“Malam sekali” tanggapnya.
“Iya,” saya selingi dengan tertawa kecil, “Sabtu besok saya udah gak di sini lagi, jadi saya mau puas-puasin main sama teman-teman saya, Bu” basa-basi.
“Oh. Mau berangkat kuliah?” tanyanya.
“Iya Bu, kurang lebih begitu,” bagaimana dia bisa tahu, pikir saya.
“Dimana?”
“Di Jogjakarta, Bu.”
“Wah. Alhamdulillah ya..”
“Sebentar,” saya memberanikan diri untuk memotong perkataan wanita itu. “Bagaimana Ibu tahu saya hendak kuliah?”
“Ya. Saya punya anak yang sama sama mau kuliah juga, Dik,” belum saya menanggapi dia sudah menyambungnya, “hari Kamis dia berangkat ke Palembang”, jauh juga, pikir saya.
“Jauh ya? Makanya ini sekarang saya buru-buru pulang, mau puas-puasin ketemu sama anak saya. Ini saya bawa ayam goreng kesukaannya, yang ini susu kotak biar dia gendut sebelum nantinya jadi kurus di perantauan, yang ini bekal-bekal buat dia kuliah. Minggu ini saya agak sibuk, jadi saya lupa barang apa saja yang hendak saya beli, baru ingat setiap hendak pulang, dan langsung saya beli saja” katanya sambil menunjuk bungkusan-bungkusannya itu—yang sedang saya jinjing.
“Saya belikan dia seprai dua buah, biar kasunya bisa diganti seprainya setiap saat. Saya belikan dia selimut juga, biar kalau Palembang dingin, bisa buat selimutan”