Rama tersenyum meyakinkan adiknya. Kemudian bergegas ke luar rumah.Â
Dulu saat ayahnya masih ada Rama tak pernah memulung. Namun nasib membuatnya mengikuti jejak ayahnya menjadi pemulung. Menyusuri jalanan untuk mencari barang-barang yang bisa ditukar uang. Dengan tekun ia menghampiri tong-tong sampah dan mengorek dengan pengait. Mencari benda-benda yang bisa didaur ulang. Kemudian memasukannya ke dalam karung di punggung kirinya.Â
Langkahnya terhenti di depan baliho besar di depan sebuah pos ronda. Bergambar dua orang lelaki memakai jas dengan topi hitam di kepalanya. Keduanya tampak tersenyum bahagia sambil merapatkan kedua tangan di depan dada.Â
"Marhaban yaa Ramadan 1422H. Selamat menunaikan ibadah puasa." Rama berhenti sejenak untuk menarik nafas kemudian melanjutkan membaca.Â
"Mari tingkatkan ibadah dan beramal di Bulan suci yang penuh rahmat ini. Semoga kita senantiasa mendapatkan ampunan dan Ridha Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamiin."
Tatapan mata Rama terhenti pada nama dan foto dalam baliho. Kemudian ia mengambil tas kanvas yang diselipkan di pinggangnya. Ia membandingkan foto dalam baliho dengan foto pada tas kanvas setelah mengambil botol minum dari dalamnya.Â
"Kami akan mensejahterakan rakyat dan memberantas kemiskinan." Kembali Rama membaca tulisan pada tas dengan lantang. Kemudian ia kembali menyimpan botol minum ke dalamnya dan menyelipkan kembali di pinggang.Â
Rama memandang lurus ke depan, kemudian kembali berjalan dan memeriksa tong-tong sampah. Mencari botol-botol plastik atau barang apa saja yang punya nilai jual.Â
"Besok sahur pertama yang spesial ya, Kak!" Rama teringat Fitri adiknya, saat melihat karungnya yang mulai mengembung. "Semoga cukup untuk sore dan malam nanti," ia berdoa sejenak kemudian tersenyum dan meneruskan perjalanan mengitari perumahan.Â
Terik matahari yang memantul dari setiap benda yang ditimpa membuat hawa semakin panas. Namun Rama seakan mati rasa. Sendal jepit tipis di bawah telapak kakinya seakan hendak lumer terkena panasnya aspal jalan. Baju lusuh yang melekat di tubuhnya semakin basah karena keringat. "Sedikit lagi," bisik dalam hatinya. Spontan otaknya menghitung jika karungnya penuh berapa uang yang kira-kira ia dapatkan.Â
Menjelang maghrib Rama sampai di depan rumah. Hatinya diliputi bahagia, membayangkan Fitri akan bersorak gembira melihat apa yang ia bawa. Perlahan kebahagiaan itu sirna. Berganti rasa khawatir yang menyeruak begitu saja. Saat ia melihat daun pintu terbuka sedikit serta lampu rumah yang menyala terang, tak seperti biasanya.Â