" Eugene ... " aku meleleh mendengar namaku disebut semerdu itu.
" Eugene, jawab ... " rengeknya. Aku menoleh perlahan kearahnya.
" Ya ... ? "
" Bagaimana jika aku juga mempunyai perasaan yang sama terhadapmu ? "
" Hah ? " jantungku nyaris melompat. Ia menggapai kedua tanganku.
" Apakah kita bisa menetap di sini saja ? Rasanya tidak apa, jika harus tinggal di sini berdua denganmu. Sepertinya kita bisa bahagia di tempat ini ... " ucapnya sambil tersenyum, sesuatu seperti kupu-kupu terbang di dalam perutku. Ucapanya makin gila, tapi kenapa aku makin suka ?.
" Bagaimana ? Apakah kamu setuju .... ? " ia bertanya penuh harap. Aku menelan ludahku, ia mengenggam jari jemariku dengan erat.
" Aku juga sudah lama menyukaimu .... jadi, tak usah pikirkan bagaimana caranya keluar dari sini, pikirkan saja bagaimana caranya bisa bertahan hidup di ruangan ini .... " ucapannya makin tak masuk akal. Kenapa tiba-tiba bulu kudukku merinding. Aku mundur beberapa langkah, ia tetap berjalan maju mendekatiku.
" Kenapa ? Kamu gak suka ya ? " ia masih berjalan mendekatiku, wajahnya sekarang terlihat kecewa. Aku berdehem, tubuhku sudah tidak bisa menemukan jalan lagi. Berjalan mundur dan berhenti tepat di dinding putih menyebalkan itu.
" Apakah kamu sadar, bahwa ucapanmu sudah gila ? " ucapku sebisa mungkin mengendalikan diriku. Ia menyeringai mendengar pertanyaanku. Tubuhnya yang kurus menjulang tinggi kini tepat di hadapanku, kedua tangannya ia lipat lagi, ia menatapku dalam-dalam.
" Aku rasa kamu benar, sepertinya aku memang sudah gila. Maaf jika sikap dan ucapanku membuat kamu tidak nyaman, tapi kita tidak punya banyak waktu ..."