Potongan mungil dari sajaknya berbunyi:
Aku punya banyak partikel rindu di ubun-ubunku
Hanya puisi yang tahu
Karena kertas dan tinta selalu membisikinya
(Hanya Puisi Yang Tahu)
Begitulah cara Wildan membangun wilayah kecil untuk dirinya sendiri. Ia menjadi kepala, tangan, kaki, telinga, dan semua organ yang tersembunyi. Tidak ada keraguan kecuali menuliskannnya menjadi puisi.Â
Meskipun saya yakin suara Wildan umpama bunga mekar di halaman, ia tahu untuk siapa nektar dan wanginya dipersembahkan. Tapi dia laki-laki, barangkali penyair lebih tahu bagaimana aral terjal yang seharusnya dituju.Â
Maka inilah sebait dungu dari kicauan maha rendah. Saya tak hanya belajar membaca sajak yang Wildan tulis, mengolahnya dalam pikiran, dan muncul dari lubuk terdalam.Â
Tetapi saya menemukan kerendahan hati yang lain---dengan perwujudan yang lain muncul di celah-celah puisi ini. Benarkah saya sedang berada di celah-celah batu nisan? Jangan-jangan? Ini jebakan!
Â
Sragen, 12 Maret 2019