Aku dapat melihatnya dengan jelas. Wajahnya yang sangat tegas, tatapan matanya yang sangat tajam, bibirnya yang tipis, rambutnya yang berwarna cokelat, membuat wajahnya terlihat lebih bersinar. Jantungku terasa berhenti berdetak, saat itu pun aku merasa dunia ikut berhenti. Mataku terbelak, mulutku ternganga membentuk huruf O dengan sangat lebar. Pria berwajah oriental itu menatapku dengan tatapan mata elangnya. Tingginya sekitar 170 cm, lebih tinggi 17 cm dariku. Di dekatnya, aku hanya bisa berdiri kaku. Hidungku dipenuhi dengan aroma tubuhnya. Wangi bedak bayi. Perpaduan yang sangat kontras dengan perawakannya. Sosok misterius beraroma bayi.
" Siapa namamu ? " ia terlihat membuka mulutnya. Benarkah itu suaranya ? Ia bertanya kepadaku ya ?.
Dia membungkukan badannya, mendekatkan wajahnya kepadaku. Wajahku memerah padam, jantungku yang terasa berhenti berdetak, langsung bergedup dengan sangat cepat. Refleks aku berjalan mundur. Ia malah menggodaku, melangkahkan kakinya mendekatiku.
" Siapa namamu ? " ia bertanya lagi. Aku menebarkan pandanganku ke segala penjuru, kemudian menoleh ke arahnya lagi. Ia menyeringai. Tatapan matanya yang penuh misterius itu, mendadak tinggal segaris ketika ia sedang menyeringai.
" Di sini hanya ada kamu dan aku, tentu saja aku bertanya kepadamu. Tidak ada orang lain di sini, hanya kita berdua .... " aku menelan ludah mendengar ia menekankan ucapannya.
Ia menyodorkan tangannya ke arahku, ia kembali membentuk bulan sabit di bibirnya, kali ini lebih bersahabat
" Namaku Ryu ... " ia masih menyodorkan tangannya ke arahku. "Â
" Oh ... ? " aku masih gelagapan menjabat tangannya. Kenapa tiba-tiba ruangan ini pengap sekali, sampai-sampai tanganku berkeringat ketika menjabat tangannya.
" Namamu OH ? " ia memiringkan kepalanya dengan ekspresi lucu. Kenapa ia bisa sesantai ini sih ?. Aku jadi kesal dengan ekspresinya.
" Namaku ... namaku Eugene ... " sahutku sambil berdehem. Buru-buru melepaskan jabatan tanganku. Ia tersenyum. Oh tidak, senyumnya sangat candu !.
" Senang berkenalan denganmu ... " ucapnya lagi, kini ia kembali menyeringai. Aku hanya mengangguk, berusaha sebisa mungkin untuk terlihat normal.
" Jadi, bagaimana caranya kita keluar dari sini ? " ia bertanya kepadaku, menebarkan pandangannya ke segala arah. Mencari-cari celah agar kami bisa keluar dari ruangan serba putih itu. Saking shocknya dengan kehadiran pria itu, aku sampai tidak sadar, bahwa sedari tadi kami memang hanya berdua saja di ruangan ini. Ruangan yang tidak berventilasi, tidak berwarna lain selain warna putih, tidak .... tidak ada pintu ? Hah ?? Lantas bagaimana tiba-tiba aku bisa berada disini ?? Terlebih lagi dengan pria ini. Pria yang selama berbulan-bulan ku nantikan, yang aku sendiri tidak tahu seperti apa perawakannya secara jelas, tapi ia selalu ada di pikiranku, seolah tidak mau pergi, menetap disana dalam waktu yang lama, dan kini... ia tiba-tiba ada di hadapanku. Memperjelas perawakannya, memberi tahu bahwa namanya adalah Ryu. Gila, kenapa ritme jantungku makin tidak beraturan sih ?.
" Kenapa kita ada di sini ? " aku balik bertanya kepadanya. Ia memutar tubuhnya, menoleh ke arahku lagi.
" Pertanyaanya adalah, bagaimana caranya kita keluar dari sini ? Bukan kenapa kita ada disini .... " ia mengoreksiku. Aku menggerutu.
" Aku saja tidak tahu, kenapa kita ada di sini " gerutu ku sembari berjalan mengitari ruangan ini, mana tahu ada pintu rahasia diantara dinding-dinding putih ini.
" Kamu lupa ya ? Kan kamu sendiri yang membuat kita berada di sini ... " celetuknya dengan ringan. Aku mengerutkan kening, gantian menoleh ke arahnya.
" Hah ? Aku ? Kita ? Kita, kita ada di sini, karena aku ? Bagaimana mungkin ... bagaimana bisa ... ? "
" Kalau aku tahu, aku sudah memberitahumu dari tadi, dan bisa keluar dari tempat ini. Sekarang, kamu coba pikirkan sendiri, bagaimana caranya kita keluar dari sini ... " sahutnya cuek. Ia menyandarkan tubuh nya di sudut ruangan, melipat kedua tangannya ke depan dada, menengadahkan wajahnya sambil menutup kedua matanya. Aku menelan ludah, kenapa ada manusia sesempurna ini ?.
" Ayo jawab aku ... " ucapnya dengan nada lirih, ia masih menutup matanya. Ternyata ia menunggu jawabanku. Aku berdehem, gelagapan, mencoba menguasai diriku.
" Tadi aku tidak ada di sini, aku masih ada di kamarku beberapa menit yang lalu, kemudian ketika aku membuka mataku, tiba-tiba aku berada di ruangan ini, dan kamu ... kamu ada di hadapanku. Aku dapat melihatmu dengan jelas sekarang, dan aku juga sudah tahu namamu. Ryu ... tapi aku ... aku bingung, kenapa kita terjebak di ruangan ini ? Kenapa tiba-tiba begini ? " tak sadar aku mengomel sendiri, pria bertubuh kurus itu tersenyum kepadaku. Ia membuka kedua matanya, dan melihat ku. Masih terus tersenyum menatapku dalam-dalam. Hei, bisa diam tidak ?! Berhenti menggoda, senyumanmu itu sangat menyebalkan !. Jantungku masih tidak normal.
" Jadi apa kita pernah bertemu sebelumnya ? Maksudku di waktu dan tempat yang berbeda, selain disini ? " ia malah balik bertanya. Aku gelagapan mendengar pertanyaanya.
" Jawab aku ... " pintanya dengan suara, ya ampun .... kenapa ada makhluk sesempurna ini sih ? Suaranya bahkan sopan sekali ketika mampir di telingaku.
" Entah .... " aku berbohong. Tidak mungkin kan, aku berkata bahwa ini sudah ke yang beberapa kalinya aku bertemu dengannya. Mungkin dia tidak sadar, karena kami bertemu pun dari jarak yang tidak terlalu dekat, samar-samar, tapi entah kenapa aku bisa sangat yakin, bahwa memang dia lah orangnya.
" Aku rasa, kamu sedang berbohong .... "
" T-tidak .... ti-tidak ... " timpalku dengan cepat.
" Jangan berbohong ... " ia kembali menyeringai.
" Sudahlah, pikirkan saja caranya bagaimana kita keluar dari sini ! " sahutku sambil bersungut.
" Katakan kepadaku .... apa kamu menyukaiku ? " pertanyaanya membuat jantungku terasa berhenti berdetak lagi. Dia .... dia .... gila ya ?. Kenapa sesantai itu bertanya kepadaku, seperti kami sudah saling kenal lama. Seperti dia bisa membaca pikiranku, dan sepertinya dia sudah terbiasa bertanya seperti itu, kepada tiap gadis yang akan ia patahkan hatinya.
" Hah ? "
" Gak mau jawab ? Malu ? Takut ditolak ? " ia menyeringai lagi. Pipiku mulai memanas, aku membuang muka. Dia memang sudah gila.
" Aku rasa dugaanku benar .... kamu memang menyukaiku, dan sepertinya sudah lama ya, kamu menyimpan perasaan kepadaku ... "
" Kamu gila ya ? Bagaimana mungkin memberikan pertanyaan aneh seperti itu, kepada orang yang baru saja kamu kenal ? Dan lagi, kita tidak tahu kita ada dimana, kita juga tidak tahu bagaimana cara kita keluar dari sini ! Tidak ada jalan keluar, bagaimana caranya keluar dari sini ! " aku nyaris berteriak, dia tidak bisa mendengar ritme jantungku saat ini kan ?. Ya Tuhan, kenapa udara di sini benar-benar panas ?.
Dia beranjak dari tempatnya, kemudian berjalan perlahan menghampiriku.
" Eugene ... " aku meleleh mendengar namaku disebut semerdu itu.
" Eugene, jawab ... " rengeknya. Aku menoleh perlahan kearahnya.
" Ya ... ? "
" Bagaimana jika aku juga mempunyai perasaan yang sama terhadapmu ? "
" Hah ? " jantungku nyaris melompat. Ia menggapai kedua tanganku.
" Apakah kita bisa menetap di sini saja ? Rasanya tidak apa, jika harus tinggal di sini berdua denganmu. Sepertinya kita bisa bahagia di tempat ini ... " ucapnya sambil tersenyum, sesuatu seperti kupu-kupu terbang di dalam perutku. Ucapanya makin gila, tapi kenapa aku makin suka ?.
" Bagaimana ? Apakah kamu setuju .... ? " ia bertanya penuh harap. Aku menelan ludahku, ia mengenggam jari jemariku dengan erat.
" Aku juga sudah lama menyukaimu .... jadi, tak usah pikirkan bagaimana caranya keluar dari sini, pikirkan saja bagaimana caranya bisa bertahan hidup di ruangan ini .... " ucapannya makin tak masuk akal. Kenapa tiba-tiba bulu kudukku merinding. Aku mundur beberapa langkah, ia tetap berjalan maju mendekatiku.
" Kenapa ? Kamu gak suka ya ? " ia masih berjalan mendekatiku, wajahnya sekarang terlihat kecewa. Aku berdehem, tubuhku sudah tidak bisa menemukan jalan lagi. Berjalan mundur dan berhenti tepat di dinding putih menyebalkan itu.
" Apakah kamu sadar, bahwa ucapanmu sudah gila ? " ucapku sebisa mungkin mengendalikan diriku. Ia menyeringai mendengar pertanyaanku. Tubuhnya yang kurus menjulang tinggi kini tepat di hadapanku, kedua tangannya ia lipat lagi, ia menatapku dalam-dalam.
" Aku rasa kamu benar, sepertinya aku memang sudah gila. Maaf jika sikap dan ucapanku membuat kamu tidak nyaman, tapi kita tidak punya banyak waktu ..."
" Apa maksudmu ? "
" Jika aku tidak menyatakan perasaanku sekarang, maka semua ini akan menghilang dengan cepat. Jadi, karena aku tidak mau membuang kesempatan. Aku melakukannya sesegera mungkin. Jika kamu mau membalas perasaanku, itu akan sangat menyenangkan, dan kita tinggal pikirkan caranya bagaimana bisa tinggal di ruangan ini .... selamanya .... " kenapa ucapannya terdengar romantis tapi menyeramkan ya ?. Jika aku bisa memilih, tentu saja aku ingin bersamanya, siapa yang menyangka, bahwa perasaanku akan dibalas oleh manusia sesempurna dia ? Tapi logikanya, bagaimana bisa hidup di ruangan ini selamanya, tanpa makan, minum, dan berinteraksi dengan siapapun selain dengannya ?. Ya ... untuk kalimat terakhir tadi, mungkin akan menjadi pengecualian dalam hidupku. Mungkin akan tidak apa-apa, jika hanya berinteraksi dengan manusia ini saja. Dunia pasti akan baik-baik saja kok.
" Jadi .... bagaimana ? Kamu hanya jawab saja pertanyaanku. Kemudian, kita pikiran caranya, untuk hidup di sini selamanya .... " aku menelan ludahku lagi, kalimat demi kalimat yang terluncur dari bibirnya membuatku semakin merinding.
" Kenapa harus ada pertanyaan seperti itu ? Maksudku, kita coba untuk keluar dari sini, kemudian kita bisa bersama ... eh, maksudku .... " ia menyeringai mendengar ucapanku, kemudian menggeleng pelan.
" Sayangnya, kita tidak bisa seperti itu. Eugene ... kita tidak bisa seperti itu. Kamu harus bisa memilih. Pilihan pertama, kita tetap disini, dan pikirkan bagaimana caranya bisa tinggal di sini selamanya. Pilihan kedua, kita tetap pikirkan caranya bagaimana keluar dari sini, tapi kita tidak bisa bersama ..." ucapnya dengan suara lirih. Aku terhenyak mendengar ucapannya. Kenapa pilihannya sama-sama tidak masuk akal ?.
" Jadi bagaimana ? " ia kembali bertanya, kali ini dengan suara menuntut. Tidak sabaran. Aku mengangkat kedua bahuku.
" Aku tidak tahu " ia terlihat kesal mendengar jawabanku.
" Kenapa tidak tahu ? Kamu hanya tinggal memilih, kemudian kita pikirkan bersama bagaimana caranya untuk tinggal di sini. Semudah itu kan ?" wajahnya kini terlihat marah. Aku mengerutkan kening, kenapa ia jadi aneh seperti ini sih?. Sepertinya ada waktu yang sedang diburu. Tidak sempat, takut terlambat.
" Baiklah, aku akan memilih .... tinggal di sini bersamamu .... " ya aku tahu, aku ikutan gila. Ia tersenyum, menatapku dengan mata yang berbinar.
" Aku senang mendengarnya, baiklah kalau begitu ... sekarang kita pikirkan caranya, bagaimana agar bisa tetap tinggal di ruangan ini .... " ucapnya dengan nada ringan, lalu ia duduk, aku ikut duduk di sebelahnya.
" Terimakasih sudah memilih pilihan pertama ..." ucapnya terlihat antusias, aku mengangguk kikuk. Masih kaku dengan keadaan aneh ini, tapi asal bersama dengannya, aku akan mencoba menikmati setiap momen yang ku punya.
Duk ... duk ... duk ... tiba-tiba terdengar suara orang sedang memukul-mukul. Suara itu samar-samar terdengar, kemudian makin jelas terdengar tepat di telingaku. Aku tersentak kaget, ku tatap pria yang ada di hadapanku. Ia masih tersenyum. Duk ... duk ... duk ... suara itu makin terdengar jelas dan memekakan telingaku.
" Eugene ... Eugene ... " senyum pria itu memudar, wajahnya ikut memudar, aku berteriak panik, mencoba meraih tangannya, tapi ia menjauh.
" Eugene !!! " terdengar suara lebih keras, aku tersentak kaget. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, aku menebarkan pandangan ku ke segala arah.
" Kamu berhalusinasi lagi ya ? " ucap suara itu terdengar kesal.
" Hah ? " sahutku bingung, di depanku sudah berdiri seorang perempuan berseragam pramuka.
" Bisa-bisa nya kamu halu di pelajaran matematika, untuk Mr. Steven tidak sadar dengan tingkahmu ! Sudah, ayo kita pulang ! " ucapnya sambil memukul-mukul tongkat kayu untuk kegiatan pramukanya, di lantai.
" Jadi, tadi cuman halusinasi aku saja ya ? " ucapku masih dengan bingung, dan sedikit kecewa.
" Jadi, apa kamu sudah tahu siapa nama pria itu ? " gadis itu tidak menggubris pertanyaanku. Ia memang sudah paham dengan tingkahku selama ini.
" Ryu ... " jawabku, masih dengan perasaan kecewa aku beranjak dari bangku kelasku. Kami berjalan meninggalkan kelas. Gadis yang menjadi sahabatku semenjak kami masih di bangku taman kanak-kanak itu, merangkulku sambil tetap memukul-mukul tongkat kayunya di lantai.
" Sudah, tidak apa. Nanti pasti kalian bertemu lagi. Yang paling penting sekarang adalah, segera tuangkan imajinasimu ke dalam tulisan, lalu kirim cerpenmu ke majalah. Ok ? " ucapnya menyemangatiku. Aku mengangguk, mencoba tersenyum. Kami berjalan menuju gerbang sekolah. Siang ini, udara terasa lebih sejuk.
                                                                    Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H