Mohon tunggu...
Mutiara Rahayu
Mutiara Rahayu Mohon Tunggu... Arsitek - mahasiswa

pendidikan ekonomi fakultas ekonomi Universitas Negeri Paadang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Permasalahan Pokok Pendidikan di Indonesia

24 November 2022   09:16 Diperbarui: 24 November 2022   09:31 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2. Kuantitas

 Kuantitas merupakan input peserta didik dalam sistem pendidikan atau sekolah. Masalah ini timbul karena calon murid yang tidak tertampung di suatu sekolah, karena terbatasnya daya tampung. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Permasalahan ini mencuat terutama di SD pada tahun-tahun lampau. Tapi saat ini masalah itu sudah bisa diatasi. Sisa permasalahan ini ada pada anak-anak yang tinggal didaerah terpencil. Diharapkan (ideal): "pendidikan nasional dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan". Kenyataan (realita): "masih banyak warga negara khususnya warga usia sekolah tidak tertampung di lembaga pendidikan (sekolah) yang "ada" (Sumber: Statistik pendidikan daerah atau nasional).

 Permasalahannya ialah bagaimana sistem pendidikan dikelola sehingga dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara memperoleh pendidikan. Dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya itu diharapkan pendidikan akan semakin merata, karena merata dalam arti yang sesungguhnya tidak mungkin dicapai. Hal ini antara lain disebabkan peraturan perundang-undangan tentang wajib belajar (wajar) tidak diikuti dengan sangsi bagi yang tidak mengikutinya, karena sistem pendidikan itu sendiri belum memungkinkan untuk itu.

3. Kualitas

Kualitas pendidikan dilihat dari hasil (output) pendidikan itu sendiri. Kriteria untuk hasil ini adalah kadar ketercapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Kadar ketercapaian tujuan ini mulai dapat dilihat dari hirarki tujuan terkecil yaitu tujuan pembelajaran khusus (TPK)/indikator pencapaian hasil belajar. Kualitas ketercapaian TPK/indikator selanjutnya dapat menggambarkan ketercapaian tujuan pembelajaran umum (TPU)/kompetensi dasar. Demikian secara hirarki, sehingga dapat diketahui pula tujuan-tujuan yang lebih jauh/tinggi yaitu tujuan kurikuler (tujuan mata pelajaran/kuliah), tujuan institusional (lembaga pendidikan) dan tujuan nasional pendidikan. Tujuan-tujuan ini dibuat/ditetapkan sebelum proses pendidikan dimulai.

 Kadar ketercapaian tujuan tersebut tergantung pada unit/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tersebut. Unit terkecil yang akan menentukan tersebut ialah guru mata pelajaran (dosen mata kuliah) yang bersangkutan. Memang kadar ketercapaian tujuan tersebut sukar ditetapkan secara eksak (pasti), karena alat ukur keberhasilan seseorang anak di sekolah belum ada yang baku (standar). Adakalanya sistem penilaian ada yang menggunakan panduan acuan normal (PAN) dan acuan patokan (PAP). Rambu-rambu kadar keberhasilan (ketercapaian tujuan) secara umum dapat ditetapkan (ideal) seperti kadar pencapaian tujuan minimal 75% (menurut kurikulum sekolah), indeks prestasi (IP) minimal 2,00 untuk program S1 di Perguruan Tinggi. Walaupun kadar minimal sudah ditetapkan, tetapi pada akhirnya yang memutuskan nilai/kadar tersebut adalah si penilai (evaluator) sendiri.

            Keadaan seperti ini, menyebabkan kita mengalami kesukaran untuk menetapkan kadar mutu yang sesungguhnya (realita). Oleh sebab itu permasalahan mutu pendidikan sukar diketahui dalam arti yang sesungguhnya. Apalagi bila si penentu (evaluator) dilakukan oleh orang yang berbeda dengan kriteria yang berbeda pula maka gambar permasalahan mutu ini sesuatu yang misteri. Nilai 8 (pencapaian 80%) pada suatu sekolah tidak akan sama kadarnya dengan nilai 8 pada sekolah lain. Dengan demikian bisa terjadi bahwa di suatu sekolah mutu pendidikan tidak dipandang sebagai masalah karena antara mutu yang riil dengan yang ideal dapat diatur. Sementara secara nasional (menggunakan UAN) ternyata bermasalah. Tetapi apakah UAN sudah memberikan gambaran kualitas yang sesungguhnya?

Walaupun demikian kompleksnya permasalahan ini, secara umum dapat kita katakan bahwa dilihat dari UAN mutu pendidikan suatu daerah dapat dikatakan bermasalah, sementara daerah lain tidak. Pencapaian yang sama dengan kadar perolehan yang minimal apalagi di atasnya (100%) maka mutu tidak masalah dan sebaliknya.

4. Efisiensi

Efisiensi erat kaitannya dengan pemanfaatan segala kekuatan yang dimiliki agar tercapai misi yang rencanakan. Apabila dalam penggunaanya hemat dan cermat maka bisa disimpulkan bahwa tingkat efisiensinya tinggi. Tetapi apabila terjadi sebaliknya, maka efisiensinya dikatakan kurang. Banyak para ahli yang berpendapat sistem pendidikan Indonesia sudah bagus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Hanya saja ada beberapa area yang tidak bisa dijangkau oleh kebijakan pemerintah pusat.

 Kelemahan tersebut dapat dilihat dengan masih banyaknya peserta didik yang mengalami drop out, banyak peserta didik yang seharusnya sekolah mereka bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan orang tua. Adanya pembedaan kelas unggulan, kelas siswa berbakat dengan kelas biasa, sehingga dibutuhkan suatu sistem yang menjadikan pendidikan lebih efisien (Idris, 1992:60-61) Masalah ini meliputi : (1) kesenjangan antara lulusan dan lapangan kerja, dimana lulusan atau angkatan kerja lebih tinggi dari lapangan pekerjaan sehingga banyak yang tidak terserap; (2) Beberapa daerah masih banyak guru yang mengajar diluar bidang keahlianya dan sukarnya untuk membuat guru mau mengabdi di daerah perbatasan maupun yang minim akses ke kota juga kurangnya insentif yang diberikan; (3) Pengembangan tenaga pendidik yang kurang cepat seperti perubahan kurikulum baru, sehingga banyak guru-guru yang belum siap menerima kurikulum baru; (4) Distribusi dan penggunaan sarana pembelajaran bila tidak diimbangi dengan kemampuan yang handal dari penggunanya mengakibatkan terjadi masalah di lapangan. Kemudian perubahan kurikulum yang menyebabkan buku lama tidak terpakai. Semua ilustrasi di atas mengindikasikan bahwa pemborosan anggaran telah terjadi walaupun sukar untuk dihindari, karena pembaharuaan kurikulum adalah usaha untuk menyiapkan bahan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh luaran supaya diterima pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun