gubuk j(uang)
;untuk republik pencitraan
oleh: mutia senja
ketika puisi ini kutulis, batinku sosok lugu
mengapit anak aksara yang membeku
seperti udara madiun yang hangat oleh rindu
dikeheningan mataku
"menunggu, mengapa selalu ingin berkawan denganku?"
koyak deru kendaraan menjamur di perempatan jalan
aku rebah pada arah---menebar benih cemas
mengayuh waktu kian laju lampaui bermacam ingatan
menjelma ruang, saat setapak jarak menyeru
"mari, kita bergegas maju"
oh, angin timur menyapa menyejukkanku
berpasang-pasang mata menyerbu
hendak menyerangku dengan tanda seru
"benar saja, ini bukan dialog maya!"
kita sigap mengadu tanya sambil mengabarkan suka cita
lagu-lagu senja mengalun sepanjang detak detik waktu berlalu
"kita sama-sama berjalan(g), bukan?"
duhai penjaga malam, izinkan sebait sajak kubenamkan!
kau sebut "pencitraan", kurangkai jadi "peran cinta"
bukankah dua istilah ini mengandung huruf yang sama?
jangan, jangan koyak isi hatiku!
ah, ponorogo! mega malam yang gemintang!
biarkan aku mengadunya dengan rindu di sepanjang jalan pulang
sebelum sajak-sajakku menghablur jadi debu
kau telah menjadi lukisan bagi bening bola mataku
gubuk bagi kenangan yang ingin mengulang mekarnya harapan
kita satu dalam pusaran kegilaan semesta yang bimbang;
ketika sebuah cerita menjadi doa:
"tuhan, jangan izinkan bertemu. sebelum sungguh tangguh tenagaku
menampung arak rindu", kataku sambil membisik tawa
lukisan jejak hujan turut menggenang kenang
ingatan masih saja bertamu di negeri baru yang kusinggahi---
tak lama---setelah lampu-lampu menyala memadati kota
"aku akan kembali lagi", bisikku
"tentu, setelah berpikir ribuan kali dulu"
hari puisi nasional
ponorogo - sragen, 28 April 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI