Mohon tunggu...
Mutiara Rahayu
Mutiara Rahayu Mohon Tunggu... mahasiswa

pendidikan ekonomi fakultas ekonomi Universitas Negeri Paadang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Permasalahan Pokok Pendidikan di Indonesia

24 November 2022   09:16 Diperbarui: 24 November 2022   09:31 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

1. Permasalahan pokok Pendidikan di Indonesia

A. Pemerataan

B.  Kuantitas

C.  Kualitas

D.  EfisiensI

E.  Efektivitas

F.  Relevansi

G. Tenaga pendidik dan tenaga Kependidikan

1. Pemerataan

Isu-isu masalah pemerataan pendidikan berkaitan dengan sistem pendidikan seyogyanya menyiapkan peluang yang sangat besar bagi seluruh masyarakat agar dapat mengakses pendidikan, yang mana mampu menjadi tempat bagi keberlanjutan peningkatan SDM di Indonesia. Menurut Wayan (1992) pemerataan pendidikan yang berkaitan dengan mutu proses dan hasil pendidikan belumlah merata di Indonesia. Masih banyak terdapat gap yang cukup besar pada penyelenggaraan pembelajaran pendidikan baik di kota maupun di desa, lebih khusus lagi bila dibandingkan daerah Jawa dan daerah Timur Indonesia. 

Apabila diamati lebih seksama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir masih dirasa belum berhasil Pendidikan secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar sebagaimana pendapat Idris (1992:61-62) yang mana banyak peserta didik mempunyai kemampuan yang sedang/kurang dalam hasil belajar. 

Pasal 10 Ayat 2 : "belajar di sekolah beragama yang telah mendapatkan pengakuan dari mentri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar" Urgensi pemerataan pendidikan menjadi isu yang menarik, karena apabila anakanak yang seharusnya mengenyam pendidikan, di tingkat sekolah dasar, maka siswa tersebut mempunyai kemampuan berupa membaca, menulis dan berhitung. Dengan demikian ia mampu mengikuti tidak akan tertinggal dengan kemajuan zaman, mereka menjadi mandiri dan tidak menjadi penghambat dari pembangunan Indonesia. 

Pada tingkat pendidikan dasar, kebijakan yang berkaitan dengan tersedianya akses pendidikan yang mempertimbangkan aspek kuantitatif, sebab seluruh masyarakat perlu diberikan materi pemahaman yang seimbang. Jika dilihat dengan seksama untuk jenjang pendidikan menengah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi, kebijakan pemerintah berkaitan dengan pembangunan kualitatif dan relevansi, yang berhubungan dengan minat dan bakat siswa, dimana kebutuhan lapangan kerja dan untuk pengembangan kebudayaan, dan teknologi terbarukan. Namun dalam perkembangan yang terjadi pada dewasa ini, terjadi ketidak seimbangan antara jumlah lembaga pendidikan dengan peserta didiknya, antara sekolah umum dan sekolah kejuruan pada masing masing tingkat satuan pendidikan, padahal sekolah kejuruan seharusnya lebih banyak dari pada sekolah umum karena pembangunan membutuhkan kader kader yang cerdas dan terampil, yang hal ini dapat ditangani melalui pendidikan kejuruan, dan ketidak seimbangan juga terlihat pada adanya perbandingan jumlah yang mencolok antara SD, SMP dan SMA. Lembaga SD jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah lembaga SMP dan SMA.

Di sisi lain adanya upaya untuk pemerataan pendidikan melalui pendidikan luar kelas berkembang cukup pesat, dalam hal ini ada dua faktor yang menjadi pemicu hal tersebut. Pertama perkembangan IPTEK yang memberikan alternatif bagi masyarakat dan kedua konsep pendidikan sepanjang hayat yang tidak membatasi usia dari peserta didik dan tidak terbatas pada dinding ruangan kelas yang mana hal ini dapat memberi akses yang luas bagi masyarakat dalam menikmati kesempatan belajar. Ada banyak cara dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan. Mulai dari cara konvensional sampai dengan cara inovatif. Adapun untuk cara tradisonal pemerintah dapat melakukan: Pertama dengan membangun gedung sekolah dan ruang belajar dan kedua memanfaatkan sekolah dengan sistem double sift (siswa dibagi kelas pagi dan sore). Adapun cara kedua yaitu cara inovatif dengan membangun sistem pamong (pendidikan bekerjasama dengan masyarakat), membangun sekolah di daerah terpencil dan mengirimkan guru-guru untuk mendidik didaerah tersebut (pola SM3T), pola pendekatan rumah (guru mendatangi rumah siswa), Program Kejar Paket, Pembelajaran jarak jauh seperti yang diterapkan pada Universitas Terbuka. Berkenaan dengan solusi di atas yang lebih penting dan utama adalah bagaimana menumbuhkan dan membangkitkan kemauan belajar dari peserta didik, baik masyarakat maupun keluarga yang kurang mampu supaya semangat dan terus terpacu untuk membuat anak-anak mereka agar tetap bisa sekolah. Pemecahan masalah pemerataan pendidikan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan cara inovatif. Cara konvensional antara lain:

a. Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar.

b. Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore) Cara inovatif antara lain:

a. Sistem PAMONG (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau Impacts system (Instructional Management by Parent, Community and, Teacher). sistem tersebut dirintis di Solo dan di diseminasikan ke beberapa provinsi :.

1) SD Kecil pada daerah terpencil.

2) Sistem Guru Kunjung.

3) SMP Terbuka dan SMAT (ISOSA _ In School Out off School Approach),

4) Kejar Paket A dan B.

5) Belajar Jarak Jauh, seperti Universitas Terbuka.

2. Kuantitas

 Kuantitas merupakan input peserta didik dalam sistem pendidikan atau sekolah. Masalah ini timbul karena calon murid yang tidak tertampung di suatu sekolah, karena terbatasnya daya tampung. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Permasalahan ini mencuat terutama di SD pada tahun-tahun lampau. Tapi saat ini masalah itu sudah bisa diatasi. Sisa permasalahan ini ada pada anak-anak yang tinggal didaerah terpencil. Diharapkan (ideal): "pendidikan nasional dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan". Kenyataan (realita): "masih banyak warga negara khususnya warga usia sekolah tidak tertampung di lembaga pendidikan (sekolah) yang "ada" (Sumber: Statistik pendidikan daerah atau nasional).

 Permasalahannya ialah bagaimana sistem pendidikan dikelola sehingga dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara memperoleh pendidikan. Dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya itu diharapkan pendidikan akan semakin merata, karena merata dalam arti yang sesungguhnya tidak mungkin dicapai. Hal ini antara lain disebabkan peraturan perundang-undangan tentang wajib belajar (wajar) tidak diikuti dengan sangsi bagi yang tidak mengikutinya, karena sistem pendidikan itu sendiri belum memungkinkan untuk itu.

3. Kualitas

Kualitas pendidikan dilihat dari hasil (output) pendidikan itu sendiri. Kriteria untuk hasil ini adalah kadar ketercapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Kadar ketercapaian tujuan ini mulai dapat dilihat dari hirarki tujuan terkecil yaitu tujuan pembelajaran khusus (TPK)/indikator pencapaian hasil belajar. Kualitas ketercapaian TPK/indikator selanjutnya dapat menggambarkan ketercapaian tujuan pembelajaran umum (TPU)/kompetensi dasar. Demikian secara hirarki, sehingga dapat diketahui pula tujuan-tujuan yang lebih jauh/tinggi yaitu tujuan kurikuler (tujuan mata pelajaran/kuliah), tujuan institusional (lembaga pendidikan) dan tujuan nasional pendidikan. Tujuan-tujuan ini dibuat/ditetapkan sebelum proses pendidikan dimulai.

 Kadar ketercapaian tujuan tersebut tergantung pada unit/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tersebut. Unit terkecil yang akan menentukan tersebut ialah guru mata pelajaran (dosen mata kuliah) yang bersangkutan. Memang kadar ketercapaian tujuan tersebut sukar ditetapkan secara eksak (pasti), karena alat ukur keberhasilan seseorang anak di sekolah belum ada yang baku (standar). Adakalanya sistem penilaian ada yang menggunakan panduan acuan normal (PAN) dan acuan patokan (PAP). Rambu-rambu kadar keberhasilan (ketercapaian tujuan) secara umum dapat ditetapkan (ideal) seperti kadar pencapaian tujuan minimal 75% (menurut kurikulum sekolah), indeks prestasi (IP) minimal 2,00 untuk program S1 di Perguruan Tinggi. Walaupun kadar minimal sudah ditetapkan, tetapi pada akhirnya yang memutuskan nilai/kadar tersebut adalah si penilai (evaluator) sendiri.

            Keadaan seperti ini, menyebabkan kita mengalami kesukaran untuk menetapkan kadar mutu yang sesungguhnya (realita). Oleh sebab itu permasalahan mutu pendidikan sukar diketahui dalam arti yang sesungguhnya. Apalagi bila si penentu (evaluator) dilakukan oleh orang yang berbeda dengan kriteria yang berbeda pula maka gambar permasalahan mutu ini sesuatu yang misteri. Nilai 8 (pencapaian 80%) pada suatu sekolah tidak akan sama kadarnya dengan nilai 8 pada sekolah lain. Dengan demikian bisa terjadi bahwa di suatu sekolah mutu pendidikan tidak dipandang sebagai masalah karena antara mutu yang riil dengan yang ideal dapat diatur. Sementara secara nasional (menggunakan UAN) ternyata bermasalah. Tetapi apakah UAN sudah memberikan gambaran kualitas yang sesungguhnya?

Walaupun demikian kompleksnya permasalahan ini, secara umum dapat kita katakan bahwa dilihat dari UAN mutu pendidikan suatu daerah dapat dikatakan bermasalah, sementara daerah lain tidak. Pencapaian yang sama dengan kadar perolehan yang minimal apalagi di atasnya (100%) maka mutu tidak masalah dan sebaliknya.

4. Efisiensi

Efisiensi erat kaitannya dengan pemanfaatan segala kekuatan yang dimiliki agar tercapai misi yang rencanakan. Apabila dalam penggunaanya hemat dan cermat maka bisa disimpulkan bahwa tingkat efisiensinya tinggi. Tetapi apabila terjadi sebaliknya, maka efisiensinya dikatakan kurang. Banyak para ahli yang berpendapat sistem pendidikan Indonesia sudah bagus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Hanya saja ada beberapa area yang tidak bisa dijangkau oleh kebijakan pemerintah pusat.

 Kelemahan tersebut dapat dilihat dengan masih banyaknya peserta didik yang mengalami drop out, banyak peserta didik yang seharusnya sekolah mereka bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan orang tua. Adanya pembedaan kelas unggulan, kelas siswa berbakat dengan kelas biasa, sehingga dibutuhkan suatu sistem yang menjadikan pendidikan lebih efisien (Idris, 1992:60-61) Masalah ini meliputi : (1) kesenjangan antara lulusan dan lapangan kerja, dimana lulusan atau angkatan kerja lebih tinggi dari lapangan pekerjaan sehingga banyak yang tidak terserap; (2) Beberapa daerah masih banyak guru yang mengajar diluar bidang keahlianya dan sukarnya untuk membuat guru mau mengabdi di daerah perbatasan maupun yang minim akses ke kota juga kurangnya insentif yang diberikan; (3) Pengembangan tenaga pendidik yang kurang cepat seperti perubahan kurikulum baru, sehingga banyak guru-guru yang belum siap menerima kurikulum baru; (4) Distribusi dan penggunaan sarana pembelajaran bila tidak diimbangi dengan kemampuan yang handal dari penggunanya mengakibatkan terjadi masalah di lapangan. Kemudian perubahan kurikulum yang menyebabkan buku lama tidak terpakai. Semua ilustrasi di atas mengindikasikan bahwa pemborosan anggaran telah terjadi walaupun sukar untuk dihindari, karena pembaharuaan kurikulum adalah usaha untuk menyiapkan bahan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh luaran supaya diterima pasar.

Pendidikan dikatakan efisiensi (ideal) apabila penyelenggaraan pendidikan tersebut hemat waktu, tenaga, dan biaya tetapi produktivitas (hasil) optimal. Pendidikan dikatakan efisiensi bila pendayagunaan sumber daya yang ada (waktu, tenaga, biaya) tepat sasaran. Kadar efisiensi itu tentu tergantung pada pemberdayaan sumber daya tersebut. Bila yang terjadi misalnya tidak hemat (boros) waktu, biaya dan tenaga tidak berfungsi secara optimal maka kadar efisiensi rendah (tidak/kurang efisien). kadar efisiensi itu di lapangan (realita)? Hal ini ditentukan oleh keadaan pendayagunaan Ketiga kriteria seperti disebutkan terdahulu. Bila penyelenggaraan pendidikan tidak/kurang memfungsikan tenaga yang ada, sementara waktu kurang dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga banyak yang terbuang sia-sia, apalagi biaya yang dikeluarkan banyak maka kadar efisiensi rendah (kurang efisien). Analisis seperti ini dapat diarahkan pada unsurunsur terkecil dari ketiga kriteria tersebut. Misalnya apakah waktu digunakan sesuai jadwal/rencana, apakah guru mengajar atau dosen memberi kuliah minimal sama dengan jam wajib mengajar setara dengan pegawai negeri. Demikian pula analisis dapat dilakukan dari unsur-unsur makro sehingga dapat diketahui efisiensi secara nasional.

5. Efektivitas

Pendidikan dikatakan efektif (ideal) ialah bila hasil yang dicapai sesuai dengan rencana/program yang dibuat sebelumnya (tepat guna). Bila rencana mengajar (persiapan mengajar) yang dibuat oleh guru atau silabus/SAP yang dibuat dosen sebelum mengajar/memberi kuliah terlaksana secara utuh dengan sempurna, maka pelaksanaan perkuliahan tersebut dikatakan efektif. Sempurna disini meliputi semua komponen perencanaan seperti tujuan, materi/bahan, strategi dan evaluasi. Sebaliknya, dikatakan kurang efektif bila komponenkomponen rencana tidak terlaksana dengan sempurna, misalnya tujuan tidak tercapai semua, materi tidak tersajikan semua, strategi belajar mengajar tidak tepat, evaluasi tidak dilakukan sesuai rencana.

6. Relevansi

Masalah relevansi berkaitan erat dengan sistem pendidikan dan pembangunan secara umum serta kepentingan perseorangan, masyarakat secara jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah ini membahas seberapa dalam sistem pendidikan bisa menciptakan karya yang cocok dengan keberlangsungan suatu proses pembangunan. Apabila sistem pendidikan menghasilkan output yang dibutuhkan di semua lini pembangunan, bisa berhubungan langsung ataupun tidak dengan permintaan dunia kerja maka kualitas luaran yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka tingkat kebutuhan tersebut sesuai dengan yang dibangun oleh lembaga. Apabila dilihat dengan seksama, dalam membangun sebuah sekolah pasti dilandaskan kebutuhan yang riil dan selaras dengan pembangunan nasional, dan melihat juga kearifan lokal di masing-masing daerah (Idris, 1992:60) Pada umumnya kriteria relevansi yang disebutkan diatas cukup ideal apabila dihubungkan dengan keadaan yang ada di Indonesia dimana: (1) kKualitas lembaga pendidikan masih bervariasi; (2) Sistem pendidikan kita banyak yang menciptakan output yang siap diterima di dunia kerja; (3)Belum dimilikinya roadmap kebijakan kebutuhan tenaga kerja yang mana dapat dipakai untuk menyiapkan lulusan yang bisa diterima di dunia kerja pendidikan dikatakan relevan (ideal) ialah bila sistem pendidikan dapat menghasilkan output (keluaran) yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Kesesuaian (relevansi) tersebut meliputi/mencakup kuantitas (jumlah) ataupun kualitas (mutu) output tersebut. Selanjutnya kesesuaian tersebut hendaknya mempunyai tingkat keterkaitan (link) dan kesepadanan (match).

Pendidikan dikatakan tidak atau kurang relevan ialah bila tingkat kesesuaian tersebut tidak ada/kurang. Kadar permasalahan ditentukan oleh tingkat kesesuaian antara sistem pendidikan dengan kebutuhan masyarakat pembangunan tersebut. Bila tingkat kesesuaian tinggi maka pendidikan dikatakan relevan. Permasalahan akan semakin besar/rumit bila tingkat kesesuaian tersebut rendah.

7. Permasalahan Khusus Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Paradigma sekolah sudah banyak berkembang dari dulu hingga saat ini. Dulu sebuah sekolah sudah bisa menjalankan kegiatan pembelajaran apabila terdapat siswa, guru dan ruangan untuk proses pembelajaran dengan peralatan dan sarpras seadanya. Guru juga dijadikan sebagai sumber utama. Ia dijadikan sebagai sumber ilmu. Tugasnya mengalirkan pengetahuan ke siswa. Hal tersebut untuk saat ini sudah sudah tidak relevan dimana tugas guru sudah tidak menjadi penceramah yang harus selalu berdiri di depan siswa dan menjelasakan materi semua. Melainkan peran guru sudah berubah dimana tugas guru menjadi fasilitator, mediator motivator guna menumbuhkan kreativitas dan daya imajinasi yang bagus siswa.

Peraturan Menteri Pendidikan dengan membangkitkan budaya baca patut diberi apresiasi dimana siswa pada jam pertama dianjurkan untuk membaca buku bacaan apa saja. Sumber belajar bisa ditemukan dimana saja sehingga guru bukanlah menjadi perpustakaan berjalan, proses mendapatkan pengetahuan bisa didapat dari siswa sendiri pada saat mereka mengakses informasi dari berbagai media yang ada mulai dari lingkungan sekitar maupun melalui internet. Sebagaimana pendapat Cornelius (dalam Sadler 2013) yang mengungkapkan bahwa "alam adalah buku besar yang sangat lengkap isinya". Masalah penempatan guru, khususnya dalam penempatan studi, sering mengalami permasalahan yaitu guru ditempatkan tidak sesuai dengan bidangnya. Sebagai contoh ada sekolah yang diberikan guru baru tetapi untuk mata pelajaran yang bersangkutan sudah penuh dan beliau harus mengajar mata pelajaran lain diluar keahliannya. Ada juga guru yang merangkap mengajar misalnaya guru Matematika juga mengajar kesenian. Dalam hal ini, seorang guru yang seharusnaya mengajar sesuai dengan bidang studinya, karena terbatasnya tenaga pendidik (guru), seorang guru harus mengajar bukan dengan bidangnya. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya tugas seorang guru. Multi peran seorang guru yaitu: melakukan interaksi dan pendeketan khusus dengan siswanya. Perhatian kepada siswa secara klasikal dan individu harus dikuasai oleh guru, dimana tugas guru pada saat memberikan motivasi dan mengarahkan siswa tidak boleh memilih siswa tertentu misalkan guru hanya memperhatikan siswa yang pandai, sementara siswa yang kurang pandai tidak diperhatikan.

Guru hendaknya memberikan perhatian yang sama dengan selalu menanamkan rasa tanggung jawab, disiplin, percaya diri, menghargai pendapat teman dan pendidikan karakter lainnya. Dalam segi pembelajaran guru diharapkan dapat: sebagai pengembil keputusan dalam pembelajaran (sebagai manager), memberikan arah pembelajaran (director), mengorganisasi kegiatan pembelajaran (organisator), mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran (koordinator), mengkomunikasikan murid dengan berbagai sumber belajar (komunikator), menyediakan dan memberikan kemudahan-kemudahan belajar (fasilitator), memberikan dorongan belajar (stimulator). Kebanyakan guru belum mampu untuk melakukan multi perannya itu karena kebanyakan sekolah, guru adalah pejuang tunggal, yaitu guru merupakan sumber belajar, sebagai pusat tempat bertanya dan juga penempatan guru yang tidak sesuai dengan bidangnya sehingga banyak guru yang merangkap mengajar. Oleh karena itu tugas guru semakin bertambah sehingga guru tidak memiliki waktu untuk melakukan multi perannya itu. Guru tidak mungkin seorang diri melayaninya. Sebagaimana hasil penelitian dari Ismail (2010) yang menyatakan bahwa guru haruslah memiliki standar kompetensi yang dipersyaratkan dalam undang-undang guru dan dosen agar mendapat sertifikasi dan menjadi guru yang profesional. Menurut Woolfolk (1984) guru dikatakann berhasil dalam mengajar apabila menguasi berbagai metode pembelajaran dan mengetahui bahan ajar serta pengelolaan kelas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun