Namun, semua berjalan tidak sesuai harapan. Justru amarah kau jadikan alasan untuk melepaskan.
Awalnya, hati berbunga-bunga, saat bercak api cemburu terlihat menyala. Kau tunjukan dengan keberatan atas sikapku. Meski lidah berkata tak peduli, hati laksana rekahan bunga.
Kau marah dan cemburu! Aku suka, bukanlah itu artinya kau cinta, iya kan?
Ternyata salah! Justru itu senjatamu tuk menikam hatiku lebih dalam. Semua menjadi awal cerita, sekat semakin jelas di antara kita. Luka penghianatan yang ku torehkan, melukai hatimu, dan kau benci itu. Hingga kata putus terucap, mengakhiri segala bentuk hubungan yang terjalin erat.
Satu kesalahan, telah membuatku tak termaafkan. Kini, tiga bulan berselang, aku masih di sini. Mengharap kau kembali, menjadi malaikat pelindung, mengulurkan tanganmu tuk merengkuh ku dalam pelukan.
Perih, kini hanya tersisa lagu-lagu kenangan kita yang tersimpan dalam memori. Memandangi selembar foto kemudian membasahi nya dengan air mata, menjadi rutinitas ku sepanjang hari. Taukah kau, betapa aku rindu? Mendendangkan kembali, lagu-lagu yang pernah kita dendangkan semakin membuatku jatuh semakin dalam jurang cinta terlarang.
Meski tersiksa tiada tara tetap aku berharap. Engkau datang dan meminta kesanggupan ku menjadi istri keduamu.
Mungkinkah terjadi?
Ruji, 9 Juli 2020
Gambar Pixabay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H