bagaikan angin yang datang berhembus mengurai kekeringan. Ketegangan yang sedari tadi memenuhi udara rumah kami pun seketika terusir oleh hadirnya rasa syukur. Saat itu saya memeluk ibu menangis terharu dan di situ saya melihat ayah sujud tersungkur—jarang saya melihat beliau meneteskan air mata. Alhamdulillah diterima, begitu pikir saya.

Libur yang sangat panjang pun tiba. Inilah libur terlama sepajang saya hidup. Sebelum saya beranjak ke Yogyakarta dan tidak pulang untuk waktu yang lama, saya pun berniat menghabiskan waktu bersama beberapa teman seperjuangan. Mulai saat itu, sering sekali kami membuat janji dan pergi bersama.

Tidak terasa waktu libur berjalan begitu cepat. Rasanya daun yang jatuh ke tanah karena angin pun belum sampai, namun kedamaian ini telah usai. Sadar akan hal itu, saya memacu diri saya untuk lebih sering bertemu dengan mereka, teman seperjuangan saya, sebelum akhirnya kami berada di jalan masing-masing. Dua minggu lagi, pikir saya. Dalam dua minggu tersebut, saya pun menghabiskan waktu bersama teman-teman seolah-olah kami tidak akan bertemu kembali untuk selama-lamanya. Pulang larut pun menjadi sebuah rutinitas pada saat itu.

Suatu sore ketika saya hendak pulang ke rumah. Waktu menunjukan pukul lima, dan angkot yang saya naiki belum juga berangkat. Saya duduk di kursi kecil dekat pintu. Tidak sampai semenit saya melamun, perhatian saya tertuju pada seorang wanita yang hendak menyebrang jalan. Wanita itu membawa banyak sekali bungkusan.

Wanita itu menaiki tangga pintu angkot, duduk di dekat pintu—berhadapan dengan saya—dan menaruh bungkusan-bungkusannya itu di lantai angkot. Saat itulah saya merasa sedikit terganggu. Karena tidak mungkin bagi saya membiarkan wanita yang tengah kerepotan menjaga bawaannya untuk turun memberi jalan bagi penumpang yang turun, maka setiap kali ada penumpang turun, saya—yang juga duduk di dekat pintu—harus mengalah untuk turun memberi jalan bagi penumpang tersebut, kemudian naik kembali.

Untungnya itu tidak berlangsung lama, karena sebentar saja, angkot yang saya naiki sudah berada di depan komplek tempat saya tinggal. Saya turun, memberikan beberapa lembar uang pada supir dan kendaraan itu pun berlalu. Saya merasa lega, karena akhirnya saya bisa turun. Tidak terbayang berapa lama lagi saya harus menggerutu dalam hati karena bungkusan-bungkusan yang menghalangi jalan itu.

Saya sampai di rumah pukul enam sore, bertepatan dengan waktu maghrib. Di rumah saya hanya mendapati ayah dan dua adik saya yang tengah duduk-duduk menikmati acara televisi di sore hari. Saya lihat-lihat, ibu saya belum datang. Memang ibu saya seringkali menjadi orang rumah terakhir yang mencapai rumah—jika saya pulang awal. Waktu menunjukan pukul delapan, ibu saya pulang membawa beberapa makanan untuk kami makan bersama. Rasa letih yang menguasai diri membuat saya terlelap lebih dahulu, dan bangun malam hari karena lapar, untuk memakan makanan yang sejak pukul delapan tadi sudah ada di meja makan.

Keesokan harinya, seluruh orang rumah sudah pergi pagi-pagi. Tinggalah saya di rumah. Beberapa kali memeriksa ponsel, akhirnya muncul juga pesan dari salah satu teman SMA saya,

Jam 9 ada acara? Mau nemenin gak?

Setelah mengetahui tujuannya, saya pun menyanggupi.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Setelah shalat isya, saya pun berpamitan. Di tempat yang sama, di dalam angkot yang tengah menunggu penumpang, wanita itu terlihat kembali. Setelah saya perhatikan ternyata ada beberapa orang dalam angkot yang juga terlihat terganggu kenyamanannya akan kehadiran wanita tersebut. Bungkusan yang dibawanya terlalu banyak, pikir saya.

Keesokan harinya kembali sebuah pesan saya terima, itu berarti lagi-lagi saya harus beranjak keluar rumah. Hanya saja untuk kali ini, saya pulang lebih awal. Yang mengherankan adalah saya kembali bertemu wanita itu dengan bungkusan yang kelihatannya sama banyak dengan yang sudah-sudah. Tidak habis pikir saya dibuatnya.

Hujan yang cukup deras turun pada hari keempat. Saya ragu akan bertemu dengan wanita itu lagi, walaupun demikian saya sudah menduga bahwa wanita itu akan kembali bertemu dengan saya. Bukan, tapi saya yang kembali bertemu dengan wanita itu.

Hari kelima, hari ketika lagi-lagi saya harus pulang malam, kembali saya bertemu dengan wanita tersebut. Ibu saya yang berada di rumah ternyata telah membelikan saya sebuah sarung dan sajadah. Hari keenam pun serupa, saya pulang dan bertemu dengan wanita tersebut. Sesampainya di rumah saya mendapati beberapa tas plastik yang membungkus beberapa potong kemeja di dalamnya, itu dari ibu saya.

Bahkan di akhir pekan, hari Minggu, sepulangnya bermain di rumah teman, kami bertemu di angkot pada pukul 10 malam—tidakkah terlalu malam?—masih dengan bungkusan-bungkusannya. Hingga pada akhirnya saya tertarik untuk menangkap inti dari fenomena ini. Hari Senin besok ada yang harus saya pastikan, pikir saya. Saya pulang dan keadaan rumah telah sunyi, Ibu, Ayah, dan dua Adik saya mungkin kelelahan setelah tadi sore menonton film bersama di bioskop.

Saya menolak segala acara, pagi sekitar pukul 8 saya sudah berangkat. Tujuan saya adalah tempat angkot biasa berhenti untuk menunggu penumpan, tempat saya biasa bertemu dengan wanita itu. Beberapa menit berlalu, wanita itu tidak kunjung terlihat hingga saya memutuskan untuk menaiki salah satu angkot yang berhenti di hadapan saya. Sudah menjadi tindak tanduk sopir angkot untuk menunggu penumpang—ngetem istilahnya—saya pikir saat itulah saya akan kembali bertemu dengan wanita itu. Namun tidak. Angkot saya berangkat tanpa ada satu penumpang pun yang naik. Terlalu pagi, pikir saya.

Pukul 13.30, setelah shalat Zuhur, saya kembali berangkat dengan tujuan yang sama. Pukul 16.00, saya kembali berangkat dengan tujuan yang sama. Pukul 19.00, saya kembali berangkat dengan tujuan yang sama. Wanita itu tidak kunjung terlihat. Sehingga hari itu saya mengurungkan niat saya untuk mengulik kebenaran.

Hari Sabtu saya sudah harus berangkat. Sehingga, hari Selasa, saya kembali memenuhi janji berpergian. Ketika hendak beranjak, saya sudah menduga-duga mengenai kehadiran wanita itu nanti saat saya pulang. Dugaan saya tepat. Pukul tujuh malam, wanita itu kembali terlihat hendak menyebrang dan menaiki angkot—yang juga saya naiki. Sudah waktunya, begitu pikir saya.

Setelah dia menaiki angkot, kami mendapati diri kami duduk saling berhadapan. Seperti biasa, dengan bungkusan di lantai angkot yang melimpah ruah, menghapus kemudahan akses keluar-masuk penumpang. Kondisi hari ini cukup mendukung, seluruh penumpang yang ada turun terlebih dahulu, tersisa saya dan dia. Pada awalnya saya sedikit memperhatikan wajahnya, sepertinya lesu sekali. Pada akhirnya, saya memberanikan diri saya untuk memulai pembicaraan. Kebenaran akan terungkap.

“Permisi Bu, maaf mengganggu”, kata saya memulai semua ini dengan kalimat canggung ciri khas percakapan dua orang yang belum saling mengenal.

Dia menoleh. Sekilas saya berpikir kalimat apa yang harus saya ajukan. “Saya melihat Ibu beberapa hari ini, apakah Ibu mengikuti saya?” jangan. “Sadarkah Ibu bahwa seminggu ini..” terlalu puitis rasanya. “Satu minggu saya memperhatikan Ibu..” terlalu nampak sebagai penguntit. Pada akhirnya, kalimat yang saya ajukan adalah,

“Bolehkah saya bantu Ibu membawakan bungkusan ini? Wajah Ibu terlihat tidak sehat”, kata saya sambil menunjuk bungkusan-bungkusan di sekitaran betisnya.

“Kalau tidak merepotkan, Dik”, katanya sambal tersenyum. Saya menggelengkan kepala tanda tidak keberatan.

Jalan masuk ke dalam komplek saya sudah lewat. Ternyata jarak turun saya dengan wanita ini agak jauh. Bisa dikatakan, wanita ini menempuh perjalanan paling jauh diantara banyak penumpang, dan boleh jadi wanita ini menjadi orang yang turun paling akhir.

Suasana hening terasa cukup lama. Tidak ingin menumpuk kecanggungan, saya lagi-lagi memulai percakapan,

“Ibu, kalau boleh saya tahu, sebenarnya Ibu ini dari mana dan hendak kemana?”, pertanyaan ‘hendak kemana’ ini terucap begitu saja. Sehingga saya menganggapnya sebagai sebuah pembuktian bahwa wanita ini menempuh jalan jauh untuk pulang ke rumah, bukan memenuhi urusan di tempat lain.

Belum sempat dia menjawab, saya langsung menambahkan, “maaf kalau saya lancang, hanya saja”, akhirnya dimulai, “akhir-akhir ini, tepatnya seminggu ini, saya selalu berjumpa dengan Ibu ketika saya hendak pulang, seperti saat ini. Entah Ibu menyadarinya atau tidak”

Wanita itu tertawa kecil, “perasaan kamu saja itu. Saya dari kantor, mau pulang.” Benar, tujuannya saat ini adalah rumah.

Saya mengangguk tanda mengerti. “Benar, mungkin hanya kebetulan. Soalnya hari Senin kemarin saya tidak bertemu Ibu.”

“Kebetulan hari itu saya sedang sakit, sekarang juga masih, tapi sudah agak mending” jelasnya. “Kamu sendiri dari mana dan hendak kemana?” tanyanya balik.

Pantas saja, pikir saya. “Sama Bu, saya dalam perjalan pulang sekarang ini” jawab saya. Belum sempat saya menjawab pertanyaan ‘dari mana’, Ibu tersebut sudah mengucapkan mantera sakti penyetop angkot, yaitu, ‘kiri, Bang!’

Dia membayar untuk dua orang, dan saya mengucapkan terimakasih karena hal tersebut. Kami pun memulai perjalanan dari depan komplek menuju rumahnya.

Tanpa menunggu lama, saya menjawab pertanyaan yang belum sempat terjawab, “saya dari rumah teman saya, Bu, main”

“Malam sekali” tanggapnya.

“Iya,” saya selingi dengan tertawa kecil, “Sabtu besok saya udah gak di sini lagi, jadi saya mau puas-puasin main sama teman-teman saya, Bu” basa-basi.

“Oh. Mau berangkat kuliah?” tanyanya.

“Iya Bu, kurang lebih begitu,” bagaimana dia bisa tahu, pikir saya.

“Dimana?”

“Di Jogjakarta, Bu.”

“Wah. Alhamdulillah ya..”

“Sebentar,” saya memberanikan diri untuk memotong perkataan wanita itu. “Bagaimana Ibu tahu saya hendak kuliah?”

“Ya. Saya punya anak yang sama sama mau kuliah juga, Dik,” belum saya menanggapi dia sudah menyambungnya, “hari Kamis dia berangkat ke Palembang”, jauh juga, pikir saya.

“Jauh ya? Makanya ini sekarang saya buru-buru pulang, mau puas-puasin ketemu sama anak saya. Ini saya bawa ayam goreng kesukaannya, yang ini susu kotak biar dia gendut sebelum nantinya jadi kurus di perantauan, yang ini bekal-bekal buat dia kuliah. Minggu ini saya agak sibuk, jadi saya lupa barang apa saja yang hendak saya beli, baru ingat setiap hendak pulang, dan langsung saya beli saja” katanya sambil menunjuk bungkusan-bungkusannya itu—yang sedang saya jinjing.

“Saya belikan dia seprai dua buah, biar kasunya bisa diganti seprainya setiap saat. Saya belikan dia selimut juga, biar kalau Palembang dingin, bisa buat selimutan”

Sejenak terbayang Ibu saya. Beliau seringkali membawa bungkusan makanan setiap pulang, karena pekerjaan membuat beliau tidak sempat memasak. Empat hari lalu, saya dibelikan sajadah dan sarung baru supaya di Jogja tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat, katanya (hari kelima). Tiga hari lalu, saya dibelikan beberapa potong kemeja untuk dikenakan pada saat kuliah supaya di Jogja tidak ada alasan untuk bolos kuliah, katanya (hari keenam). Hari Minggu kemarin, saya menyempatkan diri saya untuk ikut menonton bioskop bersama, bahkan di hari pertama dari dua minggu terakhir ini, beberapa sajian sudah tersedia di meja makan, namun makan bersama di meja makan saja tidak saya lakukan. Padahal, boleh jadi Ibu saya sangat mengharapkan waktu-waktu yang tersisa, puas-puasin bertemu saya.

Saya bersyukur telah disadarkan pada empat hari terakhir. Sehingga, besok, lusa, besoknya lusa, dan lusanya lusa saya masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya.

“Semoga di Palembang dia bisa merantau dengan tenang dan gak kena penyakit yang kata anak sekarang bilang homesick itu lho”, kalimat yang diucapkannya adalah ujung dari lamunan saya. Saya tersenyum menanggapinya.

“Boleh saya tanya sesuatu, Bu?” kata saya yang dibalas anggukan, “anak Ibu perempuan atau laki-laki?”--Memecah suasana saat itu.

Bila anda dapat menebak jalan cerita dari awal, maka bersyukurlah karena saya rasa anda adalah orang yang peka. Tuhan tidak perlumengingatkan dengan cara yang seperti ini terhadap anda. Apalagi dengan cara yang lebih keras, tidak perlu.

Bagi mereka kesempatan bertemu anda adalah waktu yang berharga. Seringkali kita benar merasa memiliki setelah kita benar merasa kehilangan. Sungguh Ibu-ibu dan ayah-ayah anda adalah manusia di dunia yang merasa paling memiliki anda, bahagia anda milik mereka, sedih anda milik mereka. Tidakkah kita merasa demikian pula?

-TAMAT-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun