Sebait Sajak yang Kandas dipenghujung Napas
Oleh : Mulyadi
"Jaladhi telah mengabarkan kepada merpati, bahwa hamparannya terlalu luas untuk dijelajahi. Langit pun telah bercerita pada matahari, bahwa embun pagi terlalu bening untuk menetes dari daun-daun yang gugur di musim semi. Bintang dan malam pun telah berjanji, bersama-sama menunggu pagi. Dan bukankah aku pernah berjanji,bahwa sajakku tak 'kan mati meski napasku berhembu 'tuk terakhir kali."
Itulah puisi yang tak sengaja kubaca dari lembaran buku catatanmu yang terjatuh, sejak aku bertemu denganmu.
Disaat kau dan aku menunggu kereta di peron stasiun. Perlahan aku pun mulai jatuh cinta pada puisi yang kau tulis dibuku catatanmu itu.
Arunika telah rebah dari peraduannya
berganti malam nan gulita dan keremangan bintang yang menghiasi angkasa
Burung-burung kembali terbang kesarangnya
sebab langit 'kan menemani tidurnya dengan guratan senja
Sebait aksara yang patah
Menggores seuntai benang merah di angkasa
Tawamu tak selepas hujan
yang rintiknya tak mampu dicegah
Tak lekang bersama perginya mentari dikala tenggelamnya senja
Astungkara....
Takdir Tuhan kembali mempertemukanku dengan dirimu. Ini bukanlah sebuah kebetulan,tetapi kuyakin pertemuan ini sudah digariskan oleh Sang Pengatur Kehidupan.
Sejak kutahu kau dan aku berasal dari satu almamater yang sama, semakin hari hubungan kita kian dekat saja. Kau selalu ada untuk mendengarkanku bercerita.
Kau bercerita bahwa kau mencintai puisi dalam balutan hujan dan embusan anila. Perlahan aku pun mencintai puisi dan merpati kala ia terbang mengepakkan keduasayapnya 'tuk menjelajahi setiap jengkal pesona bumi.
Bagimu hujan selalu mampu menyiratkan beribu makna, menghiasi hari-harimu dengan spektrum warna aurora. Bagiku hujan bagaikan oase sejuk nan mengaliri sahara jiwa.
Disuatu sore kau dan aku meneduhkan diri dari langit yang hendak menumpahkan amarahnya. Kau dan aku duduk di halte kampus seraya menikmati alunan gemericik hujan yang berirama merdu dijalanan waktu yang beku.
"Jelita, aku tak ingin kebersamaan ini berakhir bersama perginya mentari dikala tenggelamnya senja. Aku ingin mencintaimu hingga Sang Pencipta meluluhlantakkan alam semesta.", katamu seraya menggenggam kedua tanganku dengan mesra.
"Jangan tinggalkanku, Ta. Aku ingin kita keriput dan menua bersama. Aku yang akan menjadi kompas, yang akan selalu menunjukkanmu di mana arah utara. Dan aku yang akan menjadi nahkoda untuk kapal yang 'kan berlabuh di dermaga keabadian,yang bernama kebahagiaan.", katamu sewaktu kita menepi ke jendela, menanti tetesan hujan yang mengembun di kaca.
Aku tahu kau mencintaiku, tetapi aku masih saja mengatakan tidak. Maaf, aku tak bisa....Meski berkali-kali kau selalu mengatakannya.
"Akar-akar tak pernah menuntut dirinya menjadi pohon yang kokoh menjulang. Namun, pohon yang kuat sekalipun tak akan mampu berdiri tegak, tanpa ditopang oleh akar-akar yang perkasa. Begitupun dengan jalinan kisah kita. Aku ingin kita saling menguatkan seperti simbiosis antara akar-akar di bawah tanah. Bahu-membahu untuk menumbuhkan pohon yang bukan hanya berbuah manis dan berdaun rindang, menaungi setiap yang berteduh dari derasnya hujan. Tetapi menjadi pohon yang tumbuh kokoh dan menjulang, tak tergoyah dari tiupan angin dan gulungan badai yang menggugurkan daun-daun keringnya",katamu seraya mengulurkan selingkar cincin berbentuk hati bermata zamrud merah.
Tetapi aku terus saja berkata tidak. Aku belum mengatakan yang sebenarnya. Kau harus tahu. Aku telah dijodohkan oleh kedua orang tuaku dengan seorang lelaki yang lebih dulu kukenal dan kukagumi, jauh sebelum aku mengagumimu. Ia yang lebih dulu memberiku secercah harapan,lalu menyematkan selingkar cincin dijari manisku. Dan ia yang telah kupilih sebagai nahkoda untuk menantang lautan dan menghempas karang dalam mahligai rumah tangga. Maafkan aku, karena pernah hadirhanya untuk menggores luka disanubarimu. Meski kutahu kenyataan itu begitu pahitbagimu. Tetapi seperti katamu dulu, cinta sejati adalah cinta yang membebaskan orang yang dicintainya untuk bahagia.
"Dan kau harus menerimanya, sebab kuyakin semesta telah menggariskan kisah kita tak berujung bahagia....",kataku sedalam bentangan Danau Baikal di daratan Siberia.
Kau hanya tersenyum getir menatapku, lalu meneteskan air matamu sederas aliran Sungai Aare, yang mengalir di wilayah pegunungan Alpen di daratan Eropa. Namun aku tahu, ada sekeping hati yang remuk didalam dadamu. Aku tahu perkataanku akan menyeretmu pada kedalaman luka yang melebihi dalamnya Palung Mariana didasar Samudera Pasifik atau bahkan menenggelamkanmu pada perhelatan duka.
Aku tak ingin kisah ini usai
tetapi semesta telah menuliskan
pada lembaran daun yang gugur sehelai
cerita kita telah selesai...
Tuhan, aku rela melepasnya
meski aku hanya dapat menjaga
dan merawat kedua sayapnya
tanpa ikut terbang
bersamanya....
Pergilah!
Carilah ia yang mampu membuatmu bahagia
Cinta tak pernah salah,
Ia tahu ke mana arah pulangnya
Akulah yang salah mengartikan rasa
***
Pengkhianatan. Ya, mahligai rumah tanggaku yang kini mulai runtuh, dihempas oleh pengkhianatan dan perselingkuhan. Aku telah mencoba mempertahankan rumah tanggaku, tetapi pada akhirnya harus berakhir karam oleh cinta semu yang berlandaskan nafsu.
Kusibak lembaran kisah
dari album usang nan basah
album biru
yang kini berwarna kelabu
mengusam bersama redupnya harapku
digulung debu juga deru
oleh sang waktu
kurangkai satu demi satu
serpihan bait-bait rindu
menjadi sajak haru
dalam dekapan nestapa nan pilu
Barangkali itulah sajak yang dapat melukiskan keadaan diriku saat ini. Dua tahun kuhabiskan waktu untuk menjalani kehidupan baru bersama lelaki pilihanku itu, juga seorang anak yang kini terlahir sebagai malaikat kecil dalam rumah tanggaku. Tetapi, tak pernah kurasakan indahnya cinta seperti yang dikatakan orang-orang di luar sana. Kau benar, dia tak tulus mencintaiku dan dia bukanlah lelakiyang setia. Dia adalah lelaki kelinci yang hanya ingin menghisap habis wangi melatiku. Dan sebuah kehidupan yang kini menangis bersamaku, bayiku, juga tak mampu meluluhkan hati lelaki itu.
Diluar petir berdenyar-denyar, menyambar pepohonan dan daun-daun yang gugur terkapar. Hujan turun bagaikan ratusan anak panah, menyirami bunga-bunga ditaman dan jiwa setiap insan yang tengah bergairah. Aku berlari ke arah hujan yang tumpah paling deras, menyatukan tangisku dengan rinainya nan paripurna, seraya menyembunyikan tangis yang bisu dijalanan kota yang beku.
 Hujan yang selalu menghempas kembali ingatanku tentang dirimu. Tentang kesetiaan yang pernah kusia-siakan dan tak akan lagi kudapatkan.
Aku terus berlari menerabas hujan
Meluruhkan segala rindu bergelayut di pelupuk netra
Melebur kerinduanku
bersama derai hujan bergerilya
Menyatukan tangisku
dengan rinai hujan
nan paripurna....
Berganti bias memendar sang surya
Melukis selengkung benang putih di angkasa
Aku merindukan masa itu....
Saat kau dan aku
Menyingkapi tirai dari balik jendela
Menanti pelangi nan berpendar disepucuk senja
Sungguh, aku menyesal pernah menolak cintamu habis-habisan. Dan kini hanya tersisa penyesalan yang terukir diceruk jiwaku yang paling terdalam. Disaat aku hanya mampu menatap wajahmu untuk yang terakhir kalinya, sebelum jasadmu bersemayam didalam pusara dan jiwamu kembali ke pangkuan-Nya, bersama ketulusan cintamu yang tak akan pernah aku lupa.
Sesaat sebelum pria dari langit menggenggam jiwamu menuju nirwana, samar-samar kudengar sajakmu yang bergema di seantero semesta.
Aku akan tetap mencintaimu....
Meski selongsong peluru merobek dadaku Akua kan tetap mencintaimu....
Meski darah mengalir dikerah bajuku
Aku akan tetap mencintaimu....
Meski sejuta lukaa
kau torehkan direlung atmaku
Dan aku akan tetap mencintaimu....
Meski sukmaku telah terlepas
Dan ragaku
Tak lagi bernapas....
Petikan sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul "Aku Mampu Mencintaimu" pada antologi Kepayang(Cinta Buku Press), halaman 35.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H