Mohon tunggu...
Mutiara Margaretha Yaletha
Mutiara Margaretha Yaletha Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - makhluk hidup yang menempati sepetak tanah

be myself and here i am •.• kawasan bebas polusi

Selanjutnya

Tutup

Diary

PKL Story 3: Bayi Lapar, Ibu Acuh, dan Ayah yang Bingung

30 Desember 2024   11:57 Diperbarui: 30 Desember 2024   11:57 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi (Sumber: Meta Ai)

Di rumah sakit yang tenang, Tia dan Dinda tengah menjalani dinas malam mereka. Udara sejuk menyelimuti lorong-lorong panjang rumah sakit, dan suara beep mesin-mesin medis menjadi satu-satunya pengiring keheningan malam. Tiba-tiba, pintu ruang bersalin terbuka, dan seorang staff keamanan rumah sakit datang tergesa-gesa memberi tahu mereka bahwa ada pasien baru yang datang.

Pasien itu seorang wanita muda berpakaian sederhana, tampak sedang kesakitan, menahan kontraksi yang semakin kuat. Tia sedang berbicara dengan Kak Ulfa di pojokan ruang tunggu, sementara Dinda langsung bergerak cepat. "Permisi, Bu, kita mau cek tekanan darah ya, Bu," kata Dinda dengan suara lembut dan ramah, mencoba menenangkan pasien.

Namun pasien itu hanya diam, menatap ke arah Dinda tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dinda melanjutkan pemeriksaan tensi dengan hati-hati, merasakan ada yang aneh dengan sikap pasien tersebut. Tensi darahnya tercatat normal, namun ekspresinya menunjukkan kelelahan yang luar biasa.

Setelah pemeriksaan selesai, Dinda kembali ke Tia dan Kak Ulfa yang sedang berdiskusi di sudut ruangan. "Masa tadi pas aku izin buat tensi, ibunya diem aja, tahu, Kak," kata Dinda, terlihat sedikit bingung.

"Nahan kontraksi kali, Din," jawab Tia sambil tersenyum santai, mencoba menenangkan Dinda.

"Hahaha, dia nggak bakal ngerti apa yang kalian omongin," kata Kak Ulfa, tersenyum dengan ekspresi yang penuh pengertian.

"Kenapa emangnya, Kak?" tanya Dinda penasaran.

Kak Ulfa menatap mereka berdua dengan serius. "Suami istri tadi itu asalnya dari Afghanistan. Mereka menetap di Indonesia tiga tahun yang lalu dan sekarang mereka bakal punya anak yang keenam," jelas Kak Ulfa, sambil memeriksa beberapa berkas di tangannya.

"Enam? Definisi banyak anak banyak rezeki," timpal Tia, heran dengan informasi yang baru didengar.

Kak Ulfa mengangguk pelan. "Hmm, dari laporan yang aku terima, pasangan ini sebenernya nggak mau lagi punya anak. Mereka udah KB sebelumnya, tapi sekarang malah kebobolan."

"Owalah, ternyata gitu," kata Dinda dengan nada yang lebih lembut, menyadari beratnya situasi pasangan itu.

Setelah mengobrol singkat dan mengetahui latar belakang pasien, Tia dan Dinda kembali fokus pada tugas mereka. Proses persalinan berjalan lancar dan beberapa jam kemudian, Kak Ulfa meminta tolong kepada Tia dan Dinda untuk memindahkan pasien ke ruang rawat inap.

Malam semakin larut dan lorong rumah sakit terasa semakin sunyi. Tiba-tiba, terdengar tangisan keras seorang bayi dari ruang rawat inap. Tangisan itu menggema di sepanjang lorong, terasa semakin keras dan mengiris hati. Tia dan Dinda saling pandang dan tanpa berpikir panjang, mereka memutuskan untuk melihat bayi tersebut.

Tia membuka pintu ruang rawat inap dengan hati-hati, mereka terkejut mendapati bayi dari pasien Afghanistan, menangis tanpa henti. Sementara itu, sang ibu hanya duduk diam di samping tempat tidur, memandang bayi yang terus menangis tanpa menunjukkan rasa empati.

"Excuse me, ma'am, why is your baby crying?" tanya Dinda dengan lembut, berusaha berbicara dengan penuh pengertian meskipun hatinya penuh tanya.

Si ibu tetap diam, hanya memandang bayinya dengan ekspresi datar. Bayi itu semakin keras menangis, suara tangisannya melengking tinggi, penuh dengan rasa lapar dan kebutuhan akan perhatian.

"I think your baby wants to breastfeed," ujar Tia dengan hati-hati, berharap sang ibu akan merespon.

"I don't want to do it," jawab ibu itu dengan suara datar, tidak menunjukkan sedikit pun kasih sayang kepada bayi yang ada di box-nya.

"Why not?" tanya Dinda, terkejut dengan jawaban yang diberikan. Bayi itu semakin menangis, tetapi sang ibu tidak bergerak sedikit pun.

Tidak ada lagi jawaban yang keluar dari ibu tersebut. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan, sementara tangisan bayi itu semakin menggema, seakan memecah malam yang sunyi.

"Dah lah, Din, kita samperin suaminya aja," kata Tia akhirnya, merasa kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Mereka bergegas keluar ruangan dan menyusuri lorong rumah sakit yang hening. Tia dan Dinda berusaha mencari pria yang mereka tahu adalah suami dari ibu tersebut. Setelah beberapa langkah, Dinda menangkap siluet seseorang yang tampak familiar di ujung lorong. Tanpa berpikir panjang, Dinda berjalan cepat menghampirinya.

"Excuse me, Sir, I think your baby is hungry. Could you please get some milk for her?" tanya Tia dengan sopan di tengah suasana hatinya yang teramat jengkel karena interaksinya dengan ibu si bayi.

"Where can I buy the milk?" tanya pria itu.

"In the hospital pharmacy," jawab Tia, memberikan arahan dengan penuh perhatian.

Pria itu mengangguk singkat dan segera bergegas menuju apotek rumah sakit untuk membeli susu formula. Tia dan Dinda kembali ke ruang rawat inap, membawa bayi itu keluar untuk menenangkannya.

Tia dan Dinda akhirnya memutuskan untuk membawa bayi Afghanistan itu keluar dari ruangan ibunya dan membawanya bersama mereka untuk menunggu kedatangan ayahnya yang sedang membeli susu.

"Tega banget ya, Din, ibunya. Masa dia nggak mau nyusuin anaknya?" kata Tia, menyayangkan sikap sang ibu.

"Iya, padahal anak kan anugerah," jawab Dinda, setuju dengan pendapat Tia.

"Kamu tuh lucu banget loh, mau jadi anak aku aja nggak?" kata Tia kepada bayi yang sedang digendong Dinda.

"Hush! Hahaha," jawab Dinda sambil tertawa.

"Udah, ibunya nggak mau nyusuin, bapaknya juga lama banget lagi belinya," kata Tia dengan nada jenuh, setelah menyadari bahwa suami pasien sudah lama meninggalkan mereka.

"Iya juga ya, padahal kan kalau malam pasti sepi yang beli, harusnya cepet," timpal Dinda, sedikit kesal.

Beberapa saat kemudian, suami pasien datang dengan dot bayi dan susu formula yang masih tersegel di tangannya. Ternyata, pria itu tidak tahu cara membuat susu dan meminta tolong kepada Tia dan Dinda untuk menjaga bayi mereka sepanjang malam. Keduanya merasa lelah setelah berdebat dengan pria itu, akhirnya mereka memutuskan untuk menjaga bayi tersebut bersama mereka di ruang istirahat.

"Huh, sekarang ruang istirahat kita jadi daycare!" keluh Tia, merasa sedikit kesal namun juga tak bisa menahan rasa iba terhadap bayi yang baru mereka kenal.

Dinda yang sedang membuat susu untuk bayi itu tersenyum dan berusaha menenangkan Tia. "Gak apa-apa Ti, kapan lagi kita bisa jagain dede lucu ini?"

Tia dan Dinda menghabiskan sisa malam itu di ruang istirahat, menjaga bayi yang tak bersalah itu. Ketika pagi mulai menyingsing, mereka merasa kelelahan, namun ada rasa puas di hati mereka mengetahui bahwa mereka telah memberikan kasih sayang yang seharusnya diterima bayi itu, meski orang tuanya tampak acuh tak acuh.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun