Bumi Terbuka untuk Semua
Penulis lahir di Jawa Tengah, sudah pasti berhak tinggal, berkarya dan menjadi pemimpin di Jawa Tengah. Penulis pernah hidup empat tahun di Bandung, tentu bersyukur karena rakyat Bandung menerima dengan ramah. Pernah hidup enam tahun di Surabaya, Alhamdulillah diterima dengan baik di sana. Bahkan pernah hidup tiga tahun di Makassar, lagi-lagi mereka menerima dengan sangat terbuka. Saat ini penulis hidup di Jakarta, Alhamdulillah, sepuluh tahun lebih masyarakat betawi menerima dan bekerjasama saling mendukung di masjid perumahan.
Penulis sempat beberapa kali ke luar negeri, bahkan sempat tinggal beberapa bulan di negeri orang. Sekali lagi, Alhamdulillah, penduduk setempat menerima dan tidak mengisolasi kami. Ada keinginan, suatu saat bisa tinggal lebih lama di luar negeri. Bahkan ada keinginan, semoga suatu saat anak-anak bisa menjadi professional global, yang bekerja di banyak Negara, tidak dibatasi oleh pulau, Negara, etnis, agama atau apa pun.
Penulis meyakini, itulah masa depan dunia yang cemerlang. Setiap orang berhak untuk tinggal dan memimpin di negeri mana pun, sepanjang karyanya berharga, memberi manfaat dan kontribusinya signifikan di tempat tersebut. Adalah naïf, jika seseorang bertahan di tempat dia lahir, namun tidak memberi kontribusi apa pun pada tanah kelahirannya.
Jika setiap orang mempunyai hak untuk tinggal di mana pun, maka konsekuensinya, penduduk setempat berkewajiban untuk mengijinkan orang lain tinggal di tanah kelahirannya. Lebih lanjut, jika pendatang menunjukkan komitmen dan kontribusi yang lebih baik dari penduduk setempat, apa salahnya memberi kesempatan kepada pendatang untuk memimpin?
Bumi dicipta untuk semua makhluk. Tidak hanya manusia yang berbeda agama dan etnis, bahkan hewan pun berhak untuk menempati setiap jengkal di bumi ini. Tanah Jawa bukan milik suku Jawa, semua agama, etnis berhak hidup di Jawa, bahkan hewan apa pun boleh hidup di dalamnya, selama mengikuti aturan dan bisa hidup harmonis bersama.
Sesungguhnya praktek ini sudah terjadi sejak lama. Berikut beberapa contoh nyata. Rosulullah SAW dan para sahabat telah hijrah dan diterima di Madinah, bahkan memimpin seluruh suku di Madinah. Beberapa walisongo berasal dari negeri seberang, namun mereka diterima tinggal di tanah Jawa bahkan memimpin seluruh suku Jawa. Warga Inggris migrasi ke Amerika dan Australia, yang sebelumnya ditempati oleh Indian dan Aborijin, tapi akhirnya pendatang ini menguasai bahkan mengaku pribumi di tanah tersebut. Singapore yang semula menjadi bagian tanah melayu, kini didominasi etnis China yang telah mengaku sebagai pribumi.
Begitulah populasi dunia akan terus bergerak sambil mencari keseimbangan dan harmonisasi. Namun demikian, tidak bisa menutup mata, tidak semua orang berpandangan sama, sehingga keseimbangan dan harmonisasi tidak selamanya berjalan baik. Mari kita lihat faktanya saat ini.
Palestina terus berebut wilayah dengan Israel. Palestina merasa pribumi, sementara Israel tidak mungkin meninggalkan tanah yang menjadi tempat lahir dan membesarkannya. Bangsa Rohingya lahir dan tumbuh di tanah Myanmar ratusan tahun, namun Pemerintah Myanmar tetap menganggap sebagai imigran illegal. Presiden Donald Trump yang sebenarnya keturunan Eropa, bukan keturunan Indian, mengakui sebagai penduduk pribumi Amerika, dan melarang bangsa lain masuk ke wilayahnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Semoga Indonesia terbuka untuk semua suku, semua etnis dan semua agama. Agar bangsa Indonesia juga diijinkan untuk tinggal dan berkarya di belahan bumi mana pun. Yang terpenting adalah, setiap orang mampu berkarya, berkontribusi dan memberi manfaat untuk lingkungan dan makhluk seluruhnya.
Seorang patriot adalah mereka yang mengharumkan nama bangsa di hadapan bangsa lain. Seorang nasionalis adalah mereka yang memberi karya nyata untuk bangsanya.