Mohon tunggu...
Muhammad Zuhair Yahya
Muhammad Zuhair Yahya Mohon Tunggu... -

Belajar Bercerita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wanita dan Bungkusannya

22 Juli 2015   22:58 Diperbarui: 22 Juli 2015   22:58 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Keesokan harinya kembali sebuah pesan saya terima, itu berarti lagi-lagi saya harus beranjak keluar rumah. Hanya saja untuk kali ini, saya pulang lebih awal. Yang mengherankan adalah saya kembali bertemu wanita itu dengan bungkusan yang kelihatannya sama banyak dengan yang sudah-sudah. Tidak habis pikir saya dibuatnya.

Hujan yang cukup deras turun pada hari keempat. Saya ragu akan bertemu dengan wanita itu lagi, walaupun demikian saya sudah menduga bahwa wanita itu akan kembali bertemu dengan saya. Bukan, tapi saya yang kembali bertemu dengan wanita itu.

Hari kelima, hari ketika lagi-lagi saya harus pulang malam, kembali saya bertemu dengan wanita tersebut. Ibu saya yang berada di rumah ternyata telah membelikan saya sebuah sarung dan sajadah. Hari keenam pun serupa, saya pulang dan bertemu dengan wanita tersebut. Sesampainya di rumah saya mendapati beberapa tas plastik yang membungkus beberapa potong kemeja di dalamnya, itu dari ibu saya.

Bahkan di akhir pekan, hari Minggu, sepulangnya bermain di rumah teman, kami bertemu di angkot pada pukul 10 malam—tidakkah terlalu malam?—masih dengan bungkusan-bungkusannya. Hingga pada akhirnya saya tertarik untuk menangkap inti dari fenomena ini. Hari Senin besok ada yang harus saya pastikan, pikir saya. Saya pulang dan keadaan rumah telah sunyi, Ibu, Ayah, dan dua Adik saya mungkin kelelahan setelah tadi sore menonton film bersama di bioskop.

Saya menolak segala acara, pagi sekitar pukul 8 saya sudah berangkat. Tujuan saya adalah tempat angkot biasa berhenti untuk menunggu penumpan, tempat saya biasa bertemu dengan wanita itu. Beberapa menit berlalu, wanita itu tidak kunjung terlihat hingga saya memutuskan untuk menaiki salah satu angkot yang berhenti di hadapan saya. Sudah menjadi tindak tanduk sopir angkot untuk menunggu penumpang—ngetem istilahnya—saya pikir saat itulah saya akan kembali bertemu dengan wanita itu. Namun tidak. Angkot saya berangkat tanpa ada satu penumpang pun yang naik. Terlalu pagi, pikir saya.

Pukul 13.30, setelah shalat Zuhur, saya kembali berangkat dengan tujuan yang sama. Pukul 16.00, saya kembali berangkat dengan tujuan yang sama. Pukul 19.00, saya kembali berangkat dengan tujuan yang sama. Wanita itu tidak kunjung terlihat. Sehingga hari itu saya mengurungkan niat saya untuk mengulik kebenaran.

Hari Sabtu saya sudah harus berangkat. Sehingga, hari Selasa, saya kembali memenuhi janji berpergian. Ketika hendak beranjak, saya sudah menduga-duga mengenai kehadiran wanita itu nanti saat saya pulang. Dugaan saya tepat. Pukul tujuh malam, wanita itu kembali terlihat hendak menyebrang dan menaiki angkot—yang juga saya naiki. Sudah waktunya, begitu pikir saya.

Setelah dia menaiki angkot, kami mendapati diri kami duduk saling berhadapan. Seperti biasa, dengan bungkusan di lantai angkot yang melimpah ruah, menghapus kemudahan akses keluar-masuk penumpang. Kondisi hari ini cukup mendukung, seluruh penumpang yang ada turun terlebih dahulu, tersisa saya dan dia. Pada awalnya saya sedikit memperhatikan wajahnya, sepertinya lesu sekali. Pada akhirnya, saya memberanikan diri saya untuk memulai pembicaraan. Kebenaran akan terungkap.

“Permisi Bu, maaf mengganggu”, kata saya memulai semua ini dengan kalimat canggung ciri khas percakapan dua orang yang belum saling mengenal.

Dia menoleh. Sekilas saya berpikir kalimat apa yang harus saya ajukan. “Saya melihat Ibu beberapa hari ini, apakah Ibu mengikuti saya?” jangan. “Sadarkah Ibu bahwa seminggu ini..” terlalu puitis rasanya. “Satu minggu saya memperhatikan Ibu..” terlalu nampak sebagai penguntit. Pada akhirnya, kalimat yang saya ajukan adalah,

“Bolehkah saya bantu Ibu membawakan bungkusan ini? Wajah Ibu terlihat tidak sehat”, kata saya sambil menunjuk bungkusan-bungkusan di sekitaran betisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun