Praktek kolonialisme, yang sebelumnya identik dengan penjelajahan dan petualangan, pada awal abad ke-20 bergeser menjadi lekat dengan pengayoman dan pemeliharaan sekaligus mempertontonkan keberhasilan vocation civilastrice pada wilayah koloni.Â
Pariwisata menjadi alat untuk memamerkan keberhasilan ini melalui imaji dan representasi yang pada gilirannya digunakan sebagai alat memperluas konsolidasi Indonesia yang dimulai dari Jawa, kemudian Sumatra, lalu Bali.Â
Kelak, imaji dan representasi ini menjadi identitas yang baku tentang wilayah-wilayah tersebut tidak hanya dalam kepariwisataan melainkan juga dalam ke-Indonesia-an. Â
Daerah-daerah lain di Kepulauan Nusantara juga dipromosikan seperti Maluku namun sangat sedikit sedangkan daerah-daerah seperti Sunda Ketjil (kecuali Lombok), Sulawesi dan Kalimantan sekalipun di muat dalam majalah Tourism in Netherlands Indie  namun tidak dipromosikan secara khusus oleh VTV karena terbatasnya fasilitas dan infrastruktur di sana.
Bila dilihat dari terbitan-terbitan paradigmatik itu terlihat konsep "negara kepulauan" sangat kental dalam imaji yang direpresentasikannya yang pada gilirannya semakin menjauhkan konsep maritim dari imaji "kalangan plesiran."Â
Sematan paradigma "negara kepulauan" menjadi identitas baru Indonesia. Kenangan tentang kehebatan armada kerajaan-kerajaan Nusantara serta peradaban laut yang menyertainya sudah surut ke belakang. Paradigma ini masih berlaku sampai saat ini.
Dalam  perspektif sejarah, kelahiran pariwisata modern di Eropa adalah upaya manusia Pencerahan untuk mengembangkan wawasan pendidikan, menandakan kedewasaan, dan status sosial.Â
Sebaliknya kelahiran pariwisata modern di Indonesia adalah bagian dari pembentukan pasar dan proses industrialisasi demi peningkatan pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda. Bila pariwisata modern di Eropa terbentuk berakar pada kesadaran akan kebudayaannya sendiri maka pariwisata Indonesia modern terbentuk berakar sebagai industri dengan membentuk produknya dari serakan kepingan-kepingan kebudayaan yang pilih untuk bisa menguntungkan.
Ketika pariwisata Indonesia masih terus dijiwai oleh cara pandang neo-orientalistik dan didominasi oleh kepentingan ekonomi saja, maka lambat laun identitas nasional semakin lebih banyak ditentukan oleh poster-poster wisata, cendera mata, guidebooks, serta apa yang dianggap sebagai selera pasar yang mengakibatkan imaji tentang Indonesia hanya sebagai sebagai etalase saja ketimbang sebagai sumber nilai-nilai yang menjadikan pariwisata Indonesia orisinal dan unik. Padahal nilai-nilai keunikan dan orisinal ini justru bisa dijumpai dalam kemaritiman sebagai politic of seeing terhadap Indonesia.
Pariwisata maritim Indonesia tidak boleh hanya berhenti menjadi industri dari yang seharusnya menjadi sebuah bentuk "seni perjalanan" untuk menemukan dan melahirkan kembali nilai-nilai dari peradaban lama Nusantara serta menafsirkannya kembali untuk membangun manusia Indonesia modern yang otonom dan berakar dalam kebudayaannya.
Dan atas nama kreativitas, pariwisata Indonesia harus mencari dan membangkitkannya dari dalam kebudayaannya sendiri khususnya kebudayaan maritim. Â Bila tidak maka segala proses kreatif itu hanya akan sampai pada taraf imitasi saja, dari satu tahapan statis ke tahapan statis lainnya sehingga selalu terbelakang dan tidak pernah menjadi trend setter.Â