Mohon tunggu...
Mutiara Salsabila
Mutiara Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Prodi Ilmu Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Mahasiswi Prodi Ilmu Administrasi Publik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Relevansi Pajak Terhadap Utang Negara di Tahun 2024

8 Mei 2024   00:40 Diperbarui: 8 Mei 2024   00:51 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penerimaan pajak terbesar berasal dari pajak penghasilan (PPh) nonmigas tercatat sebesar Rp83,69 triliun atau 7,87 persen dari target. Porsi penerimaan PPh nonmigas setara dengan 56,1 persen dari total penerimaan pajak. Selain itu, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) terdata senilai Rp57,76 triliun atau terealisasi 7,12 persen dari target. Realisasi pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp810 miliar atau 2,14 persen dari target. Sementara, realisasi penerimaan dari PPh migas tercatat Rp6,99 triliun atau setara dengan 9,15 persen dari target. 

Kewajiban cicilan hutang negara adalah pembayaran yang harus dilakukan oleh pemerintah kepada kreditur atau lembaga keuangan internasional sebagai bagian dari pelunasan utang negara. Hutang negara biasanya terdiri dari pinjaman yang diperoleh pemerintah dari berbagai sumber, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk membiayai proyek-proyek pembangunan atau untuk memenuhi kebutuhan fiskal. 

Cicilan hutang negara merupakan bagian dari total utang yang harus dilunasi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara pemerintah dan kreditur. Cicilan ini biasanya terdiri dari pembayaran pokok utang dan bunga yang harus dibayarkan secara berkala sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 

Pentingnya membayar cicilan hutang negara secara tepat waktu adalah agar pemerintah dapat menjaga reputasi keuangan negara, menjaga kredibilitas di pasar keuangan internasional, serta memastikan kelangsungan pembayaran utang yang dapat berdampak pada stabilitas ekonomi negara. Jika pemerintah gagal membayar cicilan hutang secara tepat waktu, hal ini dapat berdampak negatif pada citra dan kepercayaan investor terhadap perekonomian negara tersebut. 

Peningkatan utang yang terus meningkat perlu dikelola dengan bijak, hati-hati, dan prudent untuk mendukung fiskal yang berkelanjutan serta mengurangi risiko terkait utang. Pertanyaannya adalah bagaimana risiko fiskal akibat kenaikan utang besar tersebut dan apakah kenaikan utang berdampak pada pencapaian pembangunan yang diharapkan.

Dalam Hal itu evaluasi risiko fiskal dari beban utang melalui beberapa indikator seperti rasio utang terhadap PDB, debt service ratio terhadap penerimaan transaksi berjalan, rasio keseimbangan primer terhadap PDB, dan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan dan belanja pemerintah.
Selanjutnya, tulisan ini akan menghubungkan kenaikan utang dengan beberapa indikator pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan, dan logistic performance index yang mencerminkan perkembangan infrastruktur.

Pemerintah sendiri berencana akan membayar bunga utang Rp 497,3 triliun pada 2024 mendatang. Pembayaran tersebut meningkat 12,7% dari alokasi pembayaran bunga utang tahun ini yang sebesar Rp 437,4 triliun. Melansir dari Peraturan Presiden Nomor 76/2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pembayaran bunga utang tersebut terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 456,8 triliun, dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 40,4 triliun. 

Pada tahap ini dapat dijelaskan bahwa Pembayaran bunga utang yang meningkat dapat mengurangi sisa anggaran yang tersedia untuk program-program pembangunan dan pelayanan publik lainnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa pengelolaan utang dilakukan dengan bijaksana dan efisien untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap fiskal negara.

Melirik Hutang Era Kepemimpinan Jokowi Pada Dua Periode

Pada saat periode awal Jokowi menjabat tahun 2014 total besaran hutang negara Indonesia yaitu sekitar 2.400 triliun rupiah dan terus mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya sehingga pada tahun 2019 atau di akhir masa jabatan periode pertama presiden jokowi hutang Negara mencapai 5.000 triliun rupiah. 

Hutang yang terhitung cukup besar ini digunakan untuk berbagai keperluan termasuk juga untuk program sosial, kesehatan, sosial, pendidikan, kesejahteraan sosial dan yang paling prioritas serta menjadi fokus utama yaitu pembangunan infrastruktur yang menghabiskan anggaran cukup besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun