"Fit, Fitri," panggilnya sambil menerobos masuk. Degup jantungnya semakin cepat Saat ia dapati beberapa tetangga berada dalam rumahnya.Â
"Ramadan, kemana saja kamu, Jang, Jang?"Â
Tak memedulikan yang bertanya, Rama langsung menghampiri Fitri yang tergolek lemah.
"Adikmu, pingsan, Jang!" terang Bi Narsih  tetangga sebelah Rama.Â
"Fit, bangun Fit, Kakak pulang!" Dengan nada bergetar, Rama memangil-manggil nama adiknya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Fitri.Â
"Kak," sahut Fitri lemah. Mata kecilnya perlahan membuka. Fitri tampak kebingungan. Ia melihat ke sekeliling ruangan.Â
"Akhirnya, kamu siuman juga, neng," timpal yang lain. Dengan cekatan Bi Narsih memberi Fitri minum dan menyuapinya makan. Hingga perlahan tenaga Fitri pulih kembali. Sinar matanya yang redup kembali berbinar.Â
Satu persatu para tetangga Rama pamit pulang, setelah Fitri benar-benar pulih. Tampaknya ia pingsan karena lapar. Beruntung waktu itu ada Bi Narsih yang datang menjenguknya.Â
"Ramadhan, Fitri, lain kali kalau ada apa-apa ngomong, ka Bibi. Kalian kan tahu Bibi sibuk tina pasar," ucap Bi Narsih. Sinar matanya satu memandang kedua bocah tetangganya. Ada rasa bersalah menusuk-nusuk hatinya.Â
"Iya, Bi. Maaf merepotkan."
Setitik air mata jatuh di sudut mata Bi Narsih, mendengar jawaban Ramadhan. Hatinya trenyuh dengan sikap dewasa yang ditunjukan. Kehidupan pahit membuat bocah itu dewasa sebelum waktunya.Â
"Ya, sudah. Bibi pamit dulu. Inget ya, lain kali bilang kalau butuh apa-apa. Jangan sungkan, Bibi cuma sibuk, bukan tak peduli sama kalian." Bi Narsih membelai pipi Fitri dan membelai kepala Ramadhan sebelum beranjak pergi.Â