Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Puisi Tak Cukup sebagai Saksi

26 April 2020   08:10 Diperbarui: 26 April 2020   10:43 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dingin dan gigil menyatu, menjadi selimut yang membuat saya merasakan ngilu hingga ke tulang. Kematian---menunjuk kita untuk kembali terbangun dari tidur yang panjang. 

Lalu kita akan merasakan bahwa sunyi dalam dekapan keramaian bagaikan sebuah kematian yang mengerikan. Maka cinta, adalah satu-satunya cara menapaki segala. Segala yang fana, menuju apa saja yang hakiki.

"Aku ragu ada dan tiadaku, namun cinta mengumumkan, aku ada!" Lagi-lagi cinta. Wildan Syakirin mencoba menggabungkan segala perspektif dalam sebuah muara bernapaskan cinta. 

Puisi-puisinya tidak menggambarkan keraguan sebagaimana cinta manusia pada kekasihnya (pasangan). Lebih dari itu, saya menemukan dirinya sedang meraba-raba sebuah aksara beku yang kemudian dapat mencair saat itu pula ketika tersentuh tangannya.

 Berlebihan, memang. Tapi inilah cinta. Saya merasa keyakinan Wildan merasuki pikiran dan hati saya untuk menuliskan aksara ini. Meski hati-hati, saya tetap memegang jati diri saya sendiri. Saya harus membaca getaran hati. Inilah yang terjadi saat hendak memasuki ruang sunyi Wildan yang lebih dalam.

Sebagai manusia biasa yang barangkali mendapat predikat sebagai penyair, saya merasa kikuk menghadapi puisi-puisi yang dipenuhi obituari dirinya sendiri. Sebuah ritual sunyi saya rasakan ketika membaca puisi singkat ini:

 Hening

Seketika hening

Bangsat memang! Saya tiba-tiba dibuat takut. Tidak dapat dipungkiri jika keadaan di sekitar membuat saya terdiam sangat lama. Apakah serupa inikah diriku yang sebenarnya? Sendiri? Lalu saya teringat kembali sebuah nisan yang hanya ada kegelapan, kesunyian, dan segala yang menuntut kita ketepatan waktu untuk mengenali diri sendiri. 

Tak peduli jika penyair mengelak adanya waktu yang tidak mengenal tepat. Ini seumpama Makna Aksara ketika kau tak akan pernah menemukan segalanya kecuali kekosongan itu sendiri. Tapi di sini Wildan menolak hal itu.

Tiba-tiba saya teringat Sajak Kecil Tentang Cinta. Sapardi percaya jika untuk menjadi sesuatu, ia harus menjelma sesuatu dalam bentuk yang lain. Yang setara, yang seimbang sehingga ditemukan perwujudan cinta itu sebagai aku: mencintai angin harus menjadi siut/ mencintai air harus menjadi ricik/mencintai gunung harus menjadi terjal/ mencintai api harus menjadi jilat/ mencintai cakrawala harus menebas jarak/ mencintaimu harus menjelma aku//

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun