Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Rahasia, Tersesat dalam Perjalanan Bus Antar Provinsi

29 April 2021   09:54 Diperbarui: 29 April 2021   09:59 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu lebaran hari ketiga. Aku sendirian berada di depan agen bus antar provinsi. Di antara ratusan orang yang berdesakan berebut tiket keberangkatan tak satupun wajah yang kukenal. Semua terlihat asing. Hampir rata, setiap raut muka menyimpan beban. Mungkin ada yang sama sepertiku. Masih ingin tinggal lebih lama di kampung halaman tetapi tuntutan pekerjaan tak bisa dihindarkan. Ah, yang jelas ekspresi itu tidak sedikit, hanya beberapa wajah terlihat senang.

Aku, sedikit menepi membiarkan orang-orang masuk terlebih dahulu, karena dorongan seseorang di belakangku membuat tubuhku reflek menghindari bahaya. "Toh aku sudah dapat tiket," pikirku mencoba menangkan hati.

Sulit bagiku merasa tenang, dengan kondisi bus seperti ini. Wajah asing tak bersahabat. Setidaknya itu yang ada sedari tadi mengganggu pikiran. Bagaimanapun ini perjalanan pertamaku, sendirian ke kota Metropolitan. Beruntung, tujuannya jelas karena aku sudah dapat pekerjaan dan tempat tinggal di sana. Karena ada Kakak yang sedang menunggu di terminal tempat pemberhentian terakhir bus ini.

Dengan sedikit miring, menghindari berhimpitan langsung dengan penumpang lain, aku menyelinap di antara jok-jok sambil menghitung nomer tempat duduk mencari kesesuaian dengan yang tertera di tiket.

Akhirnya, di bagian tengah bus, tepat di bawah jendela kutemukan nomer 13. Hugh! Semoga soal angka sial itu, hanyalah mitos belaka.

"Permisi, Mbak," kataku sopan pada seorang wanita calon teman seperjalanan. Aku menyelinap melewatinya setelah ia menggeser kedua lututnya kesamping memberi jalan.

Aku menarik nafas lega, setelah duduk dengan posisi nyaman.

"Yeni?"

Aku menoleh pada gadis yang duduk di sebelah. Menajamkan pendengaran dan memastikan, ia memanggil nama Yeni ditunjukkan kepadaku.

"Santi?" Spontan lidahku menyebut nama gadis yang duduk di sampingku.

"Alhamdulillah, ada temennya," jawabnya begitu kami bersirobok. Kelegaan terlihat di wajahnya, begitu juga denganku yang tak bisa sembunyikan rasa gembira. Punya teman seperjalanan dan saling mengenal sebelumnya.

"Iya, aku seneng banget ketemu, Kamu!" kataku tak kalah antusias.

Awal obrolan kami mengungkapkan perasaan lega dengan pertemuan tanpa rencana itu. Aku semakin merasa beruntung, sebab tujuan kami tak berbeda. Hanya letak kontrakan saja yang sedikit lebih jauh. Terpenting, kami turun di terminal yang sama.

Tak terasa bus melaju semakin jauh meninggalkan kota kecil tempat kelahiranku. Dari jendela terlihat langit sudah gelap. Terlihat lampu-lampu di luar bertebaran bagai bintang. Dari spanduk, poster dan baliho yang terpasang di pinggir-pinggir jalan, di kios-kios, pertokoan yang dilewati. Aku mengetahui telah sampai daerah mana bus ini.

Malam yang semakin larut ditambah efek obat anti mabuk membuatku tak bisa melawan kantuk. Menyadarkan tubuh ke badan kursi dan sedikit meluruskan kaki, kubuat diri nyaman dan tidur.
****
Entah berapa lama aku tertidur. Saat bangun bus telah sampai di depan sebuah rumah makan daerah Limbangan. Itu yang tertulis dalam poster di bagian depan atap restoran. Nampaknya di sini adalah rest area khusus bus, terlihat ada sekitar lima bus yang sama dengan tujuan berbeda-beda.

"Kemana?" tegur Santi saat melihatku beranjak.

"Toilet. Kebelet! Ikut?" jawabku dengan bertanya balik, ia mau ikut atau tidak ke toilet.

Aku bergegas turun setelah memastikan Santi menjawab tidak, karena desakan dari perut yang tak bisa dikompromi.

Begitu turun, aku tengok kanan kiri. Berkeliling pandangan mencari toilet dan bergegas setelah memastikan lokasi parkir bus. Ternyata di toilet penuh, mau tidak mau harus antre terlebih dahulu. Sekitar sepuluh menit dan selesai berhajat, aku bermaksud kembali naik lokasi parkir bus.

Mataku terbelalak. Seketika degup jantungku berdegup kencang melihat halaman luas rumah makan penuh dengan puluhan bus yang sama tetapi tujuan dan nomer seri berbeda. Di mana busku?

Kuedarkan pandangan ke sekeliling, mencari bus dengan tujuan Cilacap-Bekasi. Namun ternyata, tidak hanya satu bus dengan rute yang sama. Aku mencoba tetap tenang meski cemas mulai menerjang.

Aku coba naik ke salah satu bus tetapi setelah di dalam, ternyata tak ada satu pun wajah yang kukenal. Seharusnya ada Santi di bangku nomer 12. Tetapi gadis itu tak nampak. Aku kembali turun kemudian naik lagi ke bus lain dengan tujuan yang sama. Lagi-lagi wajah, dan suasana asing yang didapat. Hingga lima kali turun naik bus, belum juga kutemukan bus yang dicari.

Keringat dingin mulai bermuculan. Degup jantung tak lagi terkontrol. Kaki dan lutut terasa lemas. Di mana busku?

Aku tertunduk di salah satu sisi bus. Otak tak lagi bisa diajak berpikir. Apa mungkin bus sudah berangkat dan aku ditinggal? Masa iya, Santi gak bilang ke sopir jika aku belum naik!

"Yen, mangkat besok aja, pagi-pagi."
Teringat ucapan ibu sebelum berangkat. Namun aku yang khawatir terlambat karena harus masuk kerja shif malam besoknya, menolak saran ibu. Aku pikir jika berangkat malam ini, maka akan ada kesempatan setengah hari untuk istirahat.

"Ya, Allah," lirihku.

Aku kembali menyusuri bus satu ke bus lainnya. Berharap bisa menemukan penumpang lain, barang atau apapun yang menunjukan bahwa bus itu benar-benar busku. Hingga tak terhitung berapa kali aku turun naik bus akhirnya aku menyerah.

Sembari jongkok di sisi bus, aku pasrah. Dengan telapak tangan aku menyembunyikan muka. Pipi mulai terasa hangat, setitik air mata jatuh.

"Ya, Allah," hanya kata itu yang mampu terucap. Sementara hati terus berdoa, memohon ampunan dan pertolongan Allah. Permintaan maaf dan janji untuk tidak mengabaikan saran dan kota-kota ibu lagi.

Aku benar-benar pasrah, jika harus tersesat di sini. Tertinggal di rest area dan diumumkan lewat pengeras suara bahwa aku tersesat.

Dalam titik paling pasrah. Aku dikejutkan oleh tepukan di pundak. Seketika aku tersadar, tubuh dan nyawaku seakan kembali berpijak di atas bumi. Setelah sesat tadi melayang dalam kebingungan akut.

"Hai, lagi ngapain? Dari tadi naik-turun bolak balik, gak jelas

"Ke toilet," jawabku hampir menangis karena bahagia dan lega. Tak habis pikir bagaimana Santi berdiri di sampingku dari tadi tapi dan aku tak melihatnya. Tepat di bawah pintu bus yang kucari, gadis itu berdiri. Sesuatu di luar jangkauan otak.

"Berangkat-berangkat," suara kondektur bus memberi aba-aba pada penumpang yang masih di bawah. Aku bergegas naik dan duduk nyaman di bangku dengan hati tak berhenti mengucap Alhamdulillah.

Hingga bisa kembali melaju di jalanan menuju kota Bekasi, aku menjaga mata untuk tak tetap terjaga. Entah sebab tertidur atau bukan. Aku tak ingin kejadian tadi berulang.

Hingga bus sampai terminal Bekasi aku tak tidur lagi. Hingga berpisah dengan Santi dan bertemu Mas Yoga, hati tak berhenti mengucap hamdallah. Semua yang terjadi malam itu, kusimpan rapat dalam memori. Menjadi rahasia pengalaman paling menyedihkan sekaligus menegangkan. Hingga hari ini, baru kubongkar dan mengurainya dalam cerita untuk sahabat Kompasiana.

Tamat

Mutia AH

Ruji, 29 April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun