Mohon tunggu...
myusuf298
myusuf298 Mohon Tunggu... Administrasi - semangat berbagi

hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Muslim Coblos Non Muslim?

15 Februari 2017   12:52 Diperbarui: 15 Februari 2017   13:13 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bangsa Indonesia dibuat kaget dengan Aksi Bela Islam 411 (merujuk pada tanggal 04 November 2016), yang diikuti oleh ratusan ribu muslim dari seantero nusantara , dan merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya 1410. Publik mengira, aksi tersebut menjadi demo muslim terbesar yang menuntut Pemerintah untuk segera mengadili Ahok.

Ternyata prasangka tersebut salah, karena demo lebih besar mampu dihadirkan pada Aksi Super Damai 212, yang konon dihadiri jutaan muslim. Bahkan aksi masih berlanjut pada Aksi 112, meskipun tidak sebesar Aksi Super Damai 212.

Rangkaian aksi tersebut pada awalnya dipicu oleh pernyataan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok yang mengeluarkan pernyataaan yang dianggap menistakan agama, dalam kunjungan kerjanya ke Kepulauan Seribu.

Namun demikian, sulit untuk dipungkiri, bahwa aksi tersebut juga di topang oleh ketidaksiapan muslim Indonesia menerima Ahok, sebagai keturunan China dan bukan Islam, menjadi gubernur Jakarta untuk periode kedua.

Banyak alasan, kenapa muslim tidak siap menerima Ahok. Diantaranya karena kawatir Ahok akan mengurangi kebebasan muslim dalam beribadah, Ahok bakal mendorong pertumbuhan agama non Islam, Ahok mendahulukan golongan makmur China  sementara golongan lemah muslim yang jumlahnya mayoritas justru dimarjinalkan, dan seterusnya.

Dan tentu saja, alasan paling popular dan terungkap ke publik adalah Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51, yang kandungannya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.”

Kenapa Pendapat Muslim Terpecah?

Tafsir Al-Maidah 51 di atas sangat jelas, bahwa muslim dilarang memilih Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin. Namun, kenapa tidak semua muslim bulat menolak pemimpin Yahudi dan Nasrani?

Yang pertama dan pasti, karena sebagian muslim memang tidak taat beragama. Islam melarang alcohol dan berzina, namun tetap saja banyak muslim yang minum alcohol dan berzina. Demikian juga dengan larangan memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani, pasti ada sebagian muslim yang cuek dan tidak perduli dengan larangan tersebut. Karena memang mereka tidak taat agama, boleh dikata cuek bebek. Alasan ini tidak perludiperjelas dan diperpanjang, karena sudah sangat jelas.

Namun demikian, alasan di atas bukanlah satu-satunya, karena masih ada alasan lain. Berikut pandangan penulis.

Kesepakatan Politik

Konstitusi adalah landasan kehidupan bernegara. Sebagaimana keluarga, seluruh anggota harus patuh pada aturan yang ditetapkan dalam keluarga. Bagaimana pun bentuk aturan tersebut, siapa pun yang menetapkan aturan tersebut, kepatuhan adalah mutlak dan keniscayaan. Ketidakpatuhan akan menimbulkan keributan antar anggota keluarga.

Menurut Wikipedia, jumlah penduduk Islam di Indonesia sebanyak 87,18%. Dari mayoritas mutlak ini, apakah wajar, jika muslim menghendaki pemimpin muslim di negeri ini? Tentu sangat wajar dan masuk akal.

Perjuangan untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya harus melalui proses konstitusi. Ketika keinginan tersebut sudah terwujud dalam konstitusi, semua warga Negara harus patuh mengikutinya. Perjuangan di luar konstitusi dipastikan menimbulkan kegaduhan, bahkan resiko ketegangan antar warga Negara.

Konstitusi bukanlah kitab yang menjelaskan kebenaran absolut, namun berisi kesepakatan politik.  Karena merupakan kesepakatan, tentu saja ada celah bagi kelompok mayoritas untuk mengajukannya.  Proses pembuatan kesepakatan merupakan proses take and give. Sejauh mana take and give berlangsung, disitulah kesepakatan akan terjadi.

Faktanya, konstitusi Negara Indonesia tidak membatasi pemimpin berdasarkan agama maupun etnis. Tentu saja, seorang warga Negara dengan agama apa pun dan etnis apa pun, berhak menjadi pemimpin. Itulah kesepakatan politik yang terjadi, apa pun dan bagaimana pun proses pembentukan konstitusi tersebut, seluruh warga Negara semestinya mematuhinya.

Definisi Pemimpin

Kata pemimpin sangat sederhana. Menurut awam, pemimpin adalah seseorang yang menjadi kepala dari sekumpulan orang. Referensi lain menyebutkan, pemimpin adalah seseorang yang menggunakan kemampuannya, sikapnya, nalurinya, dan ciri-ciri kepribadiannya yang mampu menciptakan suatu keadaan, sehingga orang lain yang dipimpinnya dapat saling bekerja sama untuk mencapai tujuan. Menurut Wikipedia, kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Ada ribuan definisi pemimpin, karenanya, penulis tidak akan membahas lebih lanjut. Faktanya, arti pemimpin berbeda-beda dari jaman ke jaman, dari budaya satu dengan budaya lainnya, antar wilayah satu dengan wilayah lainnya.

Makna dan kewenangan kholifah Islam tentu berbeda dengan Kaisar Romawi. Makna dan kewenangan Raja Hayam Wuruk Majapahit tentu berbeda dengan Raja Hamengkubuwono X Ngayogyokarto. Makna dan kewenangan presiden tentu berbeda dengan perdana menteri. Lebih jauh, arti dan kewenangan presiden tentu berbeda dengan gubernur, berbeda dengan walikota, berbeda dengan camat, berbeda dengan lurah, berbeda dengan Ketua RW, Ketua RT dan tentu saja kepala rumah tangga.

Hadis Ghadir Khum menyebutkan kepemimpinan Imam Ali atas kaum muslimin. Namun, muslim dunia menafsirkan berbeda terhadap makna kepemimpinan pada hadis tersebut. Demikian juga dengan Al-Quran Surat An-Nisa ayat 34, yang menyebutkan kepemimpinan kaum pria atas kaum wanita. Namun pada faktanya, muncul beberapa pemimpin Negara mayoritas muslim dari kaum wanita, diantarnya Benazir Bhutto di Pakistan dan Megawati di Indonesia.

Terkait larangan pemimpin Yahudi dan Nasrani pada surat Al-Maidah ayat 51, apakah ayat tersebut berlaku untuk presiden, gubernur, walikota, camat, lurah, Ketua RW atau Ketua RT? Atau mungkin juga berlaku untuk CEO, GM, Manager, Supervisor di suatu perusahaan? Faktanya, pemimpin tersebut tidak berkuasa mutlak sebagaimana pemimpin pada jaman kholifah yang lalu. Pemimpin saat ini dibatasi oleh sistim yang rigid dan cukup mapan. Berbagai pertanyaan tersebut pasti tersirat pada sebagian muslim.

Bumi Terbuka untuk Semua

Penulis lahir di Jawa Tengah, sudah pasti berhak tinggal, berkarya dan menjadi pemimpin di Jawa Tengah. Penulis pernah hidup empat tahun di Bandung, tentu bersyukur karena rakyat Bandung menerima dengan ramah. Pernah hidup enam tahun di Surabaya, Alhamdulillah diterima dengan baik di sana. Bahkan pernah hidup tiga tahun di Makassar, lagi-lagi mereka menerima dengan sangat terbuka. Saat ini penulis hidup di Jakarta, Alhamdulillah, sepuluh tahun lebih masyarakat betawi menerima dan bekerjasama saling mendukung di masjid perumahan.

Penulis sempat beberapa kali ke luar negeri, bahkan sempat tinggal beberapa bulan di negeri orang. Sekali lagi, Alhamdulillah, penduduk setempat menerima dan tidak mengisolasi kami. Ada keinginan, suatu saat bisa tinggal lebih lama di luar negeri. Bahkan ada keinginan, semoga suatu saat anak-anak bisa menjadi professional global, yang bekerja di banyak Negara, tidak dibatasi oleh pulau, Negara, etnis, agama atau apa pun.

Penulis meyakini, itulah masa depan dunia yang cemerlang. Setiap orang berhak untuk tinggal dan memimpin di negeri mana pun, sepanjang karyanya berharga, memberi manfaat dan kontribusinya signifikan di tempat tersebut. Adalah naïf, jika seseorang bertahan di tempat dia lahir, namun tidak memberi kontribusi apa pun pada tanah kelahirannya.

Jika setiap orang mempunyai hak untuk tinggal di mana pun, maka konsekuensinya, penduduk setempat berkewajiban untuk mengijinkan orang lain tinggal di tanah kelahirannya. Lebih lanjut, jika pendatang menunjukkan komitmen dan kontribusi yang lebih baik dari penduduk setempat, apa salahnya memberi kesempatan kepada pendatang untuk memimpin?

Bumi dicipta untuk semua makhluk. Tidak hanya manusia yang berbeda agama dan etnis, bahkan hewan pun berhak untuk menempati setiap jengkal di bumi ini. Tanah Jawa bukan milik suku Jawa, semua agama, etnis berhak hidup di Jawa, bahkan hewan apa pun boleh hidup di dalamnya, selama mengikuti aturan dan bisa hidup harmonis bersama.

Sesungguhnya praktek ini sudah terjadi sejak lama. Berikut beberapa contoh nyata. Rosulullah SAW dan para sahabat telah hijrah dan diterima di Madinah, bahkan memimpin seluruh suku di Madinah. Beberapa walisongo berasal dari negeri seberang, namun mereka diterima tinggal di tanah Jawa bahkan memimpin seluruh suku Jawa. Warga Inggris migrasi ke Amerika dan Australia, yang sebelumnya ditempati oleh Indian dan Aborijin, tapi akhirnya pendatang ini menguasai bahkan mengaku pribumi di tanah tersebut. Singapore yang semula menjadi bagian tanah melayu, kini didominasi etnis China yang telah mengaku sebagai pribumi.

Begitulah populasi dunia akan terus bergerak sambil mencari keseimbangan dan harmonisasi. Namun demikian, tidak bisa menutup mata, tidak semua orang berpandangan sama, sehingga keseimbangan dan harmonisasi tidak selamanya berjalan baik. Mari kita lihat faktanya saat ini.

Palestina terus berebut wilayah dengan Israel. Palestina merasa pribumi, sementara Israel tidak mungkin meninggalkan tanah yang menjadi tempat lahir dan membesarkannya. Bangsa Rohingya lahir dan tumbuh di tanah Myanmar ratusan tahun, namun Pemerintah Myanmar tetap menganggap sebagai imigran illegal. Presiden Donald Trump yang sebenarnya keturunan Eropa, bukan keturunan Indian, mengakui sebagai penduduk pribumi Amerika, dan melarang bangsa lain masuk ke wilayahnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Semoga Indonesia terbuka untuk semua suku, semua etnis dan semua agama. Agar bangsa Indonesia juga diijinkan untuk tinggal dan berkarya di belahan bumi mana pun. Yang terpenting adalah, setiap orang mampu berkarya, berkontribusi dan memberi manfaat untuk lingkungan dan makhluk seluruhnya.

Seorang patriot adalah mereka yang mengharumkan nama bangsa di hadapan bangsa lain. Seorang nasionalis adalah mereka yang memberi karya nyata untuk bangsanya.

Kesimpulan

Sebagai mayoritas mutlak, sangat wajar dan masuk akal, jika muslim Indonesia menghendaki pemimpin muslim. Namun sebaiknya hal tersebut dituangkan dalam konstitusi. Namun jika konstitusi menyebutkan lain, maka itulah kesepakatan, kita perlu menghormatinya.


Bumi terbuka untuk semua mahkluk, tidak pandang agama, etnis, spesies atau apa pun. Bukalah lebar untuk siapa saja, yang terbukti memiliki karya, jasa, dan komitmen.


* Catatan: artikel ini ditulis oleh muslim awam, bukan Ustadz apalagi Kyai. Setiap kesalahan, mungkin saja terjadi. Tulisan ini hanya ekspresi pemikiran dari hamba yang hobi menulis. Di publish paska pilkada dan masuk kategori humaniora, karena memang tidak dimaksudkan untuk berpolitik dan dukung-mendukung calon gubernur DKI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun