Ketakutan bapak akan gejolak yang terjadi sesungguhnya cukup wajar. Seperti apapun beliau pernah merasakan dampak dari krisis tahun 1998 yang membuat setiap orang keteteran. Mungkin beliau takut jika krisis tersebut terulang kembali akibat Korona. Tentu saja, tiap orang tak mau mengalami kembali masa-masa sulit itu bukan?
Nah, yang perlu saya garis bawahi pada artikel ini adalah lebih pada emosi yang bapak munculkan saat menerima sebaran informasi via medsos. Bagaimana jika tiap orang di Indonesia ini seperti beliau? Mudah merasa panik, lantas secara tak langsung menyebarkan rasa takut pada oranglain.Â
Bukankah itu bisa menjadi masalah? Masih mending bapak mengajak diskusi keluarga sehingga saya---sebagai orang yang skeptis---bisa meluruskan informasi sebisa mungkin melalui berbagai referensi dan menggunakan bahasa lebih awam. Tapi bagaimana dengan keluarga lain?
Tak heran apabila tindakan panic buying dan rush money bisa terjadi. Itu dimulai dari rasa panik berlebihan yang menyebar pada tiap individu. Parahnya, kepanikan itu diamini oleh banyak orang. Layaknya permainan domino, itu menjalar hingga meruntuhkan logika penerimanya.
Tak bisa dipungkiri bahwa ekonomi dan keuangan merupakan sektor yang sangat terpukul akibat melambatnya aktivitas masyarakat selama pandemi. Bisa dilihat dengan berita PHK yang merajai media, industri-industri yang mengalami kontraksi, UMKM banyak yang lumpuh, nilai tukar rupiah melemah, GDP merosot, hingga kegiatan ekpor-impor yang terganggu.
Sungguh, pikiran saya dan keluarga sempat dibuat kacau oleh pandemi Korona yang tak kunjung berakhir. Setiap orang berada dalam kegamangan itu nyata adanya. Namun demikian, panik, menyalahkan atau marah-marah, rasanya bukan tindakan solutif yang bisa kita lakukan. Mau tak mau, kita harus berpikir cerdas untuk menghadapi ketidakpastian yang terjadi.
Melalui artikel ini, saya tak akan menjelaskan istilah-istilah ekonomi berat yang berhubungan dengan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) seperti kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, moneter, fiskal, risiko sistemik, countercyclical, vulnerability, LTV ratio, NPL dan lain sebagainya.Â
Tentu saja tak semua orang akan memahami istilah tersebut. Lha wong saya saja yang pernah mempelajarinya di bangku kuliah, harus utak-atik kembali buku dan membaca banyak referensi, apalagi masyarakat biasa yang babar blas tak pernah mempelajarinya.
Menyoal urusan kebijakan beristilah berat, biar pemerintah dan otoritas terkait saja yang memikirkannya. Kita cukup memahami secara general sesuai kemampuan. Ibarat pepatah "Banyak jalan lain menuju ke Roma", kita masih bisa berikthiar menjaga SSK dengan cara yang lain.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan supaya mampu menjaga SSK di tengah kondisi seperti ini? Jawabannya sederhana, mulailah menerapkan perilaku-perilaku cerdas dari ranah keluarga.
Makna dan Andil Keluarga dalam Menjaga SSK