Lisa, buru-buru menyeka air matanya, ketika terdengar pintu luar dibuka. Kemudian, ia berpura-pura sibuk, untuk menghindari kontak mata dengan Hermawan, suaminya, yang kini berdiri dan bersandar di dinding penyekat ruang tamu dan dapur.Â
"Ada apa? Mau minum?" tanya Lisa, basa-basi untuk mengalihkan perhatian.Â
"Enggak, aku maunya kamu," goda Hermawan seperti biasa.Â
Namun, candaan intim itu tak berarti bagi Lisa saat ini. Hatinya sedang penuh dengan melodrama perih akibat isi dompet yang tipis di akhir bulan. Belum lagi, soal keinginan orang tuanya yang memintanya pulang kampung.
Hermawan, tampaknya mengerti bagaimana suasa hati istrinya. Tak ingin memparah, ia memilih berpura-pura tidak tahu. Setelah memeluk dan menciumi kepala Lisa dari belakang, lelaki itu kemudian membuat secangkir kopi sendiri sambil berdendang tipis-tipis. Setelah selesai, ia mencubit pipi istrinya dan keluar rumah meninggalkan istrinya yang sedang darting karena tamu bulanannya.
*****
Seminggu berlalu, Lisa, mulai lupa dengan Sarkawi, sawah dan kehidupan di desa. Ia kembali sibuk dengan rutinitas hariannya. Antar jemput anak sekolah dan mengantarkan kue-kue buatannya pada pelanggan di sekitar perumahan.
Setelah merapikan tempat tidur, ia duduk di selonjoran di ruang tamu sambil bermain handphone. Air mukanya tampak ceria, saat mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Lisa, bergegas bangkit membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang shif malam.Â
"Mau sarapan atau mau mengerjakan tugas malam yang tertunda?" tanya Lisa, dengan mata berbinar penuh arti.Â
"Kerjakan yang wajib dulu lah," jawab Hermawan seraya mengunci pintu.Â
Lisa hanya tertawa mendengar jawaban suaminya.
****
Setelah menyiram beberapa tanaman hias murah di depan rumah. Lisa menghampiri suaminya yang duduk di kursi karet bekas ban mobil.Â