Mohon tunggu...
Mutiara Azny
Mutiara Azny Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 1

XII MIPA 1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Frans Kaisiepo Sang Pemersatu Bangsa

21 November 2021   15:44 Diperbarui: 21 November 2021   15:47 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena kepergian kedua orang tuaku diusia aku yang masih 10 tahun, aku akhirnya di asuh oleh tanteku yang bernama Tante Nay.

Semasa kecil, aku mendapatkan lingkungan yang cukup mendukung dalam pembentukan karakter kepemimpinan. Aku tumbuh bersama teman-teman sebayaku dan mempunyai pergaulan yang baik di masyarakat. Walaupun aku tumbuh tanpa kedua orang tuaku, hal itu justru membentuk diriku menjadi seorang pribadi yang tangguh dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Dalam berbagai peristiwa yang terjadi, jiwa kepemimpinanku sudah nampak jelas. Salah satu peristiwa yang paling dikenang adalah ketika terjadi perselisihan antara dua kampung yang bertetangga. Aku selalu hadir untuk mendamaikan situasi.

Kemampuanku dalam menyelesaikan perselisihan, menurut masyarakat dianggap sebagai bakat yang diturunkan dari Albert Kaisiepo, ayahku.

"Semasa hidupnya, Albert memang dikenal sebagai seorang kepala suku yang sangat di hormati." kata salah satu masyarakat.

Aku mengenyam pendidikan di sekolah rakyat di desaku atau disebut dengan Dorsschool B. Aku mengikuti pendidikan di Dorsschool B sejak tahun 1928 sampai tahun 1931. Beranjak remaja, aku melanjutkan pendidikan di LLVS Korido dari tahun 1931 sampai dengan tahun 1934. Kemudian aku melanjutkannya lagi ke Sekolah Guru Normalis di Manokwari pada tahun 1934 sampai tahun 1936.

Aku bisa dibilang termasuk dalam angkatan pertama orang asli Papua yang mengenyam pendidikan tinggi. Masyarakat sekitarku menaruh rasa hormat padaku karena kecerdasan dan keteladananku.

Sebagai anak pertama dari seorang kepala suku, aku tetap dihormati meski ayahku sudah tiada. Aku kerap memikul tanggung jawab dalam memimpin perang antarsuku.

Dalam kebudayaan masyarakat Biak Numfor, terdapat kepercayaan bahwa seorang kepala suku juga merupakan seorang panglima perang. Ada sebuah predikat yang melekat terhadap seseorang yang menjadi pemimpin dalam peperangan. Predikat tersebut adalah "mambre", yang artinya berani dan patriotik.

Saat aku beranjak dewasa, aku melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Aku memilih Papua Bestuur School atau dikenal dengan sekolah pamong praja di Hollandia (sekarang menjadi Jayapura).

Saat aku sedang bersekolah disana, Jepang telah menduduki sebagian wilayah di Indonesia dan mendesak pemerintahan kolonial Belanda. Hal itu membuat semakin minimnya jumlah pegawai pemerintah Hindia Belanda yang memiliki keterampilan administrasi pemerintahan di wilayah Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun