"Neng murahan, Teh?" tanya Cinta, memastikan.
Ada rasa bersalah melesak ke hati Tia, ia merasa keterlaluan mengatakan hal itu. Akan tetapi kata-kata yang terucap tak mungkin ditarik kembali. Meskipun menyakitkan, hal itu dilakukannya demi masa depan adik-adiknya.
"Bukan begitu. Nih ..." Tia memotong ucapannya. Kemudian, ia meraih pundak Cinta dan membimbingnya tidur di pangkuannya.
Dengan lembut, Tia membelai rambut panjang Cinta.Â
"Neng, itu cantik, baik, yakin deh, suatu saat nanti Neng pasti ketemu pangeran tampan yang pas untuk Neng," ucap Tia sambil tersenyum meyakinkan.
"Tanpa, Neng kejar tanpa cari-cari perhatian. Neng akan dapat perhatian kok, karena Neng itu udah menarik tanpa melakukan apa pun nek udah terlihat cantik." Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulut Tia, yang ia sendiri tak mengerti pasti apa artinya. Namun ia hanya berharap Cinta bisa mengerti dan memahami tanpa merasa terluka.
Lama, Cinta diam dalam pangkuan Tia. Hingga Umang pulang, keduanya tersenyum telah duduk bersisian nonton TV, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Dengan sedikit kode, dari Tia, Umang mengerti. Semua telah beres, tinggal bagaimana nanti, biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Namun yang terpenting, hubungan sejoli belia itu harus diakhiri dan diawasi.Â
****
Beberapa minggu berlalu, sejak insiden itu terjadi, tak ada laporan dari pihak Abah dan Ambu yang mengawasi Gilang. Demikian pula dari Cinta.
Hingga ketika Tia, merapikan kamar Cinta, selembar kertas jatuh dari buku catatan di atas meja.Â