Beberapa waktu lalu ketika saya sedang menonton ulasan pers di televisi mengenai  Covid-19, tiba-tiba bapak nyeletuk,
"Ini Korona kok makin ngeri aja ya, bikin bangkrut dimana-mana. Apa uangmu dan adik-adik di bank gak sebaiknya di ambil semua aja, Nduk?"
Mulanya saya bingung kenapa mendadak bapak menyuruh kami untuk menarik uang di bank. Pikir saya, menabung ya menabung saja, apa hubungannya dengan Korona sehingga harus diambil. Kecuali jika saya memang sedang membutuhkannya.Â
Ternyata eh ternyata, bapak dapat sebaran informasi via whatsapp. Menurut kabar yang beredar, apabila pandemi Korona tak segera berakhir, beberapa bank milik negara bakal bangkrut karena mengeluarkan banyak uang untuk penanganan dampak virus tersebut.
Kontan, pesan itu membuat bapak kepikiran. Apalagi beliau tahu bahwa saya dan adik-adik memiliki simpanan uang di bank. Mungkin yang ada di pikiran beliau, bank akan kehabisan uang, lantas dana milik nasabah tidak bisa kembali akibat terpakai dalam jumlah yang besar. Sungguh, pengaruh hoaks memang mengerikan!
Mendapati berita hoaks bukan kali pertama bagi bapak dan semua orang di rumah. Sebelumnya, ketika memasuki masa-masa pemilu presiden, kami sering mendapat sebaran berita yang berisi konten bias dan kontroversial. Pesan tersebut tersebar dari satu grup ke grup lainnya.
Masalahnya, tak semua orang mampu skeptis dan memfilter tiap informasi yang diterima. Seperti bapak misalnya yang langsung percaya, menganggap bahwa info tersebut benar. Tak pelak, perilaku tersebut pernah memunculkan perdebatan kecil di keluarga.
Sejak Korona merebak, bapak juga kerap mendapat informasi yang kurang jelas validitasnya, entah melalui facebook atau pesan berantai di whatsapp. Kabar mengenai kebangkrutan bank tadi salah satunya. Saya bisa saja menjelaskan bahwa bank tak akan semudah itu bangkrut. Namun, menjelaskan dengan istilah-istilah ekonomi yang njelimet pada orangtua, tentu saja bukan pilihan yang bijak.
Untuk mempermudah, saya hanya menjelaskan pada beliau bahwa tiap bank dijamin oleh lembaga bernama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sehingga dana nasabah akan aman, bahkan ketika bank mengalami masalah likuiditas.
Ketakutan bapak akan gejolak yang terjadi sesungguhnya cukup wajar. Seperti apapun beliau pernah merasakan dampak dari krisis tahun 1998 yang membuat setiap orang keteteran. Mungkin beliau takut jika krisis tersebut terulang kembali akibat Korona. Tentu saja, tiap orang tak mau mengalami kembali masa-masa sulit itu bukan?
Nah, yang perlu saya garis bawahi pada artikel ini adalah lebih pada emosi yang bapak munculkan saat menerima sebaran informasi via medsos. Bagaimana jika tiap orang di Indonesia ini seperti beliau? Mudah merasa panik, lantas secara tak langsung menyebarkan rasa takut pada oranglain.Â
Bukankah itu bisa menjadi masalah? Masih mending bapak mengajak diskusi keluarga sehingga saya---sebagai orang yang skeptis---bisa meluruskan informasi sebisa mungkin melalui berbagai referensi dan menggunakan bahasa lebih awam. Tapi bagaimana dengan keluarga lain?
Tak heran apabila tindakan panic buying dan rush money bisa terjadi. Itu dimulai dari rasa panik berlebihan yang menyebar pada tiap individu. Parahnya, kepanikan itu diamini oleh banyak orang. Layaknya permainan domino, itu menjalar hingga meruntuhkan logika penerimanya.
Tak bisa dipungkiri bahwa ekonomi dan keuangan merupakan sektor yang sangat terpukul akibat melambatnya aktivitas masyarakat selama pandemi. Bisa dilihat dengan berita PHK yang merajai media, industri-industri yang mengalami kontraksi, UMKM banyak yang lumpuh, nilai tukar rupiah melemah, GDP merosot, hingga kegiatan ekpor-impor yang terganggu.
Sungguh, pikiran saya dan keluarga sempat dibuat kacau oleh pandemi Korona yang tak kunjung berakhir. Setiap orang berada dalam kegamangan itu nyata adanya. Namun demikian, panik, menyalahkan atau marah-marah, rasanya bukan tindakan solutif yang bisa kita lakukan. Mau tak mau, kita harus berpikir cerdas untuk menghadapi ketidakpastian yang terjadi.
Melalui artikel ini, saya tak akan menjelaskan istilah-istilah ekonomi berat yang berhubungan dengan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) seperti kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, moneter, fiskal, risiko sistemik, countercyclical, vulnerability, LTV ratio, NPL dan lain sebagainya.Â
Tentu saja tak semua orang akan memahami istilah tersebut. Lha wong saya saja yang pernah mempelajarinya di bangku kuliah, harus utak-atik kembali buku dan membaca banyak referensi, apalagi masyarakat biasa yang babar blas tak pernah mempelajarinya.
Menyoal urusan kebijakan beristilah berat, biar pemerintah dan otoritas terkait saja yang memikirkannya. Kita cukup memahami secara general sesuai kemampuan. Ibarat pepatah "Banyak jalan lain menuju ke Roma", kita masih bisa berikthiar menjaga SSK dengan cara yang lain.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan supaya mampu menjaga SSK di tengah kondisi seperti ini? Jawabannya sederhana, mulailah menerapkan perilaku-perilaku cerdas dari ranah keluarga.
Makna dan Andil Keluarga dalam Menjaga SSK
Ketika mencari makna dari keluarga, mungkin jawaban umum yang bisa kita temukan adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Saling bergantung satu sama lain. Yap, kuncinya ada pada kalimat itu. Pada hakikatnya keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anggota keluarga---Â utamanya anak-anak--- untuk tumbuh dan berkembang. Tak heran berbagai tindakan mereka bermula dari habits atau kebiasaan yang keluarga tularkan.
Saat ini total penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 267 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar tentu saja akan terbagi menjadi puluhan juta kepala keluarga.
Asumsinya, apabila tiap keluarga mampu berperilaku cerdas dan menularkan kebiasaan baik, itu berpengaruh pada kestabilan emosi yang terbentuk di masyarakat. Secara tidak langsung kestabilan emosi itu mendukung kelancaran aktivitas ekonomi negeri. Nah, berikut merupakan perilaku cerdas yang bisa diterapkan dalam keluarga.
1. Menjaga kewarasan dengan memilah berita.
Adanya kondisi seperti sekarang ini, berita valid dan netral sangat dibutuhkan. Sebab, informasi sangat berpengaruh pada keputusan-keputusan yang bisa diambil oleh individu. Seperti bapak yang menerima sebaran informasi via WA, itu mempengaruhi perspektif dan tindakan yang bisa beliau lakukan. Demi menjaga kewarasan dari berita-berita hoaks, sudah saatnya memilah tontonan dan bacaan.
Berita hoaks bisa saja didapatkan bapak, ibu, adik, nenek, kakak atau bahkan dirimu sendiri. Saling berdiskusi dan bertukar literasi mengenai pencegahan hoaks perlu dilakukan. Kita bisa memulainya dengan perbincangan ringan ketika sedang berkumpul bersama keluarga. Jangan lupa, modali dulu dengan banyak referensi sehingga tidak terjadi perdebatan. Tak lupa, sampaikan informasi dengan bahasa yang mudah dimengerti.
2. Jangan sungkan membantu orang lain
Beberapa waktu lalu saat membuka instagram, saya menemukan teman-teman kompasianer Jogja berinisiatif mendukung UMKM lewat "Donasi Posting". Jadi mereka membantu mempromosikan produk-produk UMKM lewat media sosial masing-masing dan itu sifatnya sukarela. Tindakan ini simpel sebenarnya, tapi cukup membantu beberapa UMKM terdampak Korona, sebab kita tahu UMKM termasuk sektor yang mengalami kerugian akibat hadirnya virus tersebut.
Kita juga bisa mengarahkan keluarga untuk membeli produk-produk UMKM di lingkungan kita. Minimal, membeli di warung-warung kecil juga baik untuk menumbuhkan solidaritas menjaga ekonomi masyarakat menengah kebawah. Seperti apapun, keputusan membeli sebuah produk bergantung dari kesepakatan anggota keluarga, bukan?
3. Hindari berhutang
Masih ingat dengan cerita karyawan yang bergaji Rp 80 juta namun pada akhirnya ia keteteran setelah di PHK dari kantornya? Dia yang gajinya sebesar itu saja merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi kita yang biasa-biasa.
Diketahui orang tersebut memiliki hutang yang cukup banyak sehingga gaji Rp 80 juta habis untuk membayar cicilan. Berkaca dari kasus itu, sangat disarankan keluarga menghindari berhutang di waktu seperti sekarang ini, apalagi untuk pembelian barang tersier.
Ditakutkan ketika nekat berhutang, kita mengalami kesulitan saat membayar. Pada akhirnya, keuangan keluarga menjadi sangat down. Imbasnya apa? Psikologis tiap anggota keluarga menjadi terganggu dan memunculkan tindakan blaming atau kemarahan yang tak terkontrol. Ujung-ujungnya, kita mudah menyalahkan pemerintah yang dianggap kurang becus menangani dampak Korona.
4. Melakukan investasi yang menguntungkan
Jangan takut berinvestasi demi masa depan. Saat ini investasi itu banyak macamnya. Ada yang berupa tabungan, reksadana, investasi emas, deposito atau membeli saham. Kita bisa memilih investasi yang dirasa paling aman seperti membeli emas atau menabung. Satu hal pasti ketika melakukan investasi, jangan pernah takut dengan isu-isu keuangan yang beredar.Â
Seperti akhir-akhir ini, banyak orang berspekulasi  dengan menjual saham karena takut harganya merosot. Itu memang hak setiap orang. Namun alangkah baiknya, kita melakukan redeeming produk investasi bukan karena panik, tapi karena membutuhkan. Di sisi keuangan negara, iklim investasi yang stabil mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negara.
5. Mendukung kebijakan dan hindari sikap menyalahkanÂ
Pemerintah dan tiap otoritas (KSSK) tengah mengupayakan kestabilan ekonomi melalui paket kebijakan berdasar Perppu No.1 Tahun 2020. Sebagai satuan terkecil dalam masyarakat, tugas keluarga adalah mendukung upaya-upaya baik tersebut. Misalnya dengan menerapkan secara bahagia kebijakan PSBB, Phisical distancing, Work from Home, kebijakan penggunaan non tunai, dan kebijakan lainnya sehingga makroprudensial aman terjaga.
Hindarilah perilaku panik dan menyalahkan dengan menyebarkan rumor-rumor yang bersifat negatif di media sosial. Â Bukankah kita sering menemukan trending-trending di media sosial yang bersifat negatif? Tak disangkal, dalam mengontrol penggunaan media sosial, peran anggota keluarga sangat dibutuhkan.
Baiklah, itu dia beberapa perilaku cerdas yang bisa diterapkan anggota keluarga demi menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Mungkin upaya semacam itu tak terlihat pengaruhnya secara langsung bagi perekonomian, namun, kewarasan masyarakat dan dukungan penuh menjadi kekuatan utama bagi sebuah negara untuk bangkit. Kita satu Indonesia, harus kolaboratif mendukung upaya-upaya yang baik.
Pernah dengar bahwa "Persatuan dan kesatuan" menjadi senjata terampuh mengusir penjajah? Benar, senjata itu pulalah yang kita butuhkan sekarang ini. Dan tentunya, itu bisa kita bentuk dari ranah keluarga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H