Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kartini di Antara Romansa Rindu

18 April 2023   12:59 Diperbarui: 18 April 2023   13:01 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rindu memperhatikan interior di ruang kerja Bagas dengan seksama. Tema klasik dengan ornamen serba kayu yang didominasi warna beige, merubah kantor yang formal menjadi suasana santai, unik tetapi terkesan mewah. 

Dari desain unik itu, ada satu yang paling menarik Rindu untuk untuk lebih seksama memperhatikan. Pandangan matanya berhenti pada dinding samping meja, pada sebuah foto berbingkai. Awalnya ia mengira itu foto, ibunya Bagas, ternyata tebakan Rindu meleset jauh.

Gadis itu tersenyum, memperhatikan foto perempuan anggun dengan sanggul yang khas, kemudian bergumam, "aneh." 

"Apa yang aneh?" tanya Bagas mengagetkan Rindu. Membuat gadis itu tersipu, seperti pencuri yang tertangkap tangan.

Memahami perasaan sang Gadis, pria tampan berdasi warna silver senada dengan jas yang dipakainya, mempersilahkan Rindu untuk duduk di kursi kayu dekat jendela. Sudut kecil yang didesain khusus untuk menerima tamu-tamu VIP di kantor.

Dengan hati berdebar, Rindu mengikuti arahan Bagas. Ini pertama kalinya bagi Rindu, mendatangi tempat seorang laki-laki di kantornya. Bukan untuk urusan bisnis yang umumnya dibicarakan di kantor-kantor tetapi ia datang hanya untuk berkunjung dan menunggu pemuda itu selesai bekerja. Untuk kemudian pergi bersama ke suatu tempat. Berkencan tepatnya, tetapi Rindu terlalu sungkan menggunakan kata itu, baginya hal itu terkesan negatif tetapi pada kenyataannya ia memang hanya pergi berduaan bersama seorang pria, yang bisa dibilang calon pasangannya.

"Gimana, jadi ke old town white coffe?" Tanya Bagas, sesaat setelah keduanya duduk.

"Emm," gumam Rindu, seolah mengatakan "beri aku waktu untuk berpikir?" Sembari menatap ke luar jendela.

Ingin Rindu menjawab dengan kata terserah, tetapi hatinya cenderung ingin nyaman berbincang di tempat yang nyaman. Kafe bukanlah tempat yang cocok bagi Rindu, lebih tepatnya ia tak terbiasa nongkrong di sana.

"Gimana?" Bagas melebarkan pupil matanya, pada gadis yang akhir-akhir ini menemaninya berbincang hingga larut malam di telepon.

"Ke taman Sehati saja ya?" jawab Rindu gugup. Terlalu banyak pertimbangan untuk jawaban itu. Ia merasa khawatir jati dirinya terbongkar dan ia takut jika hal itu tidak disukai lelaki yang tengah memperhatikan dirinya sedari tadi.

Bagas terkekeh dengan jawaban Rindu, baginya gestur kikuk gadis gebetannya itu terlihat lucu dan menggemaskan. Wajah malu-malu Rindu menunjukkan betapa gadis itu di bawah kendalinya.

"Sudah kuduga, itu jawabanmu," sahut Bagas menahan senyum, membuat Rindu semakin salah tingkah.

Memahami perasaan Rindu, Bagas membimbing gadis itu keluar dari kantornya. 

Berjalan melewati ruang utama yang dihuni rekan-rekan Bagas, tepatnya para bawahan membuat Rindu sedikit canggung. Bagaimana pun juga, Rindu hanya gadis sederhana dari keluarga sederhana dan kini berjalan beriringan dengan Bagas, seorang pimpinan di kantor yang terlihat jelas keduanya jauh berbeda latar belakang. Menjadi pusat perhatian sekaligus objek penilaian orang-orang seisi kantor, sedikit banyak membuat Rindu tertekan.

Rindu masih bertahan dengan sikap diam, hingga ia duduk di jok mobil di samping Bagas. Bahkan sampai mobil keluar dari halaman kantor dan melaju di jalanan gadis itu masih bergeming.

"Kamu tak seperti biasanya, kemana Rindu yang semalam?" 

Rindu menoleh ke arah Bagas sesaat, kemudian kembali menatap ke depan dengan malu-malu. 

"Jangan sungkan, aku Bagas yang semalam yang kamu tinggal tidur, padahal masih teleponan," pancing Bagas dengan tersenyum lebar. Ada nada kemenangan di sana, Bagas berhasil menaklukkan gadis di sebelahnya untuk menunjukan sisi kelakiannya. Dominan.

"Bagaaas, ihh," sahut Rindu cepat, otaknya langsung mengingatkan Rindu bagaimana biasanya gadis itu bertingkah. Ketika bicara di telepon, Rindu adalah pemegang situasi. Ia lebih cerewet, berbicara semaunya dengan tema random, se-random kehidupan Rindu yang sesungguhnya.

Sebenarnya pertemuan Rindu dan Bagas bukanlah kali yang pertama. Sebelumnya, lebih dari sekali keduanya bertemu tanpa sengaja. Hingga selanjutnya secara sengaja Bagas menemui Rindu untuk mengenalnya lebih jauh, meskipun gadis itu tak menyadarinya.

Terpesona dengan kecantikan Rindu dan mengetahui lebih jauh sisi kehidupannya, membuat Bagas tertarik dan jatuh cinta. Meskipun belum diakui tetapi lelaki muda itu telah menunjukkan dengan sikapnya selama ini. Menemui Rindu dengan berbagai alasan di tempat mengajar hingga kemudian mendekatinya secara intens lewat media sosial, chat dan telepon yang hampir dilakukannya setiap hari.

Seindah apapun penampilan burung dalam sangkar tentu sang pemilik ingin melihat hewan peliharaannya ceria, yang ditunjukkan dengan kicauannya yang merdu.

Demikian pula Bagas, melihat wajah cantik Rindu, yang malu-malu dan canggung membuat Bagas merasa ada di atas. Akan tetapi melihat Rindu yang ceria apa adanya dan merasa nyaman adalah tujuannya. Mengajak Rindu ke danau Ellysium pada akhirnya menjadi pilihan.

Rindu nampak terkejut, menyadari tempat itu bukanlah tujuannya semula. Namun sesaat kemudian hatinya bisa berkompromi dan tidak keberatan dengan keputusan Bagas mengajaknya ke situ.

"Aku rasa, tempat ini jauh lebih nyaman dari taman Sehati. Tidak terlalu ramai dan pemandangannya juga bagus," terang Bagas, sambil membimbing Rindu keluar dari mobil dan berjalan memasuki area taman menuju danau.

Tanpa bisa menolak, Rindu mengikuti Bagas. Sedikit kecewa karena ia tak dimintai persetujuan tetapi perasaan itu ia redam dalam. Bagaimana pun tempat ini memang lebih indah dari dari pilihannya semula.

Benar menurut perkiraan Bagas, di sini Rindu tampak lebih leluasa dan nyaman. Mulutnya hampir tak berhenti bicara, di bawah pohon di atas bangku pajang dekat danau Rindu tak berbeda ketika bicara di telepon dengan Bagas.

"Eh, di kantormu ada yang menarik," ucap rindu di sela-sela obrolan.

"Foto, di dinding," Rindu diam sesaat menunggu reaksi Bagas. "Unik sih tapi sedikit aneh, kenapa foto itu?" selidik Rindu penasaran.

Bagas menurunkan tangan kanannya dari sandaran bangku dan memindahkan ke pangkuannya.

"Foto kamu maksudnya?" sahut Bagas bernada serius.

"Ishh, apaan sih?" 

Lagi, Bagas membuat Rindu tersipu.

"Bagiku, kau adalah sosoknya di masa kini," lanjut Bagas sambil menatap intens Rindu. 

Tak mau membuang kesempatan Bagas lantas menjelaskan bagaimana ia tertarik pada Rindu. Bukan karena kecantikannya tetapi karena sikap dan tindakan Rindu selama ini yang membuatnya kagum. Ia melihat sendiri bagaimana Rindu berjuang melawan patriarki dalam keluarganya. Hingga kemudian gadis itu membantu teman-temannya yang bernasib sama. Membangun dan mengajar di tempat singgah adalah salah satu bentuk konkrit kepedulian Rindu pada sesama. Namun yang terpenting Rindu mampu memperjuangkan nasib dan meraih mimpinya sendiri.

"Kamu adalah sosok perempuan berjiwa Kartini, semangat dan perjuangan kamu hingga kamu bisa sampai di titik ini, itu yang ....,"

"Ah, kamu terlalu tinggi berekspektasi tentang aku," potong Rindu, sambil menunduk malu-malu.

"Kau masih saja rendah hati, Rindu," sahut Bagas, tanpa mengalihkan pandangannya.

Bagas terdiam, mulutnya tak lagi berkata-kata. Akan tetapi hatinya tak berhenti bicara. 

"Setiap orang memiliki pemaknaan yang berbeda terkait sifat yang sesuai dengan sosok Kartini. Memang hal itu tidak dapat diseragamkan karena semua individu berhak memiliki pemahamannya sendiri. Namun satu hal yang pasti, perempuan yang memiliki semangat tinggi untuk berkarya dan berkontribusi bagi lingkungan sekitar dan bangsanya adalah sosok Kartini sejati, dan itu kamu Rindu." Namun kata-kata yang tersusun rapi itu hanya berputar-putar di kepalanya saja.

"Rupanya, sosok Kartini tumbuh dalam dirimu tanpa kamu sadari," puji Bagas jujur, yang kemudian hanya dibalas dengan tawa kecil oleh Rindu.

"Aku hanya penasaran mengapa foto itu yang kamu pajang, kamu malah ngelantur kemana-mana," ujar Rindu, mencoba menetralkan debaran hatinya.

"Aku ingin perempuan seperti beliau yang menjadi wanitaku, yang menjadi ibu untuk anak-anakku, Rindu, kamu mau kan?" Sergah Bagas seraya menggenggam tangan Rindu.

Keduanya terdiam saling bertatapan beberapa saat lamanya, hingga kemudian Rindu menarik tangannya dengan gugup. Namun ia kemudian ia tersenyum dan mengangguk pelan.

Terlepas dari kegelisahan Rindu sebelumnya, mengenai perbedaan latar belakang dengan Bagas. Gadis itu tak mampu berpikir lagi, ia hanya mengikuti perasaannya yang bersambut.

****

Beberapa Tahun kemudian

Rindu, berdiri di balik jendela rumahnya. Pandangannya jauh menatap ke luar, menyaksikan bunga-bunga bermekaran hingga ke pagar rumahnya.

Sesekali ia bergerak ke kanan dan kiri secara teratur, untuk membuat bayi dalam gendongannya nyaman. Ada kebahagiaan ketika memperhatikan wajah mungil putrinya yang pulas di pelukannya. Namun tak serta-merta menghapus kegelisahan dalam hatinya. Mengingat sebentar lagi keluarga Bagas akan datang berkunjung dan ia harus mengikuti aturan yang berlaku tentang menantu perempuan yang baik.

Memiliki Bagas yang menghargai keberadaanya, sebagai perempuan juga sebagai manusia yang sama seperti lainnya. Namun pada pelaksanaannya tak seperti dalam teori. Bagas tetap saja memandang rindu sebagai wanita, yang membuatnya sadar. Bahwa ia tetap seorang perempuan yang hidup dalam masyarakat dan keluarga yang terikat sosio-kultural dalam kekangan takdir. Menuntutnya untuk menjadi pribadi yang selalu patuh terhadap ketetapan norma-norma yang berlaku. 

Menjadi istri yang merupakan mitra bagi suami sekaligus perpanjangan tangannya. Juga bertugas sebagai pelayan keluarga yang bertindak sebagai pelaksana tugas-tugas domestik dalam rumah tangga. Sedikit saja Rindu bergerak bebas dan mengambil keputusan sendiri, akan dianggap sebagai pembangkang dan aib bagi keluarga.

Perlahan Rindu, membaringkan putrinya di ranjang. Baru saja hendak bangun, bayi mungilnya merengek. Sambil menyusui bayinya, Rindu menatap foto R.A Kartini di dinding kamarnya.

Ia tersenyum kemudian berkata lirih "kamu adalah sosoknya di masa kini," ucap Rindu sembari mengenang masa lalu.

"Masihkah ia hidup dalam diriku?" tanya Rindu pada dirinya sendiri.

Pertanyaan yang tak mampu ia jawab sendiri. Hingga tanpa disadari Rindu larut dalam lamunan sembari menatap dan meresapi tulisan dalam foto.

"Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam."

Entah untuk yang ke berapa kalinya Rindu membaca tulisan yang ada di foto, hingga ia hafal di luar kepala.

Ia menyadari sepenuhnya semua memang tak mudah, satu-satunya hal yang membuatnya ringan adalah keikhlasan dalam menjalani.

Deru mobil memasuki halaman bagai alarm yang menyetel kesadaran Rindu. Perempuan itu segera bangkit sambil menggendong bayinya yang kembali bangun untuk menyambut kepulangan suaminya. Bagas.

Salam 

Mutia AH

Ruji, 18 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun