Sejak Teluk Pelabuhan Ratu sampai Karang Antu --- gemuruh suara ombak pantai selatan memang menggetarkan, ombak besar datang menderu, tetapi ada saja orang yang berani bermain-main dan berenang-renang di pinggiran pantai itu. A’ay baru saja keluar dari kamar hotelnya, ia menyeberangi jalan menuju Pantai Citepus, ia melepaskan pandangnya ke sela-sela pohon kelapa untuk melihat sosok Hotel Samudera Beach.
Rambutnya yang panjang terurai dihembus angin melambai-lambai.
Ia ingat pada lelaki tua yang beruban dengan jenggot dan kumis yang memutih itu --- “sorot mata lelaki itu di balik kacamatanya, masih tegas dan sehat………….ia sehat.” Bisik hati A’ay. Pagi itu Pantai Citepus tenang, hanya angin berhembus kencang.
A’ay mengenang perkenalannya dengan Tengku Houd kemarin malam. “Sangat mengesankan cara ia berjabat tangan dan, menyebutkan namanya yang ganjil itu “
“Tengku Houd” Lelaki itu enak sekali diajak berbincang dan bercerita, ia menguasai banyak bahan cerita dan humor --- sungguh menghibur hati A’ay yang memang sedang dikacaukan amuk prahara proses perceraiannya. Lelaki itu semalam sekaligus pamit, bahwa subuh ia akan meninggalkan hotel untuk pulang ke Cirebon melalui Bandung.
Dengan sepotong bambu sebagai tongkat A’ay menapaki pantai Citepus . Jejak kakinya jauh berbaris memanjang ke arah timur. Kalau ketemu batu, dikutipnya lantas dilemparkan ke tengah laut --- sepertinya ia ingin melemparkan beban kekacauan hatinya.
Jejak kaki itu terkadang ditingkah jejak tongkat atau malah garis seretan batang bambu itu, memanjang jauh tertinggal.. “Ah, mengapa Pak Tengku pulang, alangkah asyiknya bila pagi ini berbincang sambil menikmati sarapan di coffee shop”.
Wanita 34 tahun itu telah menceburkan dirinya ke kolam renang --- kulit dan bodynya sangat terawat . Ia sehat jasmani tampaknya, tetapi rohaninya telah terkacau balau dalam prahara dua generasi di atasnya --- pada giliran dalam hidupnya pun terombang-ambing dalam gelombang fobia dan tekanan psikologis yang selalu membuat dirinya seperti orang tidak normal.
Tubuh molek itu kini diintai oleh sepasang mata, yang menyorotinya sejak ia melemparkan anduknya di sampiran kursi taman yang teduh di bawah bayang-bayang pohon di matahari pagi. Lelaki itu melonjorkan kakinya ke tembok pembatas taman. Ia menantikan saat yang tepat. Ia sudah puas menonton prilaku perempuan itu, sedang berenang, atau saat melonjakkan badannya keluar air kolam. Memang seksi !
Dua generasi di atas perempuan itu --- dua lelaki yang dikaguminya mati di penjara. Kakeknya seorang Kolonel mati di dalam penjara pada umur 56 tahun. Kolonel itu pada tahun 1967 tertuduh sebagai perwira yang menggelapkan uang operasi dari suatu badan rahasia untuk menumpas komunis. Ia dijatuhi hukuman 5 tahun lebih --- baru menjalani hukuman sekitar 2 tahun, penyakit degeneratif merongrong tubuhnya --- setelah kedua kakinya diamputasi, terjadi pula kerusakan jiwanya. Dari sikap merenung dan menyesali kehidupannya sampai tindakan menyakiti diri dengan membenturkan kepalanya ke jeruji besi. Dia mati dengan tubuh bagian bawahnya membusuk --- penyakit aambein-nya adalah salah satu siksaan yang membuat ia putus asa. Ia dikubur di desa yang telah dianggapnya sebagai kampung halaman . di desa Susukan tempat dulu ia bergerilya dan menumpas DI.
Perempuan itu menelentang seperti sedang bermeditasi. Lelaki pengamat itu ingin sekali mendekati tempat ia berbaring --- lelaki itu menganggap perempuan itu dalam gelora kesepian.
Bapaknya Madjid Kartasatia adalah pejabat Departemen Agama yang juga tertuduh sebagai koruptor --- lelaki itu mati terbunuh di dalam perjalanan menuju sidang pengadilan. Ada komplotan Geng Pantura yang dibayar untuk menuntaskan perkara itu, agar jangan tersingkap dalam sidang pengadilan. Ia mati dalam tuntutan 7 tahun penjara --- tidak pasti berapa hukumannya akan diputuskan seandainya sempat hakim mengetokkan palunya. Perkara itu disidangkan tahun 1993 --- perkara itu sangat menarik karena banyaknya para penegak hokum yang melakukan misi pemerasan, dan pihak-pihak lain yang menginginkan perkara itu habis di terdakwa saja. Ada pula pihak yang membayar pembunuh bayaran. Ia ditembak mati --- modar sebagai koruptor yang sangat dibenci banyak pihak.
Perempuan itu menelentang seperti sedang bermeditasi. Matanya terpejam, handuk lebar merentang di tubuhnya, Cuma ada bagian pahanya yang putih tercilak tidak tertutup.
Madjid Kartasatia adalah birokrat yang sukses --- ia putera pertama Sang Kolonel. Ketika bapaknya berperkara ia menghabiskan ratusan juta untuk membebaskan bapaknya dari tuduhan --- tuduhan politis dan persaingan antar elite tidak bisa ia tembus. Ia membeli kenyamanan di penjara --- tetapi laknat penyakit menyusup memamah biak membuat menderita dirinya dan keluarga besarnya --- secara fisik mau pun mental. Semua anak-anak dan keluarga Sang Kolonel menjadi seperti manusia yang terkutuk. Begitu pula Madjid pun mati bersimbah darah, ia terjatuh pas ketika akan menuruni tangga truk tahanan. Ia mati ditembak komplotan pembunuh bayaran. Agen Geng Pantura, konon !
Perempuan itu masih terlentang --- di rongga matanya masih jelas terjadi kilas balik, ia digendong oleh Sang Kolonel.
Lelaki itu menarik kedua kakinya --- ia berdiri sambil mengkhayalkan tidur bersama perempuan itu di pagi hari. Memang coitus yang sensasional sangat luar bisa dialami di pagi hari --- apa lagi dilakukan dengan perempuan yang didambakan.
Sementara itu Tengku Houd telah sampai di Bandung, ia berdiri di sebuah rumah di Margahayu, menantikan orang membukakan pintu pagar. “Ini oleh-oleh untuk Bu Ade !”
“Masuk dulu pak “
“Terima kasih” Ia tahu perempuan pemilik rumah itu masih dalam perjalanan dari Yogyakarta – Bandung.
Ia larikan Mercy sport-nya menuju Dago --- ia terjebak kemacetan. Ia sabar saja ikut mengantri. Ia sudah hafal konfigurasi kemacetan Bandung. Ia menuju restoran favoritnya, di mana di seberangnya adalah hotel di mana telah di-bookingnya.
Tengku Houd mengintip spion di kanannya --- ia tersenyum karena membayangkan perempuan bernama Ade --- wanita yang telah dipacarinya lebih 29 tahun. Perempuan itu tetap pelayan seks yang sangat asyik. Yang tidak ia mengerti mengapa para suaminya tidak pernah bertahan lama. Di umurnya yang ke-55 tahun kini pun ia sedang menjanda.
Restoran favorit Tengku Houd itu sangat istimewa --- Sang Tengku senang karena arsitektur bangunan dan contour landscape-nya sangat permai --- apalagi di malam hari, sungguh romantis mengintip lampu-lampu Bandung di bawah sana.
“Bang, ketiga macam sarung plekat pesanan abang telah dikirim ke Pengangkut di Luwipanjang pagi tadi”
“Berapa banyak, bisa terkirim semuanya”
“Sudah bang, masing-masing seribu kodi --- seperti contoh yang telah abang tentukan itu. Corak al Jawi kotak-kotak kecil seribu, corak ala Songket seribu kodi dan seribu lagi corak Donggala --- sudah beres boss ! Kapan mampir ke Majalaya ?
“Kaulah kemari --- ke restoran favorit-ku, tahu ‘kan ?
“ Ya, iya boss --- sekarang saya meluncur, menginap di depan to ? Pak, semua jadi rekening kami boss !”
Tengku Houd menutup pembicaraan --- ia ingin menelepon Tetty. (Bersambung dalam
Saptalogi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI