Tak sedikit orang yang mengatakan kalimat demikian saat saya beropini mengenai bersedekah. Jujur saja, saya pernah kesal dengan oknum pengemis yang ternyata mampu.
Pengalaman itu terjadi ketika saya masih menjadi mahasiswa baru di sebuah kampus di Jogja. Sebagai orang yang masih awam terhadap lingkungan sekitar, saya terlalu polos menilai orang.
Jadi, sore itu saya bertemu dengan seorang ibu yang mengaku membutuhkan uang karena anaknya sakit. Ibu tersebut terlihat lusuh dan sangat membuat iba sampai-sampai saya sedih melihatnya.
Saya yang waktu itu membawa uang sekitar Rp 10.000 akhirnya memberikan uang tersebut ke si ibu. Saya cuma bisa menolongnya dengan uang seadanya karena waktu itu uang bulanan belum cair.
Beberapa tahun kemudian, di tempat yang berbeda, saya bertemu dengan ibu itu lagi saat makan di kawasan Taman Kuliner UNY dan dia meminta uang dengan modus cerita yang sama, anaknya sakit sehingga membutuhkan biaya berobat.
Kontan, saya jadi merasa terkejut dan mulai curiga bahwa itu merupakan modus si ibu untuk menarik simpati. Dan benar saja, menurut penjual makanan tempat saya nongkrong, ibu tersebut sebenarnya punya.Â
Setiap selesai mengemis, ia akan dijemput oleh putranya menggunakan motor bagus. Dan kabarnya, si ibu juga pemiliki kos-kosan. Penjual makanan yang bercerita ternyata pernah bertetangga sebelumnya dengan si ibu tersebut. Weleh...weleh.
Sejak saat itu, saya cukup kecewa dengan perilaku-perilaku semacam itu. Terserah apabila ada orang yang berkata,
"Kamu gak ikhlas bersedekah berarti, Ra!"Â
AtauÂ
"Sedekah itu urusanmu sama Allah, biarkan ibu itu yang bertanggungjawab atas dirinya"