Perempuan itu menelentang seperti sedang bermeditasi. Lelaki pengamat itu ingin sekali mendekati tempat ia berbaring --- lelaki itu menganggap perempuan itu dalam gelora kesepian.
Bapaknya Madjid Kartasatia adalah pejabat Departemen Agama yang juga tertuduh sebagai koruptor --- lelaki itu mati terbunuh di dalam perjalanan menuju sidang pengadilan. Ada komplotan Geng Pantura yang dibayar untuk menuntaskan perkara itu, agar jangan tersingkap dalam sidang pengadilan. Ia mati dalam tuntutan 7 tahun penjara --- tidak pasti berapa hukumannya akan diputuskan seandainya sempat hakim mengetokkan palunya. Perkara itu disidangkan tahun 1993 --- perkara itu sangat menarik karena banyaknya para penegak hokum yang melakukan misi pemerasan, dan pihak-pihak lain yang menginginkan perkara itu habis di terdakwa saja. Ada pula pihak yang membayar pembunuh bayaran. Ia ditembak mati --- modar sebagai koruptor yang sangat dibenci banyak pihak.
Perempuan itu menelentang seperti sedang bermeditasi. Matanya terpejam, handuk lebar merentang di tubuhnya, Cuma ada bagian pahanya yang putih tercilak tidak tertutup.
Madjid Kartasatia adalah birokrat yang sukses --- ia putera pertama Sang Kolonel. Ketika bapaknya berperkara ia menghabiskan ratusan juta untuk membebaskan bapaknya dari tuduhan --- tuduhan politis dan persaingan antar elite tidak bisa ia tembus. Ia membeli kenyamanan di penjara --- tetapi laknat penyakit menyusup memamah biak membuat menderita dirinya dan keluarga besarnya --- secara fisik mau pun mental. Semua anak-anak dan keluarga Sang Kolonel menjadi seperti manusia yang terkutuk. Begitu pula Madjid pun mati bersimbah darah, ia terjatuh pas ketika akan menuruni tangga truk tahanan. Ia mati ditembak komplotan pembunuh bayaran. Agen Geng Pantura, konon !
Perempuan itu masih terlentang --- di rongga matanya masih jelas terjadi kilas balik, ia digendong oleh Sang Kolonel.
Lelaki itu menarik kedua kakinya --- ia berdiri sambil mengkhayalkan tidur bersama perempuan itu di pagi hari. Memang coitus yang sensasional sangat luar bisa dialami di pagi hari --- apa lagi dilakukan dengan perempuan yang didambakan.
Sementara itu Tengku Houd telah sampai di Bandung, ia berdiri di sebuah rumah di Margahayu, menantikan orang membukakan pintu pagar. “Ini oleh-oleh untuk Bu Ade !”
“Masuk dulu pak “
“Terima kasih” Ia tahu perempuan pemilik rumah itu masih dalam perjalanan dari Yogyakarta – Bandung.
Ia larikan Mercy sport-nya menuju Dago --- ia terjebak kemacetan. Ia sabar saja ikut mengantri. Ia sudah hafal konfigurasi kemacetan Bandung. Ia menuju restoran favoritnya, di mana di seberangnya adalah hotel di mana telah di-bookingnya.
Tengku Houd mengintip spion di kanannya --- ia tersenyum karena membayangkan perempuan bernama Ade --- wanita yang telah dipacarinya lebih 29 tahun. Perempuan itu tetap pelayan seks yang sangat asyik. Yang tidak ia mengerti mengapa para suaminya tidak pernah bertahan lama. Di umurnya yang ke-55 tahun kini pun ia sedang menjanda.