Napak tilas lagi, memungut serpihan-serpihan kisah yang lewat, menyisakan rasa manis dan pahit. Seperti pasir yang lembut dan lembab, menguarkan uap air yang dingin. Membekukan hati ini seketika juga mengiris pedih dengan kasar. Mengingat pengkhianatan yang kau lakukan, menyesapkan pedih yang kau toreh setiap waktu, mati itu terasa menjadi hari-hari. Dan, membuka lagi setiap awal hari yang menjadikanku mengenalmu. Dan, pengkhianatanmu menjadi keindahan yang sakit buatku. Dan, pengkhianatnmu membuatku sakit merasakan keindahan. Lalu, aku berpendar dalam indah yang kau hembuskan tanpa lelah.
Aku tak ingat secara tepat awal kedekatan ini, aku tersadar ketika di dalam waktu-waktuku ada dirimu. Itu melengkapi. Sebaliknya membuatku merasa asing jika tiba-tiba kau menghilang. Hampa dan hambar hidupku. Aku tergantung penuh padamu. Tanpa kusadari. Kau adalah pusat hidupku, kini. Menjadi nafas sekaligus matahari. Hal terpenting yang kumiliki. Dan itu ... Dirimu.
Tubuhku membiaskan cahaya, karena pancaran senyum dan tatapanmu. Wajahku penuh aura kebahagiaan karena kasih dan perhatian yang kau selimutkan di hidupku. Bagaimana hari-hariku tak penuh olehmu? Karena ketiadaktahuanku tentang mu suatu menit melesapkan adaku. Itu semua kualami. Itu memelukku begitu saja, itu menghangatkanku dan membuatku aman dan seketika akupun terlelap menikmati segalanya darimu.
Dan ketika cintaku menanyakan hariku, waktuku, dan detik-detikku. Ia tertegun melihat banyak namamu tertulis di sana. Ia terdiam. Aku termangu. helaan nafasnya membuatku sadar bahwa aku menjauh darinya dan menenggelamkan diri dalam dekapanmu. Bisu menyerahkan aku padamu. Dan tatapan lukanya menghantarkan aku padamu.
Aku resah. Tenggelam didirimu dan melukainya. Tidak seperti ini harusnya. Namu kehadiranku yang terlambat menjadi sesalmu.
"Ah! Mengapa baru sekarang kamu hadir di sini?"
"Kok?"
"Sangat terlambat. Mengapa kamu tidak datang dari dulu?"
"Maksud kamu apa?"
"Harusnya kamu ada di sini dulu-dulu. Sekarang aku ....."
Seperti ketidaksabaran,mu menantiku menjadi sesalku. Dan dirinya menjadi sesal yang lain bagi kita.
"Kamu yang nggak sabar."
"Mana aku tahu kamu akan hadir di hidupku."
"Ya, karena kamu nggak sabar. Kamu terburu-buru membuat keputusan."
"Seandainya aku tahu kamu akan hadir di hisupku. Aku pasti akan bersabar."
"Pada kenyataannya kamu memang tidak sabar."
Pada akhirnya kita tak bisa mengelak, menikmati setiap riak dan tangis menjadi keterikatan yang tak terkatakan. Tiada lain hanya kamu. Kamu menjadi tawaku, kenyangku, dan penawar hausku. Kau menjadi segala yang kubutuhkan. Penghargaan, ketulusan dan kejujuran menjadikanku utuh. Kusandingkan segenap expertiseku untuk mengiringi langkahmu. Menjadi semangatmu, menjadi tempatmu berpaling ketika resah mencuri waktumu. Namun, mengudara di sekitarmu, memiliki setengah waktumu seperti pencuri, was-was dan berkabut takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H