"Tiga malam ini saya sukar tidur, memikirkan nasib kita --- coba lihat karung di pojok sana --- sepatu kita tidak berhasil saya pasarkan. Semua mengatakan stok masih ada. Ada tanda-tanda kita harus berganti haluan " Pak Ojo menghantarkan ganjalan di hatinya kepada delapan anak buahnya. Anak-anak buahnya tertunduk miris, dapat menduga apa yang bakal terjadi.
"Tadi malam saya sholat istiharah. Mohon Allah memberkati usaha kita. Saya berputus asa sudah --- sudah mendengar teman-teman kita di Kawalo, Cibeurih, Tanjung, dan banyaklah . Menyerah."
Anak-anak itupun, sebenarnya telah mendengar. Banyak pengrajin sepatu tutup atau mengurangi pekerjanya. Inilah giliran mereka.
"Mohon maaf, Bapak menyerah, mulai hari ini bapak menghentikan produksi. Sejak kemarin bapak sudah tidak mampu membeli bahan --- hutangpun telah bapak minta ditunda "
Sebenarnya anak-anak itu ingin secepatnya Pak Ojo memutuskan, siapa diantara mereka yang di-PHK. Mengerti keadaannya. Semua pekerja sudah membicarakan bakalan terjadi PHK massal. Desa-desa mereka di semua kecamatan kini murung. Murung bangsa-ku !
"Mohon maaf bapak terpaksa menunda produksi sepatu kita. Bapak mencoba membuat sandal, sandal pesanan hotel --- biar kita bisa bertahan. Tetapi tidak bisa menanggung semua...........Mamat, Robin dan Dedek, mulai hari ini carilah kerja di luar dulu.
Untuk belanja kalian, bapak beri masing-masing Rp. 300 ribu --- dan ibu mau menanggung belanja kalian di minggu ke-empat sejak hari ini, selama tiga minggu masing-masing seratus ribu rupiah "
Anak-anak itu, bukanlah anak-anak sebenarnya. Mereka adalah kepala rumah tangga. Si Mamat beranak dua, si Robin satu, dan si Dedek ayah dari dua anak. Mereka yang tadinya menahan nafas --- menghembuskan nafas --- melepaskan beban. Terbayang hari-hari yang menakutkan. Bagaimana mencari rejeki buat anak isteri selanjutnya.
Ketiga-nya sempoyongan, dengan menggenggam uang tigaratus ribu--- alangkah mulianya hati keluarga Pak Ojo dan isterinya. Banyak dari mereka yang di-PHK begitu saja . Tanpa apa-apa, karena bossnya juga segera akan karam, kalau tidak menemukan jalan keluar.
Bagi Dedek, ia harus keluar desanya --- sudah empat tahun ia menikah belum pernah ia berpisah dengan anak istrinya. Istrinya menangis terisak-isak sewaktu empat hari lalu ia berpamitan. Ia peluk istrinya, anak-anaknya diciumi. Ini hari kelima ia menjelajahi jalan dan gang di Jakarta. Ia turun pangkat menjadi tukang sol sepatu !
Ia berteduh di bawah jembatan penyeberangan. Hujan menghalangi langkahnya --- ia merasa terharu terus sepanjang perantauannya ini. Tiap hari ia menemukan sepatu Cina yang harus diperbaiki, di-lem dan dijahit. Ia tidak mengerti mengapa orang Indonesia begitu bodoh membeli sepatu Cina yang mudah rusak.