Mereka bergegas keluar ruangan dan menyusuri lorong rumah sakit yang hening. Tia dan Dinda berusaha mencari pria yang mereka tahu adalah suami dari ibu tersebut. Setelah beberapa langkah, Dinda menangkap siluet seseorang yang tampak familiar di ujung lorong. Tanpa berpikir panjang, Dinda berjalan cepat menghampirinya.
"Excuse me, Sir, I think your baby is hungry. Could you please get some milk for her?" tanya Tia dengan sopan di tengah suasana hatinya yang teramat jengkel karena interaksinya dengan ibu si bayi.
"Where can I buy the milk?" tanya pria itu.
"In the hospital pharmacy," jawab Tia, memberikan arahan dengan penuh perhatian.
Pria itu mengangguk singkat dan segera bergegas menuju apotek rumah sakit untuk membeli susu formula. Tia dan Dinda kembali ke ruang rawat inap, membawa bayi itu keluar untuk menenangkannya.
Tia dan Dinda akhirnya memutuskan untuk membawa bayi Afghanistan itu keluar dari ruangan ibunya dan membawanya bersama mereka untuk menunggu kedatangan ayahnya yang sedang membeli susu.
"Tega banget ya, Din, ibunya. Masa dia nggak mau nyusuin anaknya?" kata Tia, menyayangkan sikap sang ibu.
"Iya, padahal anak kan anugerah," jawab Dinda, setuju dengan pendapat Tia.
"Kamu tuh lucu banget loh, mau jadi anak aku aja nggak?" kata Tia kepada bayi yang sedang digendong Dinda.
"Hush! Hahaha," jawab Dinda sambil tertawa.
"Udah, ibunya nggak mau nyusuin, bapaknya juga lama banget lagi belinya," kata Tia dengan nada jenuh, setelah menyadari bahwa suami pasien sudah lama meninggalkan mereka.