Bunyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali mata cangkul Kartawi menghunjam tanah tegalan yang sudah lama kerontang. Debu tanah kapur memercik. Pada setiap detik yang sama Kartawi merasa ada sentakan keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya.Â
Lisa menghentikan aktifitas membacanya pada paragraf pertama cerpen Ahmad Tohari yang sedang ia baca. Bukan karena tidak tertarik tetapi apa yang diceritakan dalam cerita tersebut sangat menggangu pikirannya saat ini.Â
Setelah berulang kali menamatkan cerpen tersebut, baru kali ini ia merasa terganggu. Sebelumnya, ia sangat menyukainya. Karena beberapa alasan yang membuatnya merasa mendapatkan asupan pengetahuan. Namun, kini tidak lagi.Â
Kesulitan yang sedang dirasakan Sarkawi, tokoh utama dalam cerpen tersebut membuat kekalutan pikirannya semakin menjadi.Â
Kehidupan di desa, Lisa membayangkan. Kemudian sesak di dadanya semakin terasa hingga tak terasa matanya menjadi basah.Â
"Ngopo, adoh-adoh merantau, tapi soro?"Â
Lisa, terngiang ucapannya ayahnya setelah berkunjung dan melihat bagaimana kehidupan Lisa dan keluarga kecilnya.Â
Bagi Lisa, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kehidupannya. Namun, setelah ayahnya mereview kehidupan rumah tangganya. Hati Lisa menjadi sempit, senyumnya juga semakin irit, meskipun Hermawan masih suka melawak padanya, seperti biasa.Â
"Sepuluh tahun menikah, apa yang kamu miliki?" Pertanyaan menohok dari sisi batinnya yang gelap. Membuat Lisa, memerhatikan sekeliling kamarnya.Â
Kasur tipis, lemari baju berbahan triplek belum ganti sejak pertama menikah. Dua perabot yang menonjol di kamar seakan menghimpit Lisa, membuat wanita itu bergegas keluar kamar dengan muak.Â
Tak butuh waktu lama, Lisa sudah berada di dapur. Ia langsung membuka kulkas, mengambil sebotol air teh kemasan, yang tinggal separuh isinya. Sejenak ia menghentikan tangannya, kemudian menutup kulkas dengan keras, saat menyadari bagaimana bentuk perabot keramat itu sekarang. Beberapa bagian kulkas tampak rusak dan pintu luarnya penuh coretan. Jauh dari kata aesthetic seperti wajah kehidupan yang tengah dirasakannya kini.Â
Lisa, buru-buru menyeka air matanya, ketika terdengar pintu luar dibuka. Kemudian, ia berpura-pura sibuk, untuk menghindari kontak mata dengan Hermawan, suaminya, yang kini berdiri dan bersandar di dinding penyekat ruang tamu dan dapur.Â
"Ada apa? Mau minum?" tanya Lisa, basa-basi untuk mengalihkan perhatian.Â
"Enggak, aku maunya kamu," goda Hermawan seperti biasa.Â
Namun, candaan intim itu tak berarti bagi Lisa saat ini. Hatinya sedang penuh dengan melodrama perih akibat isi dompet yang tipis di akhir bulan. Belum lagi, soal keinginan orang tuanya yang memintanya pulang kampung.
Hermawan, tampaknya mengerti bagaimana suasa hati istrinya. Tak ingin memparah, ia memilih berpura-pura tidak tahu. Setelah memeluk dan menciumi kepala Lisa dari belakang, lelaki itu kemudian membuat secangkir kopi sendiri sambil berdendang tipis-tipis. Setelah selesai, ia mencubit pipi istrinya dan keluar rumah meninggalkan istrinya yang sedang darting karena tamu bulanannya.
*****
Seminggu berlalu, Lisa, mulai lupa dengan Sarkawi, sawah dan kehidupan di desa. Ia kembali sibuk dengan rutinitas hariannya. Antar jemput anak sekolah dan mengantarkan kue-kue buatannya pada pelanggan di sekitar perumahan.
Setelah merapikan tempat tidur, ia duduk di selonjoran di ruang tamu sambil bermain handphone. Air mukanya tampak ceria, saat mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Lisa, bergegas bangkit membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang shif malam.Â
"Mau sarapan atau mau mengerjakan tugas malam yang tertunda?" tanya Lisa, dengan mata berbinar penuh arti.Â
"Kerjakan yang wajib dulu lah," jawab Hermawan seraya mengunci pintu.Â
Lisa hanya tertawa mendengar jawaban suaminya.
****
Setelah menyiram beberapa tanaman hias murah di depan rumah. Lisa menghampiri suaminya yang duduk di kursi karet bekas ban mobil.Â
"Mas, kira-kira kalau hidup di kampung, betah gak? Kayaknya aku mah enggak deh. Dulu, jaman gak ada HP aja, gosip gampang banget nyebar. Apa lagi sekarang." Lisa menjawab pertanyaannya sendiri, sementara Hermawan hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya.Â
Hermawan cukup tenang, melihat air muka istrinya. Bibir penuh senyum dan ucapan-ucapan  ngelantur dengan tema-tema absurd. Ia hanya perlu berpikir dan menemukan solusi agar tanggal-tanggal di kalender tidak pernah menua.Â
Sehingga suasana hati Lisa tetap terjaga dan tidak darting ketika tamu bulanan tiba.Â
Tamat.
Ruji, 30 November 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI